Rabu, 09 Januari 2013

ku gapai cintamu

Standard

Kugapai Cintamu


Ashadi Siregar




Novel Ku Gapai Cintamu karya Ashadi Siregar ini merupakan kisah kedua dari
“tri-logi”, Cintaku di Kampus Biru, Kugapai Cintamu dan Terminal Cinta
Terakhir . Ku Gapai Cintamu merupakan kisah kehidupan anak muda,
nuansanya khas mahasiswa yang segar dan penuh warna. Setting tempat
bergulirnya cerita ini adalah kota Jogyakarta tahun 80-an dan terutama
lingkungan Kampus UGM.


Bagi pembaca yang sudah melewati usia 30 tahun kisah ini tentu akan

membangkitkan kembali kenangan masa muda, masa kuliah. Kisah ini memang
mengekspose lika-liku kehidupan mahasiswa yang tak jauh dari urusan “buku, pesta dan cinta”. Bagi
yang mengenal kota Jogyakarta novel ini akan menggugah kembali kenangan pada kota pelajar ini di
tahun 1980-an. Waktu itu masih lazim mahasiswa ke kampus naik motor atau bahkan sepeda. Masih
jamak menonton boskop berduaan pulang-pergi naik becak sambil “bergerilya” he he he…

Dalam novel ini kita juga bisa melihat Ashadi Siregar “memotret” kehidupan mahasiswa. Mulai dari
rumah pondokan, ruang kuliah hingga hati dosen yang kering mendambakan cinta. Maklum Ashadi
Siregar adalah bagian dari lingkungan dimana kisah ini bermula. Dia adalah alumni Fakultas Ilmu Sosial
dan Politik UGM, kemudian bahkan dia menjadi salah seorang dosen disana.

Selamat menikmati.

Jakarta, Akhir Juni 2004

http://groups.yahoo.com/group/id-ebook




Ketika Flamboyan Berbunga

SEPERTI rumput hidup manusia. Seperti bunga padang yang mulia, kata kitab suci. Lalu, dalam realita :
rerumputan yang kuning digaring matahari akan kembali hijau di musim hujan.

Cemara tak pernah kehabisan daun kendati angin tak bosan-bosannya meluruhkannya. Flamboyan sekali
tempo akan gundul, tetapi kemudian kembali rimbun berbunga molek.

Jadi, tak patut meratap jika nasib terpuruk ke dalam kekecewaan, sesekali. Ah, terlalu optimistis
agaknya. Ya, walaupun mungkin berlebihan, begitulah bagi Tody. Lelaki muda ini sesungguhnya
menerima rumput kering dari realita. Tetapi, dia berusaha agar di hatinya berbunga flamboyan cantik.

Bunga flamboyan mekar di kepala gadis-gadis. Oh, bukan. Cuma pita-pita berwarna merah, kuning, atau
hijau mengikat kucir-kucir rambut mereka, calon-calon mahasiswi yang sedang menjalani Mapram.
Mapram atau perpeloncoankah namanya, bagi Faraitody tak perlu dipersoalkan. Soal nama, itu urusan
menteri PDK. Dia cuma tahu, masa itu menggembirakan. Kegembiraan sesaat, dan kemudian terkulai
layu dalam realita rumput kering.

Dia menatap tubuh calon-calon mahasiswa yang duduk di lantai. Satu-satu wajah itu diamatinya. Dan,
seperti tahun-tahun yang dulu di Kampus Gadjah Mada itu, dia melihat pancaran yang serupa. Pancaran
wajah yang pasrah, patuh, dan penurut. Untuk beberapa hari ini, dia merasa dirinya bisa menjadi penguasa. Hitam katanya adalah hitam yang harus dikerjakan cama-cami yang diperintahnya.

Tetapi, kekuasaan yang hanya beberapa saat itu tak lagi menarik, sekarang. Tahun-tahun yang berlalu
telah mengajarkan untuk jangan percaya pada kelembutan gadis-gadis mahasiswi baru itu. Selama masa
penggojlogan, mereka akan semanis anak kelinci jinak. Tetapi, serentak mereka mendadak jadi putri
kahyangan begitu perpeloncoan berakhir. Putri kahyangan yang senyumnya aduhai sinis, yang sombongnya allahurabbi.

Memang ada satu-dua mahasiswa senior berhasil memetik mawar baru di kampus ini. Tetapi, yang
dialami Tody: dia selamanya salah pilih. Dia mendekati gadis yang ternyata pura-pura melayani. Jadi
sambutan untuk sekuriti saja.

Seperti tahun yang lalu misalnya. Dia menerima ucapan. "Maaf, Mas Tody. Malam Inaugurasi nanti
saya dijemput teman."

Atau tahun sebelumnya, "Perkenalkan, Mas Tody, ini Mas...." dan seterusnya, dan seterusnya.

Itulah realita rumput kering.

Maka sekarang tak lagi ada niat mendekati seorang gadis pun. Dia mengikuti Mapram itu hanya sebagai
panitia tak lebih. Dia bekerja dengan kerutinan yang pernah dialaminya selama bertahun-tahun menjadi
aktivis di kampus itu. Dia mengawasi acara olah raga, perlombaan seni, mengawasi ini-itu tanpa ambisi
bercinta.

Pengalaman membuat dia sebagai introvert jera. Dia lebih banyak merenungi dirinya sendiri. Lebih
banyak berbicara dengan diri sendiri. Apakah yang salah dalam diriku? Kenapa aku selalu mengalami
kepahitan dalam berhubungan dengan gadis-gadis?

Dia membandingkan dirinya dengan teman-temannya. Dengan Daniel, sebenarnya aku tidak kalah,
pikirnya. Tapi, kenapa Daniel bisa memperoleh seorang gadis yang setia mendampinginya? Atau Fauzi. Dia juga punya pacar yang sangat manis. Kenapa dia bisa? Kenapa aku tidak?
Secara fisik, aku tak terlalu buruk. Dan, Tody mengawasi bayangan dirinya di kaca jendela. Dia bertemudengan mata yang lunak, dan profil yang lunak pula. Dagunya tidak sekasar dagu lelaki-lelaki yang lahir
di daerahnya, di Nusatenggara Timur sana. Malahan terlalu halus. Maka dia ingat waktu kecil dulu.
Kerap sekali dia diganggu teman-temannya hanya karena kehalusan wajah dan tubuhnya. Oleh karena itu dia kerap berkelahi, dan kerap dikucilkan teman-temannya.
Sekarang, dia tidak dikucilkan oleh siapa pun. Tetapi, realita rumput keringlah yang dihadapinya dari hari ke hari. Cuma, tak seorang pun tahu. Tiap orang tetap mengenal dia sebagai aktivis mahasiswa yang ramah, yang selalu hadir dalam setiap kegiatan di kampus.
Dalam kegiatan sekarang, dia lebih berhati-hati. Terutama dalam menghadapi gadis-gadis cantik. Dia tak mau sekali lagi terkecoh. Terkecoh oleh kejinakan gadis yang hanya sekadar mencari pelindungselama penggojlogan. Boleh jadi lantaran hatinya kelewat lunak maka dulu gampang tertipu. Dan, itu tak boleh terulang lagi.
Keledai pun akan malu tersandung berkali-kali. Apakah aku harus mengalami peristiwa serupa sampai
tiga kali? Bah, konyolnya! Tody melirik lewat pintu yang terbuka. Seorang cami dibopong ke kantor panitia itu.
"Semaput," kata Sartono, mahasiswa senior yang mengantar. Tody tak bergerak dari kursinya. Mukanya bereaksi pun tidak.
Cami itu dibaringkan di divan yang memang tersedia di kantor itu.
"Mana seksi kesehatan?"
"Mungkin di WC," kata Tody datar.
Sartono berlari keluar. Tody tersenyum. Dia ingat, tahun-tahun yang lalu dia pun akan sesigap senioren itu kalau menghadapi gadis-gadis yang mengalami kesulitan. Siapa tahu bisa memetik kelapa. Padahal,
tak tahunya yang tertanam cuma mumbang.
Tak lama kemudian Sartono muncul.
"Tak ada di situ," katanya dalam napas terengah.
"Katanya tadi mau buang air." Masih datar suara Tody. "Atau dia sedang makan di kantin. Bagi anak
anak kedokteran, makan dan buang air memang sama maknanya."
"Bagaimana ini, Mas Tody?"
Tody memperhatikan tanda "K" yang berarti keamanan di baju Sartono. "Apanya bagaimana?"
"Cami ini...."
"Tak apa-apa. Dia cuma kelenger karena panas matahari. Sebentar lagi dia akan bangun." Tody


mengalihkan pandang ke tubuh yang terbaring itu. Seorang mahasiswi senior mengipasi cami itu.
Dengan rambut yang dikuncir kecil-kecil dan mata terpejam, cami itu seperti anak kecil. Atau mungkin
karena wajahnya yang mungil seperti boneka kurus itu? Tulang pipinya samar menonjol. Bibirnya pias,
tetapi bentuknya bagus. Lekukan yang sering ngambek naga-naganya. Dan, hidungnya harmonis dengan
wajah dan bibir itu. Bulu matanya yang lentik membuat kelopak matanya indah. Gadis yang
mengipasinya, Widuri, anak tingkat tiga atau dua, Tody kurang tahu. Dia cuma pasti bahwa gadis itu
sefakultas dengannya. Pernah dia pelonco.

Wajah gadis itu rusuh. Mungkin dia mengkhawatirkan cami yang pingsan itu. Sesekali dia menatap
Tody. Dan, Tody tak suka menerima tatapan yang menuntut itu.
"Kipasi saja. Nanti dia akan sadar," kata Tody. Dia kembali membaca bukunya.
"Mas Tody," kata Widuri takut-takut, "sebaiknya seksi kesehatan dipanggil.
"
Tody mengangkat kepala. Sekejap mata mereka bersamplokan.
"Dia tidak akan apa-apa. Aku sudah berpuluh-puluh kali menghadapi orang semaput."


"Tapi, cami ini kelihatannya sangat lemah."
Tody menggerakkan tangannya, dan Widuri tahu bahwa lelaki ini tak ingin diganggu. Gadis itu
menghela napas dalam-dalam, dan mengalihkan pandangan kepada Sartono.


"Apa yang kautunggu lagi, Ton?"
Sartono mengangkat alisnya.
"Carilah seksi kesehatan," lanjut Widuri.
"Ke mana harus kucari?"
Widuri menghembuskan napas kuat-kuat.
"Ke mana harus kaucari?" ulangnya dengan bibir melekuk.
"Cari ke mana saja."
Sartono keluar. Lewat jendela gerutunya tertinggal. "Seksi kesehatan sialan! Enak-enak meninggalkan posnya. Tak punya tanggung jawab! Bangsat! Ini perlu dirapatkan. Ini skandal tugas!"
"Jangan mengomel lagi, Ton!" Hampir berteriak Widuri.
"Ya, Tuan, Putriii!" balas Sartono tak kalah kerasnya. Akibat teriakan-teriakan itu, cami itu menggeliat. Kemudian matanya terbuka.
"Eh, dia sudah sadar," kata Widuri.
Bola mata cami itu mengitar-ngitar di balik bulu matanya yang lentik.
"Beri dia minum," kata Tody tanpa memandang. Cami itu duduk dengan bertumpu pada rangkulan Widuri. Dia minum sementara matanya takut-takut
menatap seluruh ruangan.
"Agak segar?" tanya Widuri.
Cami itu mengangguk.


"Istirahatlah."
"Dia sudah cukup istirahat. Dia harus kembali ke barisannya," kata Tody dari sudut ruangan itu.
Matanya tetap pada bukunya.


"Dia masih lemah," kata Widuri.


"Dia sudah kuat untuk bergabung dengan teman-temannya."


"Nanti dia sakit."
"Dia sudah cukup beristirahat waktu tidur tadi."

"Dia pingsan tadi."

"Di lapangan tadi mungkin dia pingsan. Tapi, di sini dia tidur."

"Saya tahu pasti, dia pingsan."

"Apakah orang pingsan terbangun mendengar teriakan?" kata Tody tajam.

Widuri menatap cami itu.

"Aku sudah berpengalaman menghadapi akal bulus cami-cami yang malas mengikuti acara-acara.

Mapram ini untuk menanamkan disiplin. Setiap calon mahasiswa harus mengikutinya. Tak ada tempat untuk mereka yang bermanja-manja."

"Adik sudah bisa bangun?" tanya Widuri.
Cami itu mengangguk. Lalu dia bangkit. Dan, pemandangannya gelap. Seribu kunang-kunang  mengerjap di matanya. Dia terduduk kembali di divan.


"Dia masih lemah," kata Widuri. Nada protes pada suara itu menyebabkan Tody memandangnya.


Widuri menunduk.


"Dia belum bisa mengikuti acara-acara," katanya pelahan.


"Apamu dia rupanya, Widuri? Makanya kaulindungi begitu?"

"Saya tidak melindunginya. Saya cuma melihat kenyataannya."


"Kau memang lemah! Teman-teman bilang, kau membuat cami-cami menjadi manja. Membuat mereka berani membangkang."
"Anggota panitia banyak yang sewenang-wenang. Sudah tahu sakit, cami-cami masih dipaksa ikut," ujar
Widuri sengit.
"Mereka semua sudah pernah mengalami sendiri."
"Karena itu seharusnya punya teposeliro. Jangan memaksa."
"Tahun-tahun dahulu, masa perpeloncoan kami jauh lebih berat lagi. Sekarang sudah lebih enak, tapi masih mau bermanja-manja," kata Tody tak acuh.
Cami itu menatap berganti-ganti, dari Widuri beralih ke Tody.
"Jadi, lantaran dulu lebih berat maka sekarang orang sakit harus disuruh lari-lari di siang bolong begini? Coba diri sendiri, bagaimana rasanya lari di bawah matahari."
"Itu ‘kan perlu untuk menggembleng."
"Menggembleng bukan begitu caranya."
"Dulu jauh lebih berat. Kami harus berjalan jongkok atau merangkak dengan mata tertutup. Ditendangi senioren. Disuruh minum kastroli. Disiram kencing. Dibanding dulu...."
"Dulu, dulu, dulu!" tambah sengit suara Widuri. "Tapi, sekarang dia sakit. Dia tak bisa mengikuti acara
acara!
"
Tody terheran-heran melihat kemarahan gadis itu. Lebih heran lagi melihat matanya yang merah, hamper membanjirkan air mata.
O, mungkin karena terlalu letih maka dia jadi pemarah, pikir Tody. Lalu dia bangkit.
"Jangan melindungi orang-orang yang melanggar disiplin. Aku tahu pasti, cami ini tadi tidur.


Dibandingkan dengan teman-temannya, dia masih beruntung. Sebab, dia bisa beristirahat beberapa  menit sementara yang lain harus berpanggang hampir jadi sate." Tody mendekati cami itu. "Ayo, Nona,
kembali ke kelompokmu!"

Cami itu berusaha berdiri, tetapi baru tegak beberapa centi, kunang-kunang kembali menyergap  matanya. Dia sempoyongan, dan Widuri merangkul kembali.

"Lihat, dia sakit. Dia sakit!" kata Widuri.
Cami itu merasa denyutan di kepalanya tak kepalang tanggung, dan udara yang menyungkupnya betapa
pengab. Bibirnya yang mungil gemetaran. Dan, sesungguhnya, bukan udara pengab itu yang  menggeletarkan bibirnya, melainkan kesakithatian di dadanyalah yang lebih terasa. Dia belum pernah  diperlakukan sekasar itu. Belum pernah disewenang-wenangi seperti sekarang ini. Maka dia ingat  rumahnya yang sejuk. Ingat pepohonan yang menaungi rumah itu. Ingat tempat tidurnya yang empuk.
Ingat ibunya yang selalu membujuknya jika dia merajuk. Ingat sopir mereka yang akan patuh mengantar
ke mana pun dia perintahkan.

Adapun di sini, dalam keadaan pening begini masih juga dipaksa mengikuti acara di lapangan yang terik situ. Masih dipaksa menerima terkaman matahari yang tak kenal ampun di kulminasi langit itu. Kalau tahu begini, lebih baik tak usah jadi mahasiswa. Buat apa? Lulus universitas toh belum tentu senang.
Cami itu terisak. Dia menekap mukanya. Widuri melontarkan pandang protes lagi. Ah, bukan sekadar  protes. Dari mata itu mengalir air. Wah! Tody terbengong-bengong.
"Kok jadi nangis?"
"Tak punya perikemanusiaan!" gumam Widuri.
Isak cami itu semakin keras.
Tak punya perikemanusiaan? Bah, parah ini, pikir Tody.
"Sudahlah. Cami ini boleh istirahat di sini."
Widuri mengusap matanya dengan saputangan. Tetapi, cami itu masih terisak. Mata Widuri memerah. Lalu, ia berkata, "Istirahatlah dulu. Kalau Adik mau minum, ini minumanmu."
"Terima kasih, Mbak, terima kasih," desah cami itu.
Widuri melangkah ke pintu.
"Kau pun perlu istirahat agaknya, Widuri," kata Tody.
Gadis itu berhenti di pintu. Membalik. Maka Tody bisa melihat wajahnya yang bulat telur, dan kulitnya yang antara warna kuning ke sawo matang. Bibirnya yang bagus itu kemudian mencibir, "Huh!"
katanya.


"Wah," kata Tody.
Widuri keluar. Tody termangu. Widuri, gadis yang waktu pelonco dulu bukan main patuhnya, bahkan
bisa digolongkan penakut. Orang tuanya tinggal di desa. Selain cantik dan bisa melanjutkan keuniversitas, ini berarti orang tuanya termasuk terpandang di desa itu. Tetapi, berada di tengah-tengah
Kampus Gadjah Mada, gadis itu seperti rusa masuk kampung. Bingung. Takut. Waswas. Akibatnya,
patuh pada perintah setiap senioren. Sekarang gadis itu tak sepenakut dulu. Dia ikut dalam kepanitiaan Mapram. Dia tak canggung mengatur acara-acara. Tetapi, rupanya dia tak kehilangan kelembutannya. Dan, tak kehilangan kesabarannya.
Isak cami itu masih terdengar. Tody tak lagi melihat Widuri yang telah lenyap di balik gedung. Cami itu
menekap mukanya. Dia duduk di pinggir divan seksi kesehatan.


"Hei, berhenti menangis!" kata Tody.
Gadis itu berusaha menyekap suara isaknya menyebabkan dadanya turun-naik.
"Duduklah di kursi plastik itu. Kau bisa lebih santai."

Gadis itu mengangkat wajahnya. Wajah yang basah. Entah keringat atau air mata. Cuma, matanya yang merah menandakan bahwa dia betul-betul sedang parah menangis.
Tody menunjuk kursi plastik di dekat divan. Gadis itu bangkit dan duduk di situ.
"Nah, sekarang, siapa namamu?"
"Centil," kata gadis itu hampir dalam bisik.
"Bah, itu aku sudah tahu. Sudah kulihat atributmu itu. Nama aslimu, kumaksud."
"Irawati."
"Fakultas?"
"Sastra."
"Jurusan?
"
"Inggris."
"Inggris? Coba omong Inggris."
"Belum bisa."
"Tapi, jurusan Inggris."
"Belum belajar."
"Di SMA ‘kan sudah pernah belajar? Bisa masuk jurusan itu tentu karena Inggrisnya lumayan."
Cami itu diam.

"Ayo, ngomonglah."
Gadis itu tetap membisu dengan kepala tertunduk. Karena tetap seperti itu, Tody pun kembali menghadapi buku-bukunya. Dia membiarkan ruangan itu sepi. Di luar, matahari membuat tanah berpasir  garing menguapkan sari-sari panas kemarau. Angin bertiup sesekali menerbangkan debu. Teriakanteriakan senioren yang membentak-bentak cama-cami merayap masuk kantor panitia. Mapram sekarang jauh lebih ringan dari perpeloncoan tahun-tahun sebelumnya. Tetapi, orang-orang
sudah mengeluh. Lantaran terjadi kemunduran generasi? Karena mahasiswa-mahasiswa baru sekarang
lebih lemah mentalnya dibandingkan dengan mahasiswa sebelumnya? Atau karena mereka terbiasa
hidup manja?

Seperti cami ini. Tody mengangkat matanya. Rupa-rupanya gadis itu mengawasi Tody sejak tadi. Maka
sekarang dia bagai kucing yang ketahuan mencuri ikan asin. Matanya ketakutan mengelak dari tatapan
Tody.

"Masih pening?"




Gadis itu mengangguk cepat-cepat.

"Minumlah dulu. Itu minumanmu di meja."

Gadis itu minum seteguk demi seteguk. Sesekali matanya melirik Tody.

"Kau sering sakit?"

Gadis itu mengangguk.

"Tapi, kau sering begadang, ‘kan?" kata Tody.

Mata gadis itu terbelalak. Dan, mata yang berbulu lentik itu aduhai indah.

"Aku tahu kau suka pesta. Betul tidak?"

Gadis itu membisu. Tangannya mengusap-usap gelas.

"Biarpun kuliahku di ekonomi, aku tahu psikologi. Dengan melihat kemanjaanmu, aku tahu kesukaankesukaanmu. Kau suka kehidupan yang selalu gembira, tapi kurang bertanggung jawab. Kau termasuk
tipe orang yang mau bunuh diri kalau menghadapi badai kehidupan."

Gadis itu - Irawati - tercengang. Dia sendiri tak pernah memikirkan: orang macam apakah dia. Dia
hanya tahu menjalani kehidupan ini. Itu saja. Dia hidup dengan ayah-ibunya yang mencintainya. Itulah
segalanya. Lalu sekarang seseorang mengatakan bahwa dia akan bunuh diri kalau menghadapi badai
kehidupan. Ah, badai bagaimana yang dimaksudkannya?

Irawati ingin melirik lelaki itu, tetapi dia ingat betapa dingin mata lelaki itu. Mata yang tak acuh. Alangkah tak nyaman berbenturan pandang mata yang tak bersahabat!

Tody memperhatikan lima pita yang mengikat kucir kecil rambut gadis itu. Rambut yang legam  mengkilat. Gadis itu memijit-mijit pelipisnya. Lewat jendela dia memandangi pucuk cemara yang
melambai-lambai mengikuti terpaan angin. Langit biru bersih, gumpalan awan putih seputih kapas. Di
Kaliurang, pada siang ini, pinus juga bergoyangan, dan langit pun membiru. Tetapi, udara pastilah sejuk.
Di bungalow, dengan halaman dipenuhi bunga bermekaran dengan warna merah, kuning, putih, ungu,
betapa nyaman. Tidak seperti di ruangan ini. Alangkah panas. Alangkah pengab. Karena matahari tak kenal ampun. Atau mungkin karena tatapan tawar lelaki itu?

Lelaki itu, kenapa setawar itu memandang perempuan? Tidak kayak anggota panitia lainnya. Mereka
berlomba-lomba memberikan perhatian. Ada yang pura-pura membentak, tetapi sebenarnya menunggu  senyuman. Dan, lelaki ini? Memang tidak membentak-bentak. Cuma, dingin tatapannya membuat takut orang yang memandangnya. Siapa dia? Siapa dia? Mas Sartono, anggota keamanan tadi, takut
kepadanya. Mbak bagian keputrian tadi pun segan-segan nampaknya di depan lelaki ini.

Kursi berderit, Tody berdiri. Sekejap dia meliukkan pinggang untuk menghilangkan rasa pegal. Tanpa
memandang, dia berkata, "Istirahat saja di sini. Kalau ada yang bertanya, bilang sudah aku izinkan."

Irawati mengawasi punggung lelaki itu melalui lubang pintu. Kerikil di halaman terasa panas menembus
sol sepatu. Tody berjalan tergegas melintasi halaman terbuka agar secepatnya tiba di bawah kerindangan pohon penaung.




"Kalau ada yang bertanya, bilang saja sudah aku izinkan." Siapa "aku" itu? Apakah dia kira setiap orang
sudah mengenalnya? Atau dia memang terkenal di kampus ini? Ya, mungkin aku yang tak mengetahuinya. Tentunya dia punya kedudukan penting dalam kepanitiaan sekarang.

***
Penting atau tidak, sekarang tak jadi soal. Kesulitan mulai muncul. Biang penyakit itu datang.
Seorang mahasiswa senior terlihat makin dekat oleh Irawati. Johan, mahasiswa tahun kelima. Lelaki ini sangat getol mendekati cami-cami. Boleh jadi, dia sangat percaya bahwa gadis-gadis akan takluk memandang senyumnya yang mirip senyum Omar Sharif.
Irawati mengenalnya sebab pacar Johan dulu indekos di seberang rumahnya, Dan, Irawati juga tahu putusnya hubungan Johan dengan pacarnya. Apa penyebabnya, dia kurang jelas, Cuma, tindak-tanduk
lelaki itu membuat Irawati mual. Ada kesan bahwa Johan tak segan-segan menggunakan kekuasaannya untuk mencapai maksud hati. Lelaki itu agresif sekali. Nampak sekali tanda-tanda bahwa dia memang
berniat mendekati Irawati.

Irawati berusaha membalas senyuman lelaki itu. Johan berdiri di pintu.
"Kau sakit?" tanyanya.
Irawati mengangguk.
Johan meneliti seluruh ruangan. Ketika matanya singgah di meja Tody, dia bertanya. "Mana Tody?"
O, kalau begitu si Dingin itu bernama Tody, pikir Irawati. "Mana ketua panitia itu?" tanya Johan


sembari mengembalikan tatapannya pada Irawati.
Irawati mengangkat bahu. Aduh, ulangi lagi gerak macam itu, kata hati Johan. Alangkah indah gerak bahu yang kemanja-manjaan itu. Dan, matanya yang hitam bersorot-sorot seperti akan merajuk; bibirnya


yang siap-siap melekuk memiliki magnit, membuat siapa saja kepingin memeluknya, membujuknya dan menciumnya. Wah!
"Ada apa dengan Mas Tody?" kata Irawati. Sekejap tadi dia mendapat cara untuk menghadapi Johan.
"Kau kenal dia?" tanya lelaki itu.
Irawati mengangguk. Lalu senyum. Senyum itu dibuat malu-malu. Maka Johan merasa dagunya gatal, dan dia mengusap-usapnya. "Kenal baik?" tanyanya lagi.
Irawati menunduk lebih dalam, dan senyumnya lebih samar.
Ah! Johan menggaruk kepalanya yang tiba-tiba terasa gatal. Lalu dia bersiul. Lagunya tak menentu. Dari sepotong lagu Beatles ke lagu Melayu. Dia mondar-mandir di seputar ruangan. Membuka spanduk yang
tergulung, membacanya, lalu menggulungnya kembali.
"Kalau sakit, kau boleh pulang, Ira."


Irawati diam.
"Biar kuantar," lanjut Johan.
Tak ada reaksi.
Johan melongok melalui jendela.
"Hei!" teriaknya membelah panas.
Seorang cama berhenti dan menoleh takut-takut.
"Mana atributmu, he?"
Cama itu gelagapan. Dalam hati dia mengutuki dirinya sendiri lantaran telah lewat di dekat kantor itu.
"Kau tahu atributmu itu tidak boleh pisah dari badanmu? Itu lebih berharga dari nyawamu. Mengerti?"
Cama itu mengangguk dengan takzim.
"Sekarang jelaskan kenapa kautanggalkan atributmu itu!"
"Saya.... jatuh ke selokan tadi, lalu diizinkan mandi sebentar."
"Hm." Johan seperti kucing yang mengawasi tikus yang menggigil di depannya. "Sekarang ambil


nyawamu itu. Cepaaat! Kuhitung sampai lima kali!"
Cama itu lari terpontang-panting. Johan mengurut-urut lehernya. Berteriak-teriak di bawah sungkupan


udara yang panas sesungguhnya telah membuat tenggorokan mau pecah. Dia tersenyum menyaksikan kepala plontos yang berlari di lapangan itu.
Dia berbalik, dan merasa dirinya he-man. John Wayne, Richard Burton, atau siapa saja yang hebat

hebat, itulah dia! Tetapi, matanya terbentur ke meja Tody. Dan, berkisar sedikit kepada Irawati yang
sedang memperhatikannya. Gadis itu menatapnya hambar. Seorang gadis melihat Richard Burton atau
Omar Sharif selayaknya mengagumi. Tetapi, gadis yang berpakaian lusuh dengan atribut Mapram ini sama sekali tak mengaguminya. Sialan!

"Sudah lama kau kenal Tody?" katanya kemudian.
"Ya, lumayan lama."
"Sejak kapan?"
"Entahlah. Pokoknya sebelum Mapram ini."
"Pacarmu?"
"Ah!" Irawati mengusahakan agar ketersipu-sipuan lebih kentara di wajahnya.
Johan mengetok-ngetok meja dengan irama gendang lagu Melayu.





Irawati membuka-buka halaman "buku suci" miliknya. Dari luar semayup terdengar suara nyanyian
cama-cami.

"Ayolah, kuantar kau pulang, Ira."

"Waaah," Irawati melirik meja Tody.

Johan mempergendang meja lagi.

"Selama ini dia yang mengantarmu pulang?"

Irawati tak menjawab. Dia cuma tersenyum simpul.

"Pantas kau menolak terus." Johan menggaruk-garuk kepala lagi.

"I’m sorry," kata Irawati.

"Kok nggak dari dulu kaubilang?"

Irawati mengipas-ngipaskan buku sucinya. Terdengar cericit burung gereja di bawah atap, serta gelepargelepar sayapnya yang menerjang-nerjang pinggiran atap. Bahkan burung gereja pun merasakan
teriknya matahari sekarang, merasakan kepengapan udara. Maka Johan beranjak dan berkata. "Ah, panas sekali. Aku pergi dulu."

Irawati menahan senyumnya. Sementara lelaki itu melintasi halaman yang panas, Irawati hampir tak bisa menahan keinginannya untuk tertawa.

***

Johan merambahi semak setinggi betis. Dia berjalan melintasi di bawah perlindungan pohon cemara.
Diam-diam Tody rupanya sudah menggarap bunga itu, pikirnya. Tapi, kapan dilakukannya? Selamanya
dia sibuk mengurus jalannya Mapram ini. Bersaingan dengan lelaki itu tak terlalu berat agaknya. Orang
yang selalu murung, bahkan ada yang bilang hatinya rapuh. Siapa yang bilang ya? Edu, Hasan, Zul, atau
Fauzi? Ya, pokok ada yang bilang. Tody terlalu lemah sebagai lelaki. Sebagai pejuang mahasiswa,
bolehlah. Tetapi, sebagai lelaki yang harus bertarung dengan seseorang dalam memperebutkan seorang gadis, nanti dulu. Berkali-kali dia sudah terpuruk. Sewaktu perpeloncoan dulu, dia berdekatan rumah
dengan seorang pelonci. Mereka selalu datang dan pulang bersama. Karena persamaan nasib mungkin, mereka menjadi akrab. Tetapi, di akhir penggojlogan, pelonci itu digaet seorang senioren. Dan, Tody termangu. Lalu setelah dia menjadi senioren pula. Beberapa kali merasa tertarik pada seorang cami. Tetapi, reda
begitu saja setelah perpeloncoan selesai. Tak tahu apakah memang Tody yang tak bisa membina hubungan yang diharapkan, atau memang gadis itu sudah punya pacar selama ini. Jadi, melayani Tody cuma sebagai teknik pengaman saja. Biar tak kena gojlok. Kalau begitulah keadaannya, betapa malang.

Soal Irawati ini, setahu Johan, gadis itu memang tak punya pacar tetap selama ini. Cuma, betulkan dia sedang ada hubungan dengan Tody? Gadis semacam itu, bagaimana bisa ketemu hati dengan Tody yang
murung berkepanjangan begitu?




Irawati! Siapa yang tak kenal nama itu. Gadis yang berdunia ceria. Tak kenal duka. Ya, bagaimana bisa berduka! Dia punya orang tua yang menjadikan dia bunga di rumah mereka. Dia pantang mendengarkan
kata ‘tidak’ di rumah itu. Sejak dia duduk di bangku SMA Stella Duce dulu, peminat-peminat pesta sudah mengenalnya. Dari kuku-kuku jarinya yang terawat bagus itu sebenarnya sudah bisa diduga, dia
biasa hidup dalam kemanjaan.


Mungkinkah gadis itu bisa terikat pada seorang macam Tody? Dia hanya mungkin ditaklukkan seseorang yang lengkap kehidupannya. Brilian, suka pesta, tampan, dan kalau perlu: kaya.
Lalu, apa yang dipenuhi Tody? Di fakultasnya mungkin dia brilian. Tetapi, dia tak suka pesta. Waktu ada pesta yang diselenggarakan Imayo atau PMKRI, dia memang mau juga melantai, tetapi dansanya
serius. Kayak dansa pastor saja. Entah dia belajar di mana, tapi dansa serius begitu sulit cari pasangan
dalam pesta-pesta mahasiswa. Ballroom begitu perlu kursus khusus. Payah.


Soal kemampuan, yah sebenarnya Tody sudah lumayan. Profilnya mendekati Rendra. Cuma, Tody lebih hitam. Bisalah dia dibilang berprofil manis.
Mungkinkah Irawati - gadis yang seceria burung parkit, melompat dari dahan bunga yang satu ke bunga
yang lain - diikat Tody? Kalau mungkin, itu namanya bukan main. Keraguan masih ada. Tetapi, Irawati
sendiri sudah mengatakannya. Lalu apa lagi? Ah, siapa tahu itu cuma akal licik gadis itu!


Johan menepuk-nepuk pahanya sembari berjalan. Di sela-sela rumpun bunga dia bersiul. Entah kenapa, sehari itu dia senang menyiulkan lagu Melayu.
Dia melihat Tody meninggalkan lapangan tempat acara Mapram dilangsungkan. Dia menantinya di
dekat batang pohon petai cina yang rindang.


Tody mengusap tengkuknya yang dibasahi keringat.
"Semua lancar?" tanya Johan.
"Yah."
Mereka berdiri berendeng mengawasi gerombolan cama-cami di lapangan.
"Kau sudah dapat cewek," kata Johan.
Tody mengernyitkan kening.
"Hebat kau," lanjut Johan tanpa mengalihkan matanya dari cama-cami. "Sudah lama kaudapatkan dia?"
Tody mengemyitkan kening lebih dalam lagi.
Malahan kini menatap Johan dengan pandangan bertanya.
Johan masih mengawasi perlombaan olah raga di kejauhan.
"Dia bilang, kalian berkenalan sebelum Mapram ini. Di mana kaukenal dia?"
Tody cuma menggumamkan kata yang tidak jelas.





Akhirnya Johan menatapnya. Dia melihat kerutan kening Tody.


"Aku ketemu dia di kantor panitia," kata Johan. "Kenapa selama ini kau tak pernah cerita? Banyak yang
mengincar cewek itu. Kau mesti hati-hati menjaganya."
Tody membisu. Lamat-lamat dia bisa menduga siapa yang dimaksudkan Johan. Tetapi, dia tetap diam.


Cuma, hatinya menduga-duga. "Bagaimana Johan bisa mengira begitu?"


Mereka bertatapan agak lama. Tody merasa permen karet yang dikunyahnya mulai terasa hambar. Lalu dia ludahkan, dan katanya. "Bagaimana rencana program antarkampus itu?"


"Sedang kontak dengan lima universitas besar."


"Hm." Tody kembali memperhatikan cama-cami di bawah matahari.


"Kabarnya kau sudah mengikuti coaching untuk Bimas?" kata, Johan.


"Ya."


"Kapan berangkat?"
"Entah. Tergantung program universitas."
"Wah, enak. Aku kepingin sekali ikut-ikut turun ke desa."


"Kau ‘kan sastra Inggris. Mau mengajar orang-orang desa berbahasa Inggris? Bimbingan masal bahasa Inggris? Wah, bukan main! Untuk meningkatkan turisme...."
"Jangan sinis dong."
Tody menyusut daun petai cina dari rantingnya, lalu menaburkan daun-daun halus itu ke tanah. Daun daun itu berserakan di semak.
"Masih lama acara universitas ini?" Johan bertanya.
"Sehabis pertandingan olah raga itu, mereka akan kembali ke fakultas masing-masing."
"Good. Aku mau pulang dulu. Lapar. Makanan yang disediakan panitia tak bisa memancing seleraku.“
"Ah, borjuis kau!"
Johan berjalan ke timur melompati sebuah selokan, berjalan di aspal panas sebentar, melewati celah pagar kawat agar lebih dekat ke penitipan sepeda. Dia mengambil sepeda motornya.
***

Apel sore itu di bawah matahari yang menyisakan panasnya dari siang. Johan memeriksa barisan camacami. Dia terkenal sebagai senior yang galak. Maka seluruh barisan menjadi hening. Hanya sepatu Johan
terdengar bersentuhan dengan kerikil. Dan, tiba-tiba. "Hei, kau! Maju!"

Cama yang ditunjuk Johan maju takut-takut.




"Cepat!"
Cama itu melangkah tergesa.
"Kau berani berdiri di depanku!?"
Seluruh cama-cami berdesak dalam resah yang tersekap. Sementara itu, cama yang tadi ditunjuk oleh Tuan Besar Johan duduk di pasir dalam ketakutan.
"Kau tahu apa dosamu?"
Cama itu terdiam memikir-mikir.
"Jangan pakai otakmu. Kau belum berhak menggunakan itu. Pakai matamu! Periksa seluruh hartamu!"
Cama itu tambah gemetar. Dia lupa membawa kaleng susunya yang biasa dipukul-pukul dengan irus.
"Seluruh regu orang berdosa ini maju!"
Irawati ada di antara regu yang melangkah pelahan itu. Johan berdiri seperti koboi yang menunggu lawan duel. Mata separo terpicing menatap barisan kecil yang berjalan bagai prosesi ke pemakaman.
Cama-cami itu menapak dengan perasaan mendekati pintu kesengsaraan.

"Inilah contoh regu yang buruk!" teriak Johan.
"Tidak punya solidaritas regu. Membiarkan rekannya berbuat dosa." Mata Johan menyambar-nyambar
setiap anggota regu. Dan, Irawati menggigil menerima sambaran mata yang mirip mata anjing jahat itu.


Suara sepatu Johan berderik-derik di kerikil. Hening. Maka Irawati ingat film-film koboi. Persis suara sepatu yang berderik-derik di jalan yang lengang, di tengah kota yang mati akibat teror sang bandit.
Tangan agak renggang, waspada untuk menembak kapan saja ada gerak yang mencurigakan.

Di sini tak ada yang mencurigakan. Yang ada hanyalah ketakutan cama-cami. Lalu Johan berkata keras.
"Untuk memupuk solidaritas, kalian harus menerima hukuman secara kolektif!"
Regu cama-cami itu berdesah. Satu-dua orang mengeluh.
"Diam!" teriakan Johan membahana.


Irawati melihat garis kejam di sudut bibir lelaki itu. "Push-up dua puluh kali!
"
Push-up ? Sungguhkah ini? Irawati berpandangan dengan teman-teman seregunya. Kesemuanya
murung. Irawati ingin menangis. Inilah hukuman yang paling kejam. Push-up dua puluh kali, betul-betul
tak terbayangkan.


"Tunggu apa lagi? Ayo, mulai!"
Anggota regu itu mulai bertiarap. Dan, Irawati bingung sebab dia masih berdiri di tengah-tengah rekan
rekannya yang sudah tengkurap. Kini seluruh mata tertuju padanya.





"Saya.... saya.... tidak bisa push-up," katanya terbata-bata.
"Well." Suara Johan sinis.
"Saya.... saya...."
"Lalu, hukuman apa yang Anda inginkan?"
"Apa saja, asal bukan push-up."
"Lari mengelilingi lapangan tiga kali?"
"Oh!" Jantung Irawati terperangah.
"Ayo! Jangan sampai teman-temanmu capek tengkurap begitu."
"Saya tak bisa.... Saya tak bisa...."
"Kenapa yang lain bisa?" Johan menunggu kalau-kalau gadis itu minta dispensasi. Lalu akan dipertimbangkan nanti.
Adapun Irawati, dia melihat kekejaman seorang pengecut di mata lelaki itu. Maka dia muak untuk meminta-minta belas kasihan. Belas kasihan dari seorang pengecut? Phuih! Kalau tetap membangkang, apa sih yang bisa diperbuatnya?
Irawati tetap berdiri. Malahan kini dengan sikap menantang.
Johan tersenyum, lalu beranjak dari tempatnya dan kembali memeriksa barisan. Dia biarkan regu cama cami yang tengkurap itu tetap dalam posisi semula.
Irawati menatap kepala-kepala plontos dan pita kucir rekan-rekannya.
Dari jauh Johan berteriak. "Sebelum hukuman dilaksanakan, cama-cami tidak boleh bergerak!"
Suara itu bergema oleh pantulan dinding fakultas. Irawati mengitarkan matanya ke seluruh tempat. Dan, pandangannya membentur dengan mata yang menuntut. Gadis itu merasa seluruh jaringan tubuhnya menjadi dingin. Dia merasa setiap orang mempersalahkannya.
Oh, apakah yang sedang terjadi di sini? Kenapa semua manusia di sini menganggap kesewenangwenangan sebagai sesuatu yang wajar? Tak sekelumit pun nampak tanda-tanda mereka menolak
hukuman yang tidak adil itu. Malahan mereka mempersalahkan orang yang menentang kesewenangwenangan itu. Mereka mempersalahkan Irawati. Mempersalahkan gadis yang berdiri tegak sementara rekan-rekan yang lain tengkurap. Beberapa di antara mereka yang tengkurap itu mulai mengeluh. Mereka kejang dalam
sikap seperti itu berlama-lama. Keluhan mereka terdengar oleh Irawati.

Tetapi, kenapa mereka justru mengutukku? Kenapa mereka tidak mengutuk senioren yang menjatuhkan
hukuman tidak adil itu? Oh, apakah yang sedang terjadi di sini, di tengah-tengah orang-orang yang bakal
menjadi mahasiswa ini? Mereka menerima hukuman apa pun yang dijatuhkan terhadap mereka tanpa perlawanan.




Irawati menelan ludahnya yang seret. Pahit. Mual. Kepala plontos dan rambut terkucir yang tiarap di
kiri-kanannya bagaikan melekat di ujung batang pohon pisang. Dan, wajah-wajah yang menatapnya,
wajah-wajah yang berkeringat, bukan lagi berkulit sebagaimana lazimnya manusia. Dia melihat wajahwajah yang berkulit tegang seperti topeng-topeng Bali. Menyeringai. Dan, udara menguapkan sari-sari
kemualan. Yang terlihat oleh Irawati hanya topeng-topeng Bali, warna-warna kuning, kuning, kuning,
merah, merah, merah, campur-aduk. Pijar-pijar lampu seribu watt menyergap-nyergap ke matanya dari
biasan matahari yang bergeser ke barat.

Dia merasa tanah kian labil. Seratus sekian pasang mata yang melotot ke arahnya, juga topeng Bali yang
menyeringai itu, semakin mengelabukan pandangan gadis itu.

"Ayo!" Teriakan menggelegar dari mulut senioren Johan. Tanah bergoyang. Pening. Gelap. Lebih gelap,
dan Irawati jatuh.

Untuk kedua kalinya hari itu mahasiswa-mahasiswi senior kalang-kabut. Apalagi melihat piasnya wajah
gadis itu. Bibir mungil serta hidung yang bangir itu mau tak mau menimbulkan rasa iba. Wajah yang kurus menimbulkan kesan betapa berat penderitaan gadis itu sekarang.

Johan berjalan mondar-mandir. Kenapa dia tidak minta dispensasi, pikirnya. Kenapa dia tidak merengek-rengek sebagaimana laiknya gadis-gadis manja?

Johan suka melihat kemanjaan gadis itu. Gerak aleman selamanya menyenangkan untuk dipandang.
Malahan menimbulkan keinginan untuk menggodanya, biar dia terus merengek.

Tapi, dia membangkang lantaran pacarnya ketua panitia! Bah! Pacar tinggal pacar. Tetapi, penegakan
disiplin itulah soalnya.

Irawati dibopong beberapa senioren ke kantor panitia. Johan kembali menghadapi regu yang tetap tengkurap.

"Sekarang mulai!"

Di kantor panitia, Widuri sedang menyelesaikan laporan-laporan seksinya. Dia separo melamun menatap nanap lewat jendela yang terbentang. Tanpa sadar dia menggigit-gigit pangkal ballpoint-nya.
Suatu kebiasaan - yang kalau dia sadar -dia ketahui kurang baik. Konon kebiasaan itu menunjukkan gejala jiwa yang tidak kokoh. Entah siapa yang bilang, sarjana atau dukun, dia kurang ingat. Tetapi, pokoknya dia selalu berusaha menghilangkan kebiasaan itu.

Giginya yang rata mengintai-intai dari balik bibirnya. Bibir tanpa lipstik, tetapi agak kemerahan.

Sesungguhnya gadis yang sedang melamun itu cantik juga, pikir Tody yang sejak tadi diam-diam mengawasi dari sudut ruangan. Dan, sesungguhnya pula gadis itu sedang memikirkan Tody. Lelaki yang tahan membisu itu, kenapa
begitu kaku? Tahun-tahun yang lalu, dia masih mau mendekati cama-cami. Tetapi, sekarang dia seperti
dewa yang jauh dari kebisingan Mapram.

Barangkali dia ingin membentuk image-nya sebagai pemimpin mahasiswa yang angker. Pemimpin besar
yang tidak terlibat dalam urusan-urusan kecil. Atau, barangkali dia sudah punya pacar? Ya, siapa tahu!




Widuri menghela napas panjang-panjang. Tody meliriknya. Widuri mengemasi berkas-berkas kertasnya, dan katanya, "Juri untuk perlombaan nyanyi masih belum lengkap."
"Ooo." Datar suara Tody.
Widuri mengangkat kepala seraya berkata. "Kapan itu diurus?"
"Ya? ‘Kan sudah ada yang bertanggung jawab? Seksi perlombaan."
"Entah di mana dia. Mungkin ngurusi cewek-cewek."
"Nanti akan diselesaikannya. Biasa, langgam kerja mahasiswa memang sering begitu. Rileks saja."
"Tapi, kalau sampai saat terakhir jurinya tidak lengkap?"
"Aaah, mesti lengkap. Dia akan mengurusnya."


"Mas Tody terlalu optimis."
"Pengalaman mengajarkan padaku, tak perlu terlalu serius. Makin serius, makin gampang panik.
Apalagi menghadapi mahasiswa. Mereka suka kerja seenaknya. Kayak seniman. Tapi, percayalah, pada
titik terakhirnya mereka akan menyelesaikannya."


"Tapi, biasanya acak-acakan," kata Widuri.
"Kalau mau rapi, pegawai atau tukanglah yang harus mengerjakannya."
Widuri menghembuskan napas keras-keras. Tody tetap duduk melengut seperti sapi kekenyangan.


Matanya tak acuh, malahan setengah mengantuk. Cahaya merah dari barat menerobos lewat celah pohon cemara. Dan, gadis yang pingsan itu dibopong ke kantor itu. Widuri bangkit tergesa-gesa, merapikan divan untuk
pembaringan gadis itu.


Mahasiswa-mahasiswa senior yang membopong keluar. Kini tinggal seksi kesehatan yang mangusap


usapkan wewangian, entah apa namanya. Widuri mengipasi gadis itu.
Tody membenamkan tubuhnya ke dalam kursi plastik. Kepingin tidur. Tetapi, tunggu dulu! Gadis yang
pingsan tadi siang? Tody bangkit. Ya, dia.


Kalau dua kali pingsan dalam satu hari, ini sudah patut menjadi urusan dokter. Bisa-bisa pingsan yang ketiga kalinya terus koit. Berabe! Urusan polisi jadinya. Maka Tody lebih beperhatian.
Gadis itu nampak langsing dengan slack-nya. Wajahnya yang pucat-lesi serta bibirnya yang menggurat
dalam garis tipis itu cuma menggambarkan kesakithatian. Manusia semacam dia ini, bisalah
dikategorikan mungil. Wajahnya kecil. Mungkin lantaran rambut yang disisir terbelah di kepalanya, juga
pita-pita kecil itu. Senja kian temaram. Irawati mengeluh halus. Manakala kelopak matanya terangkat,
wajah Widurilah yang terpandang olehnya. Dan, senyum lunak gadis yang berkulit sawo matang itu menyejukkan.

"Mbak," keluh cami itu.




Widuri mengelus kening gadis itu, dan Irawati menangis.
Seperti film India, pikir Tody. Lalu dia kembali duduk.
"Dia perlu istirahat," kata Kamal, mahasiswa kedokteran yang sedang koskap.
"Perlu tonikum agaknya dia," kata Tody.
"Jantungnya agak lemah."
"Wow! Sebaiknya dia tidak ikut Mapram."
"Nggak apa-apa. Dia bisa mengikuti terus. Bukan sakit jantung."
"Yang benar aja, Mal. Sudah bab jantung pelajaranmu?"
"Asu! Tentu saja sudah."
"Yah, asal diagnosamu benar saja. Kalau ada apa-apa, ‘kan aku yang diangkut polisi. Malah mungkin dilaksuskopkamtibkan."
"Tak apa-apa. Tak apa-apa."
"Hm, gayamu sudah memper dokter."
"Dan, kau? Gayamu sudah mirip pencatut lisensi."
Widuri tak sabar mengikuti pembicaraan itu.
"Tak diberi obat dia, Mas Kamal?"
"Obat apa? ‘Kan dia sudah sadar?"
"Jadi, cuma begitu?"
"Lha bagaimana lagi? Dia cuma capek. Ya, kasih tablet vitamin C saja. Biar marem." Kamal beranjak ke pintu keluar. Widuri cuma bisa menggeleng-geleng.
"Tak perlu disuntik?"
"Suntik apa? Dia ‘kan sehat? Atau, kau mau tetrasiklin?"
"Apa itu?"
"Tanya Tody. Dia tentunya sering pakai kalau habis...."
Tody terheran-heran.
Kamal terbahak terus keluar.





"Gila kau! Bajingan!" seru Tody.

Bayangan pohon cemara telah samar dalam senja. Burung gereja ramai mencericit di pinggir-pinggir
atap. Di sana, Gedung Induk Universitas Gadjah Mada yang bertingkat tiga terpacak diam-diam.
Lampu-lampu sepanjang Bulaksumur Boulevard yang membelah kampus telah menyala. Sinarnya redup. Pohon flamboyan di pinggir jalan tak kentara lagi sebagai pohon yang berbunga indah. Hanya nampak sebagai onggokan dedaunan hitam, sekarang. Ruang kantor panitia itu sepi. Widuri kembali melamun. Irawati duduk diam-diam di dekatnya. Tody menatap ujung kakinya yang terletak di atas meja. Lama. Sampai akhirnya seorang mahasiswa senior memanggil Widuri. Urusan kepanitiaan. Irawati melihat
kelamnya malam kian kentara di luar.

Ruangan itu tetap sepi. Tody tetap sebungkam batu gunung. Maka Irawati yang biasa berkicau bagai
burung itu kini harus mengatupkan mulutnya rapat-rapat.

Bagaimana menggeser batu gunung yang dingin itu? Irawati menaksir-naksir. Aku, pikirnya, yang punya senyum sebagus senyum Widyawati ini, masakan tidak menggoyahkannya? Masakan dia sekokoh
batu cadas yang bagian besarnya tertanam di tanah! Atau kelihatan jelekkah aku selama Mapram ini?
Ya, mungkin. Aku kelihatan lusuh. Mukaku berkeringat. Seandainya dia melihatku sebelum Mapram
ini, potong telingaku: dia pasti tertegun. Dia akan melihat wajah yang melankolis. Ya, wajah
aristokratik. Yanuar atau Bobby, pokoknya salah satu dari mereka, pernah bilang bahwa aku adalah Cleopatra yang muncul diam-diam pada abad modern ini. Cuma, barangkali aku lebih kurus. Liz Taylor
jadi Cleopatra dengan tubuh yang lebih berisi. Tapi, itu tak jadi soal. Tubuh-tubuh ceking malah lebih feminis sejak Twiggy muncul. Kubaca itu di majalah Aktuil. Seandainya dia melihatku dalam pakaian biasa, bukan dalam pakaian Mapram yang terkutuk ini!
Masakan matanya tak bergerak hidup? Masakan matanya tetap sedingin itu? Kayak mata Peter Moole
atau Robert Mitchum. Orang bilang: mata pengisap ganja. Atau barangkali dia pengisap ganja? Tapi,
kenapa tidak pernah kukenal? Barangkali dia masuk groupies lain? Tapi, ah, tak mungkin. Dia tokoh mahasiswa. Tak mungkin ikut-ikut groupies. Andaikan dia masuk groupies-ku, bukan main. Dia bisa jadi pemimpin. Ah, Bob Mitchum itu! Pasti groupies kami terkenal. Apalagi kalau dia suka
lagu-lagu Bob Dylan. Bukan main!
Irawati menggigit-gigit ujung kukunya sambil menaksir-naksir terus. Bagaimana cara menggoyahkan
batu gunung ini? Bagaimana cara menggesernya? Biar dia tahu siapa Irawati sebenarnya. Biar dia tahu
bahwa Irawati bukan seorang yang tidak bernilai. Irawati adalah kumpulan api yang membakar. Irawati
adalah gadis yang pada usia 13 tahun sudah pacaran. Bahkan waktu SMP pernah membuat mata gurunya
blingsatan sebab jatuh cinta kepadanya. Dua tahun yang lalu dia pernah menjadi penyebab perang antara
SMA III melawan SMA-Bopkri. Irawati pun pernah membakar api perang pada banyak hati lelaki.

Lantas sekarang, apakah harus terbentur pada batu ini?

"Rumah Mas Tody di mana?"

Jidat Tody berkerut. Makin mirip Peter O’Toole, pikir Irawati, sedangkan Tody berpikir, "Apa-apaan ini?"

Tadi sambil lalu ia menanyakan siapa teman gadis itu pulang. Tetapi, jawabnya, pertanyaan itulah. Maka
Tody terdiam. Kenapa anak ini seberani itu? Cama-cami memandangku seperti dewa. Gadis ini, lain
yang ditanyakan, lain pula jawabannya.


Kalau ada senioren lain, pastilah cami ini dibentak-bentak disuruh meminta maaf.
Tody keluar tanpa memandang gadis itu. Jaringan urat-urat tubuh Irawati mengejang. Marah.
Diperlakukan seperti itu, dadanya menjadi sesak. Tetapi, oleh karena udara yang dihirupnya berasal dari malam yang dingin, maka kemarahan itupun mengendap. Surut.


"Mas!"


Tody berhenti.
"Saya tak punya teman pulang."


"Oh, ya"


Irawati mengangguk kuat-kuat. Khawatir anggukannya tak terlihat dalam kelam.


"Biasanya, siapa temanmu pulang?
"


"Tadi.... tadi dia tidak datang," kata gadis itu. Dan, dalam hati dia berdoa, "Janganlah diusut siapa yang tak datang itu." Lalu lanjutnya, "Dia sakit sejak kemarin.
"
"Hm." Gumaman lelaki itu membuat jantung Irawati takut berdenyut.
"Kautunggu di sini. Akan kusuruh salah seorang temanmu mengantarmu pulang."
Bahu Irawati tertekuk. Tolol kau! Tolol kau! Tolol! Goblok! Bego! Dan, gadis itu mengumpulkan sumpah serapah dalam hatinya. Lalu menyebut-nyebut Tuhan. Ya, kenapa ada lelaki setolol ini? Apakah aku sudah menjadi begitu buruk? Apakah aku sudah tak bisa lagi menarik hati lelaki? Ya, Tuhan, alangkah terkutuknya Mapram ini. Jika sampai merusak diriku, jika membuat diriku kehilangan pesona yang selama ini ada, nerakalah Mapram ini.

"Saya tak mau diantar cama!" Suara Irawati tinggi.

"Eh?" Tody berbalik.

"Saya tak mau diantar cama!" ulang gadis itu lebih keras.

"Mau pulang sendiri? Itu tak baik Non."

"Mas Tody..." Hampir dalam rengekan suara gadis itu, "Saya tak mau diantar cama. Mereka suka ambil kesempatan dalam kesempitan."
"Eh?
"
"Saya tidak mau!" Lebih merengek gadis itu.
"Kalau begitu, akan diantar salah seorang anggota keamanan."

"Tidak, tidak, tidak!" Lebih histeris gadis itu.

Apa-apaan ini, pikir Tody. Apa gerangan yang telah dialami gadis ini sesiang tadi? Dia sampai dua kali
pingsan. Barangkali dia mengalami kejadian-kejadian gawat selama Mapram ini. Barangkali ada yang
menakutkan dirinya. Soal apa?

"Kenapa kau tak mau juga diantar keamanan?"

"Saya takut! Saya takut!"

Dan, menghadapi rengekan ini, terbersit ingatan Tody pada adiknya di Nusa Tenggara Timur. Yang jauh
di sana. Gadis kecil yang telah lima tahun ditinggalkannya. Tentunya dia sudah sebesar cami ini. Surat
terakhir dia mengatakan bahwa dia masuk Universitas Hasanudin. Tentunya dia sedang di-Mapram
sekarang. Barangkali dia juga pingsan. Barangkali dia juga mengalami ketakutan.

Tody lebih memperhatikan cami itu. Oh, dia merasa sedang melihat adiknya. Margriet, adiknya, wetanya sayang. Masih SMP waktu ditinggalkannya dulu. Sebagai seorang kakak dia menyesal tidak bisa
mengikuti perkembangan gadis kecil itu. Margriet juga kurus. Rambutnya sering dikepang. Berkulit
hitam manis. Pastilah sekarang langsing dan punya senyum yang menawan. Pastilah dia diganggu senior-senior di universitasnya.

Gadis mungil yang di depannya masih menatap penuh harap. Tody mengingat-ingat tindakannya selama menjadi senioren di Gadjah Mada. Maka terbayang gojlogan rekan-rekannya terhadap cama-cami.
Memang ada yang keterlaluan kerasnya.

Ah, Faraitody, adikmu di universitas yang jauh di sana juga sedang digojlog. Di sini kau memang ketua, dewa yang dipertuan cama-cami. Tetapi, adikmu....? Ah!

Tody menghela napas dalam-dalam, dan menatap lekat-lekat gadis itu. Gadis itu membalas menatap,
dengan matanya yang mirip mata kelinci.

"Akan kuantar kau nanti," kata Tody. Kemudian dia melangkah meninggalkan kantor itu. Setelah belasan langkah, dia berkata lagi, "Tunggu saja di situ!"

Dan, dia lenyap dalam kelamnya malam.

Sementara itu, Irawati hampir tertawa terkekeh-kekeh. Ternyata batu itu kayak tanah liat, kata hatinya.
Ini rintisan pertama. Berikutnya, akan kubuat dia bertekuk lutut di kakiku. Harus kubuat dia menyatakan, "Ira Sayang, aku mencintaimu."

Lalu, aku harus mempertimbangkan. Harus melengos atau menerima tangannya yang terulur itu. Nah!

***

Jalanan lengang. Di becak yang meluncur, Tody tetap ingat adiknya. Margriet, yang merajuk jika tak
dituruti keinginannya. Sering dulu - waktu Tody masih di bangku SMA -gadis kecil itu ditempelengnya.
Kadang hanya karena kesalahan kecil. Gadis itu membongkar susunan buku-buku Tody sebab dia
Senang melihat potret-potret kota di Jerman, India, atau kota besar lainnya. Betapa kejam dia terhadap gadis yang masih murni itu. Lima tahun tak melihatnya, entah bagaimana sudah perujudannya. Setahun yang lalu Tody menerima potret keluarga mereka. Di situ Margriet telah nampak dewasa. Dia cantik.
Pastilah dia jadi rebutan para pemuda di sana.
Seperti gadis yang duduk di sampingku ini, mungkin Margriet juga jadi rebutan para senioren.
Akibatnya, dia akan mengalami perlakuan overacting dari para senioren. Akibatnya, dia pingsan.
Sampai dua kali dalam sehari. Ah! Kenapa tak kuperhatikan dari siang tadi? Ah!


Irawati merasakan roda becak beberapa kali kejeglong di lobang. Lelaki di sampingnya tetap sebisu arca.


Lalu, seolah tak disengaja, di-sikut-nya lelaki itu.


Tody tersentak.


"Eh, maaf. Maaf, Mas Tody, maaf."


"Hm. Tak apa-apa."


"Mas Tody kok pendiam banget sih?"


"Aku pendiam?"


"Iya, Membikin orang takut."


"Kenapa takut?"


"Angker."


"Kayak hantu kuburan?"


"Ah!" Siku Irawati masuk lagi ke rusuk Tody.


Tody membiarkan siku yang kecil itu bersarang di pinggangnya.


"Kenapa sih kau gampang pingsan?" tanyanya.


"Habis, Kakak-kakak Mahasiswa mengerikan."


"Siapa?"


"Semua."


"Ah, masak. ‘Kan ada yang baik."


"Tidak ada yang baik. Semuanya kejam!"


"Mungkin kau yang banyak tingkah."


"Banyak tingkah bagaimana?"


"Aleman. Manja."


"Siapa bilang?"




Tody diam. Rantai becak berderit-derit. Irawati juga diam. Desah napas tukang becak bercampur dengan
suara ban yang bersentuhan dengan pasir.
"Siapa bilang?" ulang gadis itu.


Tody cuma menggumam.
"Kakak-kakak Senior yang sewenang-wenang. Memerintah seenaknya. Menghukum semaunya. Masak
putri-putri disuruh lari keliling lapangan. Disuruh push-up," kata Irawati getir.


"Itu biasa. Melatih mental. ‘Kan kaum wanita sendiri yang menuntut emansipasi! Diberi perlakuan yang
serupa dengan lelaki, terus ribut. Lalu, maunya cuma persamaan yang enak saja? Kedudukan yang enak
mau sama, tapi yang sulit-sulit ditolak. Emansipasi apa itu?"

Irawati diam. Siku tangannya masih bertengger di pinggang lelaki itu. Membuat Tody tersudut ke
pinggiran becak. Dan, ketika kejeglong lobang besar. Tody merasa pinggangnya tersodok.
"Wah, sikumu kayak tombak," katanya seraya memegang siku tangan gadis itu.
"Habis, saya kurus sih."
"Kurus juga cakep."
"Ah!" Siku Irawati masuk lagi, tetapi ditahan oleh Tody.
"Orang-orang muda zaman sekarang ‘kan suka model ceking," kata Tody.


Irawati meliriknya. Mereka tiba di depan rumah yang dinaungi pohon mahoni.
"Di sini rumah saya, Mas. Hooop! Stop, Cak!" kata gadis itu. Rem becak berderit, dan gadis itu melompat.


Eh, seliar itu gerakannya. Tadi seperti ayam sakit, pikir Tody.
Irawati membuka pintu pagar.
"Bagus sekali taman ini," kata Tody.
Bulan bersinar penuh menimpakan cahaya pada bunga-bunga di halaman rumah itu.
"Siapa yang merawat bunga-bunga itu?
" "Mama," jawab gadis itu. Dia menekan bel. Panjang sekali.


***

Batu Gunung yang Goyah

PAGI itu matahari di atas Kota Yogya serupa dengan matahari kemarin. Kuning, tanpa tanda-tanda





0 komentar:

Posting Komentar