Minggu, 20 Januari 2013

ku gapai cintamu

Standard

Gadis itu bangun tergesa. Suster Maria duduk di pinggiran tempat tidur.
"Waktu makan malam tiba, Widuri," kata suster itu.
"Saya tidak lapar. Tidak makan."
"Kau sakit?" Tatapan mata Suster Maria bening.
Widuri mengangguk.
"Kalau begitu, kau harus pergi ke dokter,"
"Oh, tidak, tidak, tidak!" Widuri hampir menjerit.
"Kenapa tidak? Kalau kau sakit, kita pergi ke dokter. Ayo," kata Suster Maria.
"Tidak. Tak perlu ke dokter." Terengah Widuri berkata.
"Tentunya sakitmu parah. Matamu bengkak. Badanmu panas," kata Suster sambil mengelus dahi



Widuri. "Kau tak mau makan dan tidak juga shalat. Kalau sakit, mari ke dokter."
"Saya tidak sakit, saya tidak sakit. Oh..."
"Lalu?"
Lalu Widuri kembali menangis. Suster itu mengelus-elus rambut Widuri.
"Ada yang kausedihkan?"
Widuri mengangguk.
"Kabar dari rumah?"
Widuri menggeleng.
"Lalu, apa?"
Widuri hanya menangis.
"Dikhianati pacarmu?"
Widuri menggeleng, dan semakin parah menangis.
"Katakanlah, Widuri, apa yang menyusahkanmu. Katakanlah biar saya ikut memikirkannya. Biar saya


ikut memecahkannya."


Elusan di rambut itu tidak meredakan tangis Widuri. Malahan dia ingat ibunya, perempuan yang telah
tiada sejak dia masih kecil. Ya, perempuan yang senantiasa dirindukan perujudan kasih sayangnya.
Widuri, seorang gadis kecil yang ditinggal ibunya. Gadis kecil yang dibiarkan merangkak dewasa.




Sementara gadis-gadis lain berbincang tentang pakaian dengan ibu mereka, Widuri harus memikirkan
sendiri pakaian yang harus dikenakannya. Sementara gadis lain bisa menanyakan kepada ibunya tentang
bagaimana lelaki yang baik itu, Widuri harus memikirkannya sendiri. Gadis lain bisa menceritakan
kepada ibunya tentang lelaki yang dicintainya, maka Widuri harus menyimpannya buat dirinya sendiri.
Widuri, gadis yang sendiri mengemban hidupnya yang sepi. Seorang ayah, apalah artinya bagi kecamuk
hati seorang gadis.

Suster Maria masih mengelus-elus bahu Widuri. Matanya yang bening menatap nanap dan tembus ke
lekuk hati gadis yang sedang menangis itu. Maka Widuri menjatuhkan wajahnya ke dada suster itu. Dia
benamkan tangisnya di situ, membasahi pakaian yang putih itu.

"Apa yang menyusahkanmu, Widuri?"

"Saya.... saya.... kehilangan...."

"Kehilangan....?"

"Kehormatan saya, kesucian saya, perawan saya!" jerit Widuri tersekap dada Suster.

"Oh!" Suster Maria terperangah.

Dia memeluk gadis itu.

"Kenapa sampai terjadi? Kenapa sampai.... ?" Ah, dia sulit mempercayainya. Gadis yang begitu taat
shalat, pendiam, lebih suka membaca buku-buku pelajaran katimbang pesta, bagaimana bisa mengalami
ini? Gadis yang disayanginya - walau berlainan anutan, namun disayanginya seperti anak sendiri
bagaimana bisa mengalami ini? Gadis muslim yang diam-diam sering duduk di sudut mendengarkan
nyanyian kebaktian sore dari Kapel, bagaimana bisa mengalami ini? Gadis yang termangu-mangu
mendengarkan suara orgel yang lamat-lamat diantarkan angin, gadis yang duduk tekun selama misa
Natal berjalan, bagaimana mengalami ini? Ah, tak mungkin! Tak mungkin! Tetapi, air matanya yang
menembus pakaian ini jelas suatu pengakuan yang jujur.

"Kenapa sampai terjadi, Widuri?" ulang suster tua itu dalam keluh.

Tangisan menggelombang dari dada Widuri. Lalu, dengan suara tersendat dia menceritakan kejadian
seluruhnya. Setitik air mata memercik dari mata Suster Maria. Maka dia memeluk Widuri erat-erat.
Belasan tahun sudah dia mengabdikan kasih untuk manusia, dan inilah manusia yang harus paling
dikasihinya. Inilah, gadis yang lembut dalam pelukan, yang menangis berkepanjangan, yang menangisi
kesucian, yang merasa bahwa kesucian adalah segala-galanya.

Tangis Widuri menggigit-gigit relung hati Suster Maria.

"Kalau begitu, mari ke polisi. Orang-orang itu perlu ditindak," kata Suster Maria dengan suara serak.
Bibirnya menggigil.

"Tidak, tidak, tidak!" isak Widuri.

"Kenapa tidak? Hukum harus ditegakkan. Walaupun mereka anak-anak orang berpangkat, tak peduli!
Saya akan menuntutnya!"

"Tidak. Oh, tidak, tidak, tidak. Oh, Ibu, tidak...," kata Widuri sembari membenamkan wajahnya lebih




dalam lagi ke dada suster tua itu.
Oh, nyes! Dada suster itu sejuk. Gadis itu menyebutnya ‘Ibu’. Oh, anakku, anakku yang malang.
Dan, Suster Maria menangis.
"Mereka harus menerima hukuman," katanya gemetar.
"Tuhan akan membalasnya," isak Widuri.
"Ya, Tuhan akan membalas perbuatan yang buruk. Tetapi, selain itu masih ada hukum, Anakku. Biar


kita tegakkan hukum manusia lebih dulu."
"Tidak, tidak...."
"Kalau tidak dihukum, mereka akan mengganggu gadis-gadis lain."
Widuri membisu.
"Apakah kau rela kejadian ini akan terulang lagi?"
"Oh, tidak. Jangan, jangan lagi, jangan lagi...."
"Karena itu, marilah ke polisi."
Widuri gemetar.
"Tidak!" Dia menggeleng kuat-kuat.
"Kenapa?"
"Orang-orang akan tahu, orang-orang akan tahu, semua akan tahu.... oh!"
Jantung Suster Maria menggelepar. Dia melepaskan napas berat. Lalu dia menunduk.
"Yah," katanya, "kita hidup di negeri yang penilaian orang banyak sangat mempengaruhi hidup kita."
Kamar itu sepi. Asrama Syantikara itu senyap. Penghuninya sedang belajar di ruang baca.
"Tapi, serigala-serigala itu masih berkeliaran," kata Suster Maria pelahan. Matanya yang tua dan bening


berkaca-kaca. "Berapa banyak lagi korban?"
Widuri tak menjawab. Air matanya telah kering. Matanya perih sebab kehabisan air mata.
"Dan kalau Tuhan menjadikannya.... oh, siapa yang harus jadi bapanya?" keluh Suster Maria.
Dia memeluk gadis itu erat-erat, membenamkan kasih sayangnya ke wajah yang berlindung padanya.


**
*





Yang Terkandas

CEMARA di Kampus Gadjah Mada masih seperti dulu jua. Ditinggalkan selama tiga bulan, tak ada
perubahan. Justru Faraitody yang berubah. Hatinya dilanda risau berkepanjangan. Dia tidak berani
bertatapan dengan siapa pun di kampus. Dia merasa setiap orang mengejeknya, menghinanya. Belum
habis masa BIMAS-nya di desa, tetapi dia sudah menerima panggilan dari universitas. BIMAS tidak diselesaikan. Sisanya, tiga bulan lagi, akan ditekel rekannya dari desa berdekatan. Tak ada yang lebih memerihkan hati kecuali kegagalan. Dia dianggap gagal sebab dia tidak disenangi
penduduk desa. Pemuda-pemuda desa telah membuat resolusi, menuntut agar dia ditarik dari desa itu.
Hanya dua puluh lima tanda tangan, tetapi tanda tangan milik generasi muda di desa itu. Mereka
menolak kehadiran Tody di desa mereka. Adakah yang lebih menyakitkan lagi?

Faraitody merasa telah mengabdikan diri buat kepentingan desa itu, tetapi begitulah peneriman orang-
orang setempat. Ya, mereka justru mengusirnya. Mereka mem-persona-nongrata-kannya, menurut istilah
anak-anak sospol.

Lalu, bagaimana bisa menghadapi orang banyak? Ke mana pun dia berjalan, orang akan mencibir dan
mengatakan, "Hm, si intelektuil yang gagal, yang tak bisa turun ke masyarakat, apa lagi yang mau
diomongkan?"

Maka Tody murung sepanjang hari. Pukulan itu teramat berat. tetapi, kenapa tidak berusaha mencari
peluang yang lebih segar? Berkutat di kampus cuma akan mengingatkan pada pengalaman pahit, pikir
Tody.

Dan, setelah senja dilihatnya cerah, dia keluar dari gerbang Asrama Realino. Dia menuju rumah yang
halamannya ditumbuhi bunga bermekaran. Rumah yang pilar terasnya dirambati jalaran anggur. Rumah
yang menyimpan senyum syahdu seorang gadis. Ya, ke sana dia melangkah. Ke rumah Irawati.

Baru saja Tody menekan bel, pintu terkuak. Irawati muncul. Kelopak mata gadis itu terangkat. Dia
terkejut.

"Hai, Mas Tody! Bilangnya enam bulan?"

Tody tak menjawab. Dia mengamati pakaian gadis itu serta tas di tangan gadis itu. Lalu katanya, "Kau
mau pergi?"

"Ya. Eh, tidak, tidak! Ayo, masuk, Mas Tody."

"Lebih enak di teras ini saja."

Langkah gadis itu melenggang mendahului Tody berjalan menuju kursi di teras.

"Kok mendadak sekali pulangnya, Mas Tody?"

Tody tak menjawab.

"Senang di desa?"

"Ya, senang."




"Tentu saja senang. Di sana pasti banyak cewek. Mas Tody pasti populer di sana."

Wajah Tody kembali disaputi mendung. Tetapi, gadis itu tak memperhatikannya. Sebab, sesebentar

gadis itu mengawasi jalan raya.

"Kau menunggu seseorang?" tanya Tody.

"Ah, tidak!" kata Irawati cepat-cepat.

"Kalau kau ada janji, biar aku pulang," kata Tody.

"Ah, tidak."

Sesaat mereka diam. Kumbang menggeremet di daun anggur.

"Masih akan kembali ke desa lagi, Mas Tody?"

"Tidak."

"Saya kira Mas Tody sudah kawin dengan cewek sana."

"Ah, kawin bukan soal gampang."

"Ah, siapa bilang? Banyak mahasiswa yang ke desa terus kawin dengan orang sana."

"Hm," gumam Tody.

Irawati tertawa-tawa kecil.

"Bagaimana kuliah-kuliahnya, Dik Ira?" tanya Tody tiba-tiba.

"Uh, sulit. Dosen-dosennya banyak yang omong Inggris melulu."

"Risikonya milih jurusan Inggris."

"Saya jadi malas kuliah."

"Nanti tak naik tingkat."

"Biarin saja. Saya tak kepingin jadi sarjana. Bikin botak kepala."

"Lalu, kau mau jadi apa?"

"Ya, apa saja."

"Lantas, untuk apa masuk universitas?"

"Iseng-iseng," kata Irawati seraya tertawa.

"Menunggu kawin?"




"Yah, kalau ada yang mau."
"Bah!" Tody menggeleng-geleng.
"Bah!" Irawati menendang kaki Tody.
Dan, Tody tertawa. Deru sepeda motor di jalan raya membuat Irawati cepat-cepat menoleh. Lalu motor


itu melaju melintasi rumah Irawati. Irawati bernapas lega. "Ah, sebenarnya kau mau pergi, ‘kan?" kata Tody.
Gadis itu gelagapan.
"Biar lain kali saja aku datang." Lalu Tody berdiri.
"Jangan. Di sini saja, Mas Tody. Nggak apa-apa. Saya nggak mau pergi kok."
Tetapi, Tody telah berdiri. Gadis itu pun berdiri dan menahan lengan Tody.
Tody berpikir, andainya benar gadis ini mau pergi, aku harus mengantarnya. Tapi, dia bilang tak mau


pergi, dan dia seperti menanti seseorang. Apakah dia bermaksud mengkonfrontasikan aku dengan
pemuda lain? Bah!
Maka Tody melangkah.


"Jangan pergi, Mas Tody!"
Tody menepiskan tangan gadis itu. Maka tas yang sedari tadi dipegang Irawati terjatuh. Isinya tumpah
ke lantai. Gadis itu buru-buru memungutinya.


Tody merasa menyesal. Lalu dia membantu memunguti benda-benda yang berserakan. Dan, dia tertarik pada beberapa benda. Seperti obat-obatan. Ada cairan dalam ampul. Dan, ini tablet bersampul kertas
timah, bertuliskan Valium 10.

Tody terpaku. Irawati berusaha merampas tablet itu dari tangan Tody. Tody menggenggamnya, tak mau
menyerahkan.
"Kembalikan!" Suara gadis itu terengah.


Tody mengawasi wajahnya yang keruh.
"Sebentar," katanya, lalu dia merebut tas gadis itu. Gadis itu berusaha merampas kembali tasnya, tetapi
Tody menepiskan tangannya. Dia tuangkan isi tas itu ke meja. Bungkusan kertas jatuh dan serbuk
serbuk daun semak berhamburan.


"Kembalikan!" jerit gadis itu.
Tody melemparkan tas itu ke lantai.
Irawati dengan gugup mengumpulkan benda-benda itu di meja. Dan, tergesa-gesa memasukkan ke tasnya. Napasnya terengah. Dia mendekap tasnya erat-erat.
"Hm, morfinis," kata Tody pelahan.
Gadis itu mengedikkan bahu, lalu melangkah ke arah pintu masuk.
"Tunggu!" Tody menyemba bahu gadis itu.
Irawati menatapnya.
"Untuk apa barang-barang itu?" tanya Tody dingin.
"Itu bukan urusanmu!" Suara Irawati ketus.
"Katakan! Dari mana kauperoleh barang-barang itu!"
"Bukan urusanmu!" jerit gadis itu.
Tody mencengkeram bahu gadis itu kuat-kuat.
"Katakan! Di mana sumber barang-barang terkutuk itu!"
"Itu urusanku!"
"Aku harus mengetahui siapa sumbernya. Sumber yang merusak orang-orang muda di kota ini. Katakan,


di mana!"
"Saya tak akan mengatakannya!"
"Ayo, katakan!" Tody memencet bahu gadis itu.
"Terkutuk! Lepaskan! Aduh, lepaskan!" Irawati menggeliat-geliat menahan rasa sakit di bahunya.
"Ayo, dari mana kauperoleh ganja, morfin, dan valium itu! Aku harus tahu. Aku harus memberi tahu polisi!"


Tiba-tiba gadis itu memutar kepalanya dan menggigit tangan Tody. Terpaksa Tody melepaskan cekalan
tangannya. Irawati berlari masuk rumah, dan menghempaskan daun pintu.
Tody terpaku sembari mengusap-usap tangannya yang tergigit.
Gadis semacam inilah ternyata yang kupergauli selama belakangan ini? Kalau begitu, dia berkali-kali pingsan waktu Mapram dulu, oleh sebab biasa menggunakan narkotika. Mungkin lantaran masa pemakaian narkotiknya terlewati maka dia pingsan.


Bah!
Tody berjalan cepat-cepat. Gadis yang punya mata sendu, ternyata mata mengantuk yang di-tayang
ganja. Bibir yang menggigil itu, ternyata bukan karena takut menghadapi senioren, melainkan karena
ketagihan narkotik. Bah!





Gadis yang begitu cantik, punya orang tua kaya dan menyayanginya, kenapa sampai terlibat dalam
kebiasaan terkutuk itu? Apa sebenarnya yang merusuhi hatinya? Seseorang bisa terlibat narkotik
biasanya lantaran hantaman-hantaman hidup yang menggoncangkan dirinya. Nah, gadis itu? Frustasi
macam apa yang mau singgah kepadanya? Ah!

***
Berkurung di kamar Asrama Realino. Itu yagg bisa diperbuat Tody masa ini. Dia tak punya gairah
menjenguk gedung fakultasnya. Dia membenam diri dengan membaca novel-novel. Mulai dari cerita
silat sampai poketbook Amerika dan Inggris. Lemari perpustakaan asrama yang selama ini

diabaikannya, ternyata sekarang merupakan tempat yang paling menyenangkan. Untuk sementara,
selamat tinggal, textbook yang memusingkan kepala di perpustakaan universitas.
Tak ada yang mengganggunya. Cuma, sore itu, ketika matahari sangat bagus merahnya di langit barat,


pintu kamar Tody tiba-tiba terbuka dengan kasar. Terkutuk! Tak ada yang berani kurang ajar di asrama
ini. Selamanya, penghuni-penghuni lain akan mengetuk pintu terlebih dahulu.
Anton cengar-cengir di ambang pintu. Tody melepaskan napas panjang.
"Well?" tegur Anton.
Tody cuma menggeser kursi untuk tempatnya duduk.
"Bagaimana perkembangan cintamu?"
Tody mengangkat bahu.
"Down lagi?"


Tody tak menjawab. Dia kembali membaca. Anton menyentakkan buku itu.
"Kalau Tuan Besar lagi ngomong, jangan membaca dulu!" katanya. Dia mengamati muka Tody yang
murung. "Frustrasimu lipat ganda rupanya."


Tody tertawa pahit.
"Kalau begitu, yuk, kita nonton."
"Ah, malas."
"Ke rumah cewek-ku?"
"Malas."
"Aku traktir di Restoran Singapura?"
"Ah."
"Ke gereja?"





"Ah, jangan ganggu aku," kata Tody lemah.
"Wah, gawat ini."
Keduanya diam. Anton menjenguk keluar lewat jendela. Dan, dia berteriak mengejek pukulan mis


pemain badminton di halaman. Kemudian dia kembali mengawasi wajah Tody.


Tanpa mengangkat kepala, Tody bertanya, "Kau tahu banyak anak muda di Yogya ini yang terlibat
narkotik?"
"Yah. Ada kutahu. Tapi, tunggu dulu. Banyak yang kaumaksud itu, berapa orang? Setahuku cuma

segelintir saja."
"Kau tahu di antaranya ada mahasiswa?"
"Yah. Ada yang sudah konsultasi ke biro kami. Sudah sembuh."
"Sebaiknya kauselidiki di mana mereka memperoleh barang-barang itu."
"Kenapa aku? Itu urusan polisi."
"Apa salahnya membantu polisi?"
"Tugasku menyembuhkan gangguan jiwa orang. Bukan intel."
"Di mana tanggung jawab sosialmu?"
"Alaaa, sok tanggung jawab sosial segala. Kalau aku berbuat sebaik-baikya dalam tugasku, itu sudah


bertanggung jawab sosial namanya. Tanggung jawab sosial bukan berarti harus jadi intel polisi. Aku
memang tahu sejak lama ada beberapa orang yang suka pakai morfin. Tugasku menyembuhkan
gangguan kejiwaan mereka, bukan menangkap mereka, atau menyerahkannya pada polisi.

"Tapi, selama sumber barang-barang itu belum diberantas, masih akan banyak orang-orang muda yang
rusak," kata Tody.
"Tugas polisi atau Kopkamtib memberantasnya."


"Mereka mungkin belum tahu."
"Itu gunanya intel, informan, atau segala macam yang serem-serem itu. Tugasnya mencari itu, bukan
cuma nunjukin gagang pistol di balik bajunya. Bukan nakut-nakutin rakyat kecil."


"Karena itu kita terpanggil untuk membantu polisi."


"Wah, wah, wah. Kayak seruan penyebar Al-kitab saja. ‘Kan sudah ada pembagian kerja? Kenapa harus
sibuk di luar bidang kita?"
"Ini untuk keselamatan masyarakat," kata Tody.
Anton memegang bahu Tody dan berkata, "Kau seorang modernis Tody?"





"Kuharap begitu."
"Nah, kau tahu ciri masyarakat modern?"
"GNP tinggi....
" "Huh! Apa GNP? Oh, ya, kau anak ekonomi. Kalau orang sospol akan bilang begini: modern, kalau dalam sistem masyarakat kita, ada sistem-sistem dengan spesialisasi yang tegas, dan masing-masing
bergerak dengan karakteristiknya sendiri sehingga tercipta mekanisme untuk hidup lebih baik bagi
individu-individu dalam masyarakat. Semakin modern, semakin tegas pula masing-masing spesialisasi
itu. Hm, agak ilmiah juga. Jadi, kalau polisi, dia harus berlaku sesuai dengan sistem spesialisasinya.
Kalau pejabat ya jangan memborong. Atau, jenderal jangan jadi pengusaha. Itulah konkritnya!"

Tody diam.
"Bukan aku tak mau membantu polisi. Tapi, bantuanku adalah dengan sistem yang ada dalam spesialisasiku. Kalau dibilang harus membantu pembangunan, misalnya, ‘kan bukan berarti wartawan harus ikut menguruk semen. Dia bekerja di bidangnya, sesuai dengan sistem spesialisasinya. Begitu juga
spesialisasi lainnya."
Tody membisu.
Anton tertawa kecil.
"Kayak kuliah ya?"
Beberapa saat mereka diam. Di luar, penghuni asrama berteriak-teriak menyemangati permainan


badminton yang terus berlangsung.
"Tapi, omong-omong, kenapa kau tertarik soal itu?"
"Yah," kata Tody menunduk. "Sebab, baru-baru ini aku tahu ada sorang mahasiswi juga terlibat."
"Eh, itu hebat. Siapa?"
"Irawati," kata Tody hambar. Ludahnya terasa pahit.
"Bah!" Anton menggaruk-garuk kepalanya. "Bagaimana bisa?" katanya kemudian.
Tody cuma mengangkat bahu.
"Dia dari keluarga yang pecah?" tanya Anton lagi.
"Setahuku tidak. Ibunya sangat lembut. Baik sekali."
"Dari seorang ibu yang baik, bagaimana bisa ada gadis sebrengsek itu?"
Tody termangu-mangu.
"Ah, sudahlah! Lupakan dia. Biar orang tuanya atau polisi yang mengurusnya."





Tody tak jua keluar dari ketermenungannya.
"Atau, kau masih mencintainya?" tanya Anton.
Tody mengeluh halus.
"Apa cinta itu sebenarnya, Anton?" Dan, bayangan Murtini yang menangis di depannya berkelebat di


kepala Tody. Pun, rumah desa yang dinaungi pohon sawo itu.
Anton tertawa-tawa kecil.
"Sudah berkali-kali kubilang, jangan sentimentil!" katanya. "Ayo, kita jalan-jalan. Sesekali begadang


apa salahnya?" Lalu dia menyeret Tody. "Banyak melamun akan berakibat dua kemungkinan. Kalau tidak jadi pengarang, ya jadilah orang gila, Karena kau tak punya bakat menulis, maka kau bisa senewen. Ayo!"

Kemudian mereka menyusuri jalan ke arah selatan. Anton menepuk-nepuk kantong celananya.

"Kebetulan aku baru terima honor dari risetku. Nah, kita bisa minum-minun bir dan makan panggang ayam, sambil membicarakan keadilan sosial buat rakyat yang makan gaplek. Sesekali menikmati ironi
kayak pejabat-pejabat penting ‘kan lumayan?" katanya.
Mereka tak mempedulikan serombongan orang muda yang mendatangi mereka dari arah depan. Tepat

lima langkah di depan mereka, orang-orang muda ini berhenti.
"Nah, ini dia!" kata seorang pemuda gondrong.
"Hantam saja, Yan!" kata temannya.
"Tunggu. Kita tanyai dulu," kata Yanuar seraya mengibaskan gondrongnya.
Lalu dia mendekati Tody.
"Kamu yang mengancam Irawati?" tanyanya.
Darah Tody berdesir.
"Kamu yang mau melaporkan Irawati pada polisi?"
Tody menggigit-gigit bibir. Anton mengamati kelima anak muda itu.
"Nah, memang dia. Lihat saja, dia gugup," kata Yanuar,
"Sikat saja!" kata temannya.
Cepat sekali kelima anak muda itu menerjang. Pukulan sisi tangan Yanuar hinggap di mulut Tody. Kaki


seseorang masuk ke perut Anton.
"BaJingan!" sungut Anton sembari bangun dari kejatuhannya.
Tody mundur sambil mengusap bibirnya yang berdarah. Lalu, terjangan berikutnya disambut oleh keduanya dengan jurus karate dan kempo. Perkelahian tak bisa dielakkan. Dua melawan lima. Tetapi,
kelima anak muda itu dalam beberapa jurus sudah tersengal-sengal napas mereka sehingga Anton dan
Tody dapat bolak-balik mengirimkan pukulan dan tendangan. Kelima pemuda itu bergelimpangan.

Tody meludahkan darah dari bibirnya yang perih.
"Edan!" katanya. Lalu dia menyusul langkah Anton. Seperti tak terjadi apa-apa, Anton berjalan.
Anton tertawa begitu Tody menjejerinya.
"Tody, aktivis kampus, bertarung dengan brandal-brandal kota. Kalau difilmkan, wah, hebat!" katanya.
Tody menggumamkan gerutuan.
"Sempat juga yokogeri bangsat itu ke perutku. Bajingan!" sungut Anton.
Tody menepis-nepis debu dari celananya.
"Gara-gara cewek," kata Anton.
"Bikin malu," kata Tody.
"Tapi, kempomu masih tangguh. Digabungkan dengan karateku, kita bisa jadi pendekar dalam film


silat," kata Anton.
"Ah, taik film!" gerutu Tody.
"Bisa sakit dada si Gondrong yang kena chudantsuki yang kuberikan."
"Sudahlah. Kita jadi minum bir nggak?" kata Tody.
"Tentu saja. Bahkan cari tukang pijit halus pun aku siap."
Mereka berjalan lebih bergegas.


***
Betapapun kepinginnya Tody bertemu dengan Widuri, itu sudah tidak mungkin lagi. Sayang keinginan
itu terlampau terlambat datangnya. Setelah gerombolan teman Irawati memukul mulutnya, setelah
menenggak bir dan menerima advis Anton, barulah keinginan itu timbul. Tetapi, Widuri tidak lagi
berada di Yogya. Dia telah kembali ke desanya. Kepahitan beruntun datang pada gadis itu. Empedu
paling amis yang disodorkan realita, berkali-kali harus dia telan. Tak terelakkan. Dia menangis tanpa
suara selama berhari-hari. Satu-satunya kata yang terus berputar hanyalah: karma, karma, karma! Karma
apakah yang kualami ini? Karma apakah yang menimpaku ini? Dia tak mampu melihat jahatnya realita.

Dia hanya bisa mencari kejahatan pada dirinya. Maka dia tak menemukannya hingga dia menerima surat
dari ayahnya. Dia harus pulang ke desanya.
Itulah rumput semak yang meranggas dalam hidup Widuri. Sekarang tak ada lagi kecerahan. Segalanya

berbaur dalam bayangan kelabu. Segalanya. Kecuali mata Suster Maria yang bening. Suster Maria yang
tua, yang mencium pipinya sebagai ucapan selamat berpisah di stanplat bus. Suster Maria yang
mengantarkannya hingga bus lenyap dari pandang matanya. Tak akan lenyap mata perempuan tua




berkerudung dan pakaian putih itu, mata yang berlinang itu, dari ingatan Widuri.

Dan, sekarang Tody layak melagukan nyanyian murung sepanjang hari. Di matamu kujenguk jendela
yang baur. Karena mataku kabur. Kubiarkan sinar kasihmu terbenam pilu. Karena hatiku beku.
Pangganglah aku dengan kesengsaraan, pangganglah aku dengan penyesalan. Biar diriku terlantar!

Memang, Tody akan telantar. Dia harus menghadapi hidup yang me-rumpun-semak-meranggas pula.
Daun-daun hidupnya kering, maka yang tinggal hanyalah ranting-ranting runcing mencuat menahan
teriknya matahari.

Ah, apakah hidup ini memang rentetan nasib demi nasib? Tody mengeluh sembari melipat surat dari
ayahnya. Harga ternak sedang naik di Jawa maka ayahnya mempertaruhkan ternak-ternak mereka yang terbaik untuk dikirim ke Surabaya. Tetapi, badai telah menelan ternak-ternak itu. Sederhana sekali
memang. Siapa yang bisa menghalangi badai Lautan Hindia yang menerkam laut di sepanjang Nusa Tenggara? Siapa pun tak akan bisa. Satu-satunya yang bisa diperbuat, sebenarnya, adalah tidak
mengirim ternak itu dengan kapal yang kecil. Tetapi, semuanya telah terjadi. Yang tinggal sekarang
hanyalah ternak-ternak kerdil yang membuat setiap peternak berpengalaman murung.

"Tody, apa boleh buat. Kau terpaksa berhenti sekolah. Ayah tidak bisa lagi mengirimkan biaya. Wetamu Margriet pun sudah Ayah panggil pulang. Kita miskin sekarang. Lebih miskin dari kerabat kita yang
kaukenal hidupnya susah selama ini." Itu kata ayahnya dalam surat.

Tody menelan empedu pahit itu. Weta-nya (adik), Margriet, sudah dipanggil pulang. Tetapi, dia toh
hanya adik perempuan. Aku, seorang lelaki. Apakah aku harus kembali ke kampung karena ketiadaan
biaya sekolah? Apakah harus ditinggalkan waktu enam bulan lagi ini? Harus meninggalkan skripsi yang
terbengkalai ini?

Lelaki muda itu menghembuskan napas getir. Lalu, dia menceritakan kesulitannya kepada dekan
fakultasnya. Dekan sekaligus kosultannya dalam riset untuk skripsi.

"Kenapa kau tak kerja saja?" kata dekan itu.

"Saya sudah coba melamar ke beberapa perusahaan, tapi sia-sia. Malahan mental saya jadi rapuh
lantaran seringnya menghadapi tulisan TIDAK ADA LOWONGAN di tiap kantor. Tulisan itu seperti
mengejek ke mana pun saya pergi. Lebih-lebih jika menghadapi ucapan-ucapan bagian personalia yang
saya datangi."

"Ke perusahaan mana saja kau sudah melamar?"

Tody menyebutkan satu per satu nama perusahaan itu.

"Semua menolak?"

"Ya."

"Apa alasannya?"

"Karena saya tidak punya pengalaman kerja."

"Apakah ijasah sarjana mudamu tidak mereka hargai sama sekali?"




"Ah," keluh Tody. Dia menunduk murung. Lelaki tua itu mengamatinya lekat-lekat.

"Kau betul-betul mau kerja?"

"Yah," desah Tody.

Dekan itu berpikir-pikir. Kemudian katanya. "Aku punya teman baik. Perusahaannya ada beberapa buah
di berbagai kota. Kau bisa mencoba ke situ. Bawalah rekomendasiku."

Jantung Tody gemetaran saking girang. Gedebur-gedebur di dadanya tak henti-henti sementara
menunggu dekan itu menulis katabelece.

Jika musim hujan tiba, rumput semak yang meranggas akan hijau kembali. Selembar katabelece telah
mengubah kehidupan.

Apakah bedanya diriku yang sekarang dengan diriku yang dulu? Apakah beda otakku yang sekarang
dengan otakku yang dulu? Masih yang dulu jua. Tetapi, begitu berubah sikap pegawai perusahaan itu,
pikir Tody. Lebih-lebih bagian personalia itu. Tiap kali menatap muka orang itu, Tody langsung ingat
senyuman sinis waktu pertama kali Tody memijak kantor itu. Dan, sekarang muka itu begitu gugup
begitu melihat Tody keluar dari kamar direksi dan menyodorkan perintah penempatannya di kantor itu.
Langsung perintah dari presiden direktur! Tak perlu lagi liku-liku yang menyakitkan hati. Dengan selembar katabelece, itulah segala-galanya teraih!

Mungkin karena rekomendasi dekan itu maka Tody dipercaya oleh presdirnya. Presdir itu jarang datang
ke kantor. Dia harus membagi waktunya untuk perusahaan-perusahaan yang lain di Jakarta, Bandung,
dan Surabaya.

Bulan ketiga Tody di kantor itu, dia merasa telah terangkat ke atas dengan mendadak. Sebab, presdirnya
memintanya melaporkan perkembangan perusahaan itu selama presdirnya itu tak ada.

Tody menyukai lelaki gemuk yang tak pernah lepas dengan cerutu di tangannya itu. Presdir itu bagai
seorang ayah layaknya. Suaranya yang berat, matanya yang selalu seperti bercanda, dan yang gampang
memekarkan senyuman itu, adalah bayangan ayahnya bagi Tody. Ah, andai saja lelaki yang duduk di
kursi menghadap meja jati besar, berbaju putih dengan dasi rapi itu ayahnya!

Tetapi, dia bukan ayahnya. Ayahnya adalah lelaki yang suka berpakaian warna gelap, merokok
lintingan, dan kalau sore hari selamanya berada di rumah. Akan halnya presdir ini, adalah tipe bisnismen
tulen. Sibuk sepanjang hari. Bepergian tak henti-hentinya. Hanya sebentar duduk di kantor, itu pun
untuk menginterlokal perusahaannya yang di kota lain. Melompat dari kesibukan yang satu ke
kesibukan yang lain.

Lelaki semacam itu jelas bukan ayah yang ideal. Sebagai boss, memang boleh. Tody patut menyerap vitalitas lelaki tua itu. Cuma, kini presdir itu dihadapkan pada kericuhan dalam rumah tangganya.
Kericuhan yang datang dari anak gadisnya. Kemelut menjaring keluarganya. Dia sedang menghadapi air
mata istrinya, serta tangisan anak-gadisnya yang tak henti-hentinya. Kini dia menyadari bahwa
kesibukannya membuat istrinya harus memikul beban yang berat selama ini. Istrinya kesepian di rumah
yang besar. Seharusnya, di hari tua ini dia setia menemani istrinya di rumah. Seharusnya dia menikmati
mekarnya bunga-bunga yang dirawat istrinya, dan melihat bunga yang tumbuh di dalam rumahnya,
yakni anak-gadisnya yang kian dewasa.

Apakah yang kucari selama ini dengan kesibukan yang mendera? Bekerja tak berkeputusan. Untuk apa?




Uang? Untuk kebahagiaan keluarga? Uang telah terkumpul selama ini. Anak-anak lelaki sudah
disekolahkan semuanya. Sekolah ke Amerika, Jerman, atau ke mana saja. Semuanya telah hidup
memuaskan, menimbulkan rasa iri keluarga-keluarga Yang lain. Betapa bahagianya keluarga itu. Punya
anak-anak lelaki yang semuanya sukses karir. Itu kata orang. Tapi, kenapa aku sendiri tak pernah puas?
Kenapa aku tak jua berhenti bekerja? Presdir itu diam-diam berdesah di kamar kerjanya.

Presdir itu termangu. Tody mengira, dia sedang memikirkan perusahaan lain miliknya. Dan, lelaki tua
berambut putih itu tetap menyudutkan diri dengan pertanyaan-pertanyaan di benaknya. Kenapa aku tak
memulai kehidupanku yang tua dengan tenang di rumah? Kenapa? Oh, karena aku takut menjadi tua!
Aku takut mati sebagai kakek-kakek pikun. Karena itu maka aku harus memelihara diriku sebagai lelaki
perkasa, penuh vitalitas. Sekali aku berhenti bekerja, aku tak ubahnya kakek-kakek pensiunan. Alangkah
mengerikan. Aku takut menjadi tua. Ya, itulah soalnya!

Tapi, bagaimana dengan istriku? Dia menjadi tua begitu cepatnya. Lebih-lebih masa belakangan ini.
Kerut-kerut di pinggir matanya sangat kentara. Seperti sentakan saja ketuaan itu nampak di wajahnya.
Sedang aku....?

Lelaki tua itu mengusap mukanya yang bulat.

Ah, aku egois! Aku membiarkan istriku menjadi tua seorang diri. Seharusnya kami menjadi tua
bersama-sama. Kami, seharusnya sudah menjadi kakek-nenek yang menatap cucu-cucu bermain-main.

Kapankah aku memperhatikan anak-anakku? Kalau anak-anak lelakiku sukses, aku akan memetik
kebanggaan. Inilah anak-anak bisnismen tulen yang bisa mengendalikan perusahaan raksasanya dan pula
bisa mendidik anak-anaknya. Aku akan merasa diriku sebagai Kennedy Tua yang mendidik Kennedy-
Kennedy Muda jadi orang besar semua. Aku pun mencibiri pengusaha-pengusaha dan pejabat-pejabat
tinggi yang keluarganya mengalami dekaden. Toh keluarga mereka mengalami kehancuran, dan
keluargaku tidak. Cuma, berkat pendidikankukah itu?

Lelaki tua itu mengeluh. Dia mengusap-usap telinganya. Istriku! Dialah yang mendidik anak-anakku
selama ini. Aku hanya menyediakan materi. Adapun jiwa mereka, istrikulah yang mengisi. Dan, dia
telah berhasil. Dia telah melahirkan dan mendidik anak-anak lelaki yang kini dikagumi orang banyak.
Cuma, kenapa sekarang dia gagal mendidik si bungsu yang paling disayanginya? Kepada sibiran tulang
yang dimanja itu, kenapa didikannya gagal?

Apakah memang benar bahwa anak-anak lelaki harus dididik ibu, sedang anak-anak perempuan harus
diperhatikan oleh ayah? Kalau benar, berarti aku telah lalai. Siapa pun tidak kudidik dengan baik.
Bahkan satu-satunya anak perempuan juga tidak.

Aku hanya membebani perempuan yang kucintai sejak gadis hingga menjadi nenek-nenek itu dengan
kemelut rumah tangga, keluh lelaki tua itu tersekap.

Tak pernah diketahui oleh Tody bahwa bossnya sedang mengalami kegalauan pikiran. Sebab, dia tidak
tahu bahwa lelaki tua yang gemuk itu punya anak perempuan bernama IRAWATI!

***

Tody gugup menerima panggilan dan presdirnya. Lelaki tua itu tidak masuk kantor. Tody harus datang
ke rumahnya.




Was-was berkecamuk di dada Tody. Bukan hanya alamat rumah itu yang merusuhkan hatinya,

melainkan juga persoalan yang sedang mengganggu pikirannya akhir-akhir ini. Persoalan kepercayaan.
Padahal - inilah yang mengganggu tidurnya selama beberapa hari ini -dia tak bisa memelihara
kepercayaan itu.

Dia sendiri tidak tahu bagaimana segampang itu dia menduduki jabatan yang sangat meriskir
kepercayaan itu. Jalan untuk menuju kedudukan itu seperti jalan yang baru saja diresmikan menteri PU
layaknya: mulus. Dan, kemudian Tody mengambil uang dari situ juga seperti menciduk air di dalam
saja.

Uang itu memang bukan untuk pribadi. Tetapi, apa bedanya? Yang jelas, kas telah berkurang. Dengan
apa lagi keburukan itu harus dibandingkan? Tody mengeluh berkepanjangan. Nanti sore dia harus ke
rumah presdir.

Tody kemudian ingat wajah Sartono yang beriba-iba, dan setumpuk uang di dalam tasnya.
"Tolonglah, Mas Tody. Tolonglah.
"
"Aku tak bisa. Sungguh! Bagaimana aku menolongmu?"
"Cuma tiga hari saja. Aku sedang menawarkan motorku. Kalau laku, ditambah dengan bantuan orang tuaku, aku akan mengganti uang itu."
Tody lama terdiam.
"Ini menyangkut reputasi, Mas Tody," kata Sartono.
Tody membisu.
Sartono telah memakai dana Dewan Mahasiswa yang ada di bawah tanggung jawabnya. Tim peneliti


keuangan yang dibentuk rektor akan memeriksa dana-dana yang diberikan kepada Dewan Mahasiswa
itu. Di sinilah kenapa Sartono panik.
"Kau tahu sendiri, aku bukan orang kaya," kata Tody pelahan.
"Kan bisa, kau usahakan dari kantor?" desak Sartono.
"Mana bisa ngebon sebanyak itu?"
"Ambil saja uang kantormu."


"Bah! Korupsi?" kata Tody keras.
"Bukan korupsi. Kita cuma memakai sementara. Dalam tiga hari sudah kukembalikan. Takkan ada yang
tahu."


"Aku tak berani," kata Tody.
"Aduh, Mas, kau tak mau menolong? Aku bisa dipecat dari universitas. Aku tidak skripsi, Mas. Harapan





orang tuaku satu-satunya cuma padaku."
Tody menatap mata yang berlinangan.
"Tolonglah aku, Mas Tody. Kumohon, Mas...."
Tody membisu.
Sartono mengeluh-ngeluh.
"Kalau tiba-tiba kasku diperiksa, aku bisa kiamat," kata Tody kamudian.
"Takkan ketahuan. Pada hari apa diperiksa?"
"Memang belum diperiksa."
"Ah, kalau begitu, tak ada risikonya. Tolonglah aku, Mas, tolonglah. Aku masih ingin menyelesaikan


kuliahku."
Tody tak bersuara.
"Orang tuaku akan mengganti uang itu," kata Sartono.
"Kenapa bisa habis dana dewan itu?"
"Ah, entahlah. Sedikit demi sedikit aku tak sadar memakainya. Kesalahan universitas juga. Kenapa selama pengurus dewan yang lama tak pernah diadakan pemeriksaan? Kenapa setelah rektor baru sekarang harus diperiksa?"
"Karena rektor yang sekarang lebih tegas. Dan, barangkali pengurus dewan yang lama memang tak
terlalu banyak main."


"Ah, siapa bilang? Semua pengurus dewan korup!" kata Sartono.


"Kenapa kau memakai uang dewan?" tanya Tody jengkel.


"Oh, kecuali kau. Kecuali kau," kata Sartono cepat-cepat.


Untuk sesaat mereka membisu. Ruangan itu senyap. Tody menatap buku-bukunya di meja. Dia


membaca, tetapi wajah Sartono terus mengganggu dengan beriba-ibanya.
"Kau tak mempercayai aku, Mas?"
"Bukan soal percaya atau tidak, Ton. Aku tak berani memakai uang kantor."
"Cuma tiga hari. Takkan seorang pun tahu. Kau bisa mengembalikan uang itu diam-diam tanpa seorang


pun tahu."
Tanpa seorang pun tahu. Tak seorang pun tahu. Tetapi, muka Sartono yang memelas itu tak muncul
muncul setelah lewat tiga hari. Dia telah lenyap dari Yogya. Kegelisahan menggelepar di dada Tody.
Dia mencari Sartono ke kampus, ke tempat mondoknya, tetapi Sartono telah lenyap.





Bagaimana mengganti uang itu? Setengah juta! Angka yang mendirikan bulu kuduk kalau harus
menggantinya. Berhari-hari Tody gelisah. Namun, dia berusaha menyembunyikan kegelisahannya dari
siapa pun. Di mana Sartono? Lelaki yang matanya bisa berlinangan itu lenyap bagai ditelan bumi.
Terkutuk!

Hanya tiga hari. Tak seorang pun tahu. Sekarang, sudah lewat dari tiga hari. Bahkan sudah seminggu.
Dan, Tody dipanggil presdirnya. Oh, bagaimana mempertahankan nama baik? Bagaimana memelihara
nama baik dekannya yang telah merekomendasikan dia sebagai mahasiswa pinter, jujur, dan bertanggung jawab?

Tody mengeluh. Namun, dia harus tetap melangkah mencari nomor rumah presdirnya. Dan, jantungnya

hampir copot sebab rumah yang harus dimasukinya, rumah bertaman indah itu, rumah Irawati!
Risau dan rusuh bercampur dalam adonan yang pekat di dada Tody. Sebelum bel dibunyikan, pintu telah
terbuka.

"Tuan dan Nyonya menunggu di ruang dalam," kata pelayan menyebutnya.
Tody bensaha meredakan jantungnya yang tak beraturan lagi denyutnya. Dia melintas di atas permadani


yang menyekap suara sepatunya. Terus melangkah mendikuti langkah pelayan. Maka Tody tak mampu
meredakan debur-debur di dadanya.
Ibu Irawati tersenyum murung. Presdir itu mengisap cerutunya sebelum bertanya, "Bagaimana keadaan

kantor, Tody?
"Baik-baik saja, Pak."
"Hm." Lelaki tua itu menaksir-naksir.
Tody sempat melirik ibu Irawati yang mengusap matanya.
"Kau sudah ada rencana kawin, Tody?" tanya lelaki tua itu.
Tody gelagapan.
"Belum," katanya kemudian.
"Kalau tak salah; kau teman Irawati ya?"
"Ya," desah Tody.
"Kenapa tak pernah lagi datang ke sini?"
"Oh," keluh Tody.
"Selama ini kau tahu kalau aku ayah Ira?"
"Tidak."
"Hm." Lelaki tua itu menaksir-naksir lagi.


"Rupa-rupanya Nak Tody bertengkar dengan Irawati?" Tiba-tiba ibu Irawati menyeling.
"Oh, tidak, tidak, tidak," kata Tody gugup.
"Lalu, kenapa mendadak tak muncul-muncul kemari?"
"Saya... saya... saya..." Tody merasa napasnya menghimpit.
"Ah, sudahlah," kata ayah Irawati. "Itu urusan dulu. Aku mau membicarakan urusan sekarang. Urusan
kantor."
Napas Tody sesak. Paru-parunya memberontak.
"Begini, Tody," kata lelaki tua itu pelan-pelan. "Beberapa hari yang lalu, ada pegawai yang mengabarkan bahwa uang setengah juta di bawah tanggung jawabmu tidak ada di kas."
Tody menggigil.
"Uang itu tidak banyak sebenarnya," kata lelaki tua itu meneruskan.
Tody mengulum ludah yang terasa pahit. Getir.
"Betulkah uang itu kauambil?"
Seluruh jaringan tubuh Tody menggeletar.
"Ya," desahnya. Matanya terhunjam ke lantai. Keringat merembes dari sejumlah pori-pori kulitnya.
"Ah," keluh lelaki tua itu.
Ibu Irawati mengusap matanya lagi.
"Saya akan menggantinya," kata Tody. Bibirnya garing.
"Ya? Kapan?"
Tody terhimpit.
Ibu Irawati pindah duduk ke samping Tody.
"Begini, Nak Tody," katanya lunak. "Kami menyukai kau. Sejak lama saya menyukaimu. Saya akan senang kalau kau jadi anak saya."
Tody menatapnya nanap. Lalu berpindah ke tangan perempuan tua itu yang memegang bahunya.
"Kami mengetahui bahwa kau seorang yang jujur"
Tody terengah.
"Karena itu saya senang waktu kau bergaul dengan Irawati dulu. Walaupun kemudian putus, tetapi saya masih tetap berharap kau jadi bagian keluarga kami." Lelaki tua itu menangkap kegelisahan di mata Tody. Maka katanya, "Langsung saja. Begini, Tody.

Kami punya anak perempuan. Sudah dewasa. Kami ingin kau menjadikannya istrimu."

Jantung Tody telah berkali-kali terperanjat. Tetapi, sekarang lebih-lebih kadar kagetnya.

"Sebenarnya.... sebenarnya... sebenarnya... apa maksud Bapak dan Ibu?" katanya terbata-bata.

"Itulah. Kau jadi suami Irawati," kata lelaki tua itu datar.

"Saya belum berniat kawin masa sekarang ini," kata Tody pelahan.

"Tapi, kami memohon dengan teramat sangat."

Tody terpaku. Apa-apaan ini?

"Kenapa?"

Ibu Irawati mengusap matanya yang dirembesi air.

"Aku telah berbuat baik kepadamu selama ini," kata lelaki tua itu. "Dan, sekarang aku memohon kepada kau."

Tody mengahhkan matanya ke arah ibu Irawati. Perempuan tua itu menatapnya nanap dengan mata yang

bersimbahan air. "Dan, soal setengah juta uang kantor itu bisa kita lupakan saja," kata lelaki tua itu.

Tody membisu.

"Kenapa saya harus mengawini dia?" tanya Tody terputus-putus. "Karena... karena..." Perempuan tua itu semakin terisak.

"Langsung saja," kata ayah Irawati. "Karena dia hamil," lanjutnya datar.

Bah! Sejuta petir boleh berdegar, tetapi tidak sekaget ini Tody mendengarnya.

***

Hari-hari Berempedu

O, NAMA BAIK, alangkah pahitnya kau! Hargaku setengah juta rupiah. Aku harus menjadi suami
perempuan yang tak kucintai, dan sudah menyimpan benih akibat keliarannya! Setelah terbantingbanting mempertahankan idealisme, setelah tersaruk-saruk merindukan cinta, maka inilah hasilnya:
seonggok sisa!

Jika uanglah yang menjadi ukuran kebahagiaan, maka hanya seorang yang bahagia dalam peristiwa ini, yaitu Sartono. Dia mendapat setengah juta dan tak perlu dikembalikan. Kemudian masih mendapat
tambahan lagi sesuai dengan janji ayah Irawati. Lelaki tua itu sungguh-sungguh bisnismen. Dia mampu
menggunakan otaknya dan tenaga orang untuk kepentingannya. Tody seorang yang harus meratapi rumpun semak hidupnya. Semaknya kembali meranggas. Dari
kekeringan menuju kekeringan yang lain, itulah yang dialaminya. Untuk setengah juta rupiah, dia harus
menjual dirinya. Oh, malangnya lelaki miskin, malangnya si idealis yang ingin bernama bersih.

Dia takut nama baiknya sebagai pejuang mahasiswa menjadi rusak. Dia khawatir dekannya yang
mengharapkannya jadi intelektuil mengetahui lenyapnya uang kas yang harus dipertanggungjawabkannya. Dia tak mau orang menilainya sebagai koruptor. Dia tak ingin ada orang yang mencibir,
"Hm, si intelektuil yang ikut gerakan antikorupsi itu tak lebih dari anjing rakus juga. Bah!"

Tak akan ada yang percaya kendatipun dia berteriak setinggi langit bahwa setengah juta itu sama sekali
bukan dia yang menggunakan. Dia ditipu Sartono. Tak akan ada yang mau mempercayainya. Itu semua
sudah dalam perhitungan ayah Irawati. Maka, yang mengenyam kebahagiaan dari kemelut ini adalah
Sartono yang tetirah ke Bali. Akan halnya Tody? Dialah seorang suami yang murung. Sejak perkawinannya, tak satu pun sentuhan
diberikannya kepada Irawati. Bahkan matanya pun berusaha untuk tidak menatap perempuan itu.
Mereka tinggal di bawah atap yang sama, namun hati tak pernah berdekatan satu sama lain. Itulah yang
dirasakan Tody. Entahlah yang dirasakan Irawati. Matanya selalu ingin bertemu dengan mata lelaki itu,
tetapi tak pernah kesampaian. Dan, Irawati menghela napas yang berat.

Dia ingat akan upacara perkawinan mereka. Tanpa senyuman Tody memasukkan cincin ke jarinya.
Malahan matanya berlinangan. Jelas bukan gembira. Dia seperti anak kecil yang dipaksa orang tuanya
agar berbaikan dengan musuh yang telah menjewer telinganya di depan teman-temannya. Murung.
Pahit. Getir. Dan, di kamar mereka, Tody membuka sepatu tanpa memandang Irawati. Mengganti baju tanpa suara.
Lalu, membaringkan dirinya tanpa menyentuh Irawati sedikit pun.

Hari-hari adalah pantang senyum. Makan pagi dengan menekuri piringnya, makan siang jarang di
rumah, dan makan malam tanpa suara. Rumah mereka sepi. Tody lebih suka berada di luar rumah, di
kantornya, atau di perpustakaan universitas.

Tiap kali memandang punggung perempuan yang menjadi istrinya itu, Tody merasa memandang
seonggok dosa. Inilah iblis yang memakai kulit perempuan cantik. Iblis yang menyeringai siap
menerkam. Tody merasa berada dalam cengkeraman kuku-kuku iblis. Maka akan tersiksalah selamanya.

Ah, perkawinan adalah sesuatu yang suci. Tak boleh dua kali dalam hidup. Hanya kematian yang boleh
memisahkan. Begitu ujar kitab suci. Lalu, sampai mati harus bersama seseorang yang akan menyiksa
dirinya? Harus bersama perempuan yang telah memerangkap dirinya dan menusuknya dengan belung
berkarat? Ah!

Cuma, malam itu Tody mengira istrinya sudah tidur. Maka dia masuk kamar dengan langkah
bersijingkat. Baru saja dia membaringkan diri, perempuan itu membalik badan, menelentang menatap
langit-langit dan berkata pelahan, "Mas Tody."

Tody diam.




"Aku tahu kau membenciku," kata Irawati.
Tody cuma menghembuskan napas kuat-kuat.
"Tapi, bagaimanapun kita telah menjadi suami istri. Aku istrimu, dan kau suamiku. Untuk selama lamanya kita akan bersama."
Tody tak bereaksi.
"Anak yang kukandung ini tak kuketahui siapa ayahnya. Aku penuh noda untuk didampingkan dengan kau. Aku sama sekali tak berharga."
"Hargamu setengah juta!" kata Tody dingin.
Irawati merasakan tusukan nyeri di dadanya.
"Waktu Papa dan Mama bertengkar, baru aku sadar bahwa yang kulakukan selama ini telah berakibat jauh. Papa dan Mama tak pernah kulihat bertengkar. Kali ini, karena diriku maka mereka berselisih
hebat. Sampai-sampai Papa menempeleng Mama. Ah, Mama yang kusayangi ditempeleng Papa. Papa
bilang, Mama tak bisa mendidik anak. Mama menangis. Menangis terus. Lalu Papa menyuruh
menggugurkan kandunganku. Dia mau mengirimku ke Jerman. Tapi, Mama melarang. Papa bilang,
‘Kau mau arang tercoreng di kening kita dan semua orang melihatnya? Anak kita yang lain akan malu!’

Mama tetap tak setuju.
‘Dosa anak kita adalah dosa kita, sudah sebegitu mengerikannya. Masih harus ditambah dosa yang lain.


Bagaimana pertanggungjawaban kita pada Tuhan?’ kata Mama. Papa terdiam. Mama tak henti-hentinya
menangis. Kemudian... itulah, kita dikawinkan," kata Irawati.
Suara itu lunak, tetapi bagi telinga Tody menyakitkan.
Dia membelakangi Irawati, dan memulai kebiasaannya belakangan ini, menjelang tidur: mengenangkan


mata Widuri, bibir Murtini, Widuri, Murtini, Widuri, Murtini.
"Satu tempo anak ini akan lahir," kata Irawati tersendat. "Dan, dia mengira Mas Todylah ayahnya."
Tody merasa perutnya mual. Dan, dia jengkel lamunannya terputus.
"Dan, dia mengira dia berhak memasang fam keluargamu di belakang namanya. Kau mungkin


membencinya. Bahkan melarangnya menggunakan fam keluargamu. Dia akan terheran-heran."
"Bisa diam enggak? Aku mau tidur!" kata Tody tawar.
Irawati menutup rapat mulutnya. Dari pinggir matanya, mengalir air bening. Hangat menimpa pipinya.


Dia menatap langit-langit kamar, tetapi pemandangan berbaur dengan air mata.
Tody mengatur jalan pernapasannya untuk mempercepat proses tidurnya. Dia memejamkan mata.


Irawati hanya menatap punggungnya. Lalu, perempuan itu berkata pelahan, "Aku akan berusaha jadi
orang baik, Mas Tody."
"Jadi baik atau jadi lonte, itu bukan urusanku!" kata Tody tanpa nada.





***Sore itu, di Bioskop Royal, Tody bertemu Anton.

"Hai, ini sang manajer! Traktir dulu, ah!"

Tody tersenyum pahit.

"Kudengar kau sudah lulus. Di perusahaan mertuamu, kau sudah jadi direktur utama. Bukan main,

bukan main! Segalanya sudah kau raih. Ijasah sarjana, bini, dan kedudukan bagus."
Tody mengeluh tanpa suara. Mereka duduk di dekat gambar-gambar poster film.
"Kebetulan sekali ketemu," kata Anton. "Ada suster mau ketemu kau."
"Ngapain?"
"Mana aku tahu? Aku takut mengusut-usut suster. Takut kualat."
"Suster di mana?"
"Ayo, kuantar. Aku memang kepingin bertamu ke situ."
Mereka berjalan ke utara. Banyak mahasiswa Universitas Islam bergerombol di dekat pagar yang mereka lintasi. Tanpa antusias, Tody membaca spanduk di dinding kampus itu. Kemudian dia menatap


ke utara, ke bekas kampusnya: Gadjah Mada. Pohon cemara bergoyang-goyang, dan kerinduan melilit


relung hati Tody. Dia merindukan kehidupan kampus kembali. Kehidupan yang penuh gairah.

Jalan yang mereka lalui membentang dari Kampus UII menuju Kampus Gadjah Mada. Sekarang mereka

melintasi Rumah Sakit Panti Rapih.
"Waktu aku bertamu ke Asrama Syantikara, seorang suster pengawas di situ bertanya apa aku kenal kau.
Kenal sekali, kataku. Lalu, aku dimintainya memanggil kau kalau sempat."


Tody canggung berdiri dalam tatapan mata Suster Maria yang bening.


"Saudara Tody?" kata Suster Maria.


Tody mengangguk.


"Saya ada keperluan sedikit," kata suster itu seraya menatap Anton.


Anton tertawa.


"Oh, saya pergi dulu. Boleh saya menemui salah seorang penghuni asrama ini?" katanya.


Suster Maria mengangguk.


"Begini, Tody. Kau ingat Widuri?"




Tody merasakan debaran di dadanya. Dia mengangguk cepat.


"Sebenarnya lama sekali saya ingin membicarakan ini dengan kau. Tapi, saya pikir, setelah dia kawin
toh tidak ada gunanya lagi."
"Dia sudah kawin?" "Yah."
Tody menghembuskan napas dalam satu keluhan.
"Tapi, katanya dia tidak bahagia. Sebab, perkawinan mereka karena terpaksa. Hampir sebulan sekali datang surat darinya. Dia meminta nasihat saya. Tapi, apa yang bisa saya nasihatkan? Saya tak mungkin
mengubah jalan hidupnya. Nasihat saya apalah artinya." Suster Maria menatap Tody.
"Dia kawin sudah hamil."
"Bah?"
"Waktu masih di Yogya sini, dia diperkosa oleh sekelompok anak muda."
"Siapa? Siapa? Siapa?" tanya Tody dengan napas memburu.
"Itu sudah berlalu. Widuri sendiri tak ingin peristiwa itu diketahui orang banyak."


Tody tersandar di kursinya.
"Lalu, ayahnya mengalami petaka. Pabrik penggilingan padi mereka musnah terbakar. Widuri dipanggil
pulang. Tak mungkin lagi melanjutkan kuliah. Dan, dia tahu dirinya hamil setelah pulang ke desa. Lalu,
tak lama kemudian dia kawin dengan seorang lelaki bernama Maryoto."


Tody merasa dadanya ditindih seonggok batu. Sesak.
"Belakangan lelaki itu tahu bahwa anak yang dikandung Widuri bukan anaknya. Perlakuannya sangat
kejam terhadap Widuri. Lebih-lebih setelah anak itu lahir. Maka Widuri sakit-sakitan sekarang. Dia
pernah menceritakan tentang kau. Katanya kau seorang yang baik. Jika dia mati, dia ingin kau merawat
anak itu. ‘Saya yakin, Ibu,’ begitu katanya dalam surat, ‘Mas Tody mau memenuhi permintaan saya ini.


Ah, lebih baik kau membacanya sendiri," kata suster tua itu sembari mengeluarkan surat dari balik
bajunya yang putih.
Tangan Tody gemetar.
Widuri, gadis yang membisu bagai pohon cemara di tengah padang, ternyata menyimpan sejuta cinta.


Kesepiannya ia tangguhkan seorang diri, kesengsaraannya adalah kerikil yang terpecah di terik matahari.


Hancur dalam kepingan.
Dia kawin dengan seorang lelaki yang hanya ingin menaklukkan perempuan. Bukan karenamencintainya. Dan, memang Widuri tak berani mengharapkan cinta dari lelaki itu. Dia cumamembutuhkan seorang suami, agar sewaktu melahirkan dia bisa menulis namanya dengan sebutan ‘nyonya’. Sebab, itu penting sekali. Sementara itu, setelah mengetahui keadaan Widuri, Maryoto merasa ditipu.

Inilah karma, pikir Pak Hermanu, ayah Widuri yang menahan gelombang pada usia tua. Lalu, orang tua
ini bolak-balik menggali dosa, mencocokkan dengan kenyataan pahit yang harus ditanggungkan
anaknya dan dirinya sendiri.

Anaknya mencintai seorang pemuda, sedang pemuda itu tak membalas cinta gadis itu. Lalu dia
membenci pemuda itu, dan menghancurkan perasaan serta harapan-harapan pemuda itu. Maka pemuda
itu meninggalkan desa tanpa harga diri lagi.

Inilah balasan untuk setiap dengki dan keculasan, pikir lelaki tua itu. Dan, dia mengeluh.

***

Semakin berat kandungan Irawati, kian menyeringai ejekan. Tody tak tahan. Makin tak tahan disiksa
batinnya yang menghimpit. Dia yang selamanya berusaha hidup puritan, murni, dan jujur, bagaimana
bisa mengawini perempuan yang telah mengandung benih lelaki lain?

Pada belahan lain perasaannya, dia kadang-kadang iba melihat perempuan kurus itu. Dengan pakaian
hamilnya yang longgar, dia mondar-mandir di seputar rumah dengan mengemban beban berat di
perutnya. Sangat berubah dia. Dia yang dulunya begitu ceria, gadis yang lincah dan senang bercanda,
kini membisu sepanjang hari. Jika Tody berada di rumah, Irawati seperti kucing yang didatangi tuannya
dengan sebatang lidi di tangan, siap untuk mengusirnya. Matanya selalu ketakutan.

Tetapi, belahan lain dari perasaannya, Tody merasa dihimpit oleh ejekan. Ha, lelaki yang menjual
dirinya! Lelaki yang mau menampung barang sisa! Lelaki yang hidup di bawah atap rumah yang
dibelikan oleh mertua! Air yang diminum adalah karena perempuan itu. Nasi yang ditelan adalah berkat
perempuan itu, perempuan yang dibencinya.

Akhirnya Tody tak tahan. Ketika sebuah perusahaan asing membutuhkan kepala proyek untuk ditempatkan di daerah terpencil di Cilacap, dia melamar. Dan, diterima lamarannya. Tak ada kebahagiaan yang bisa menandinginya. Dia berangkat tanpa pesan kepada istrinya. Dengan bekal sebuah
kopor, dia ingin segalanya tertinggal!

Usaha yang dihirupnya terasa nyaman. Kilauan atap seng perumahan pegawai proyek yang dipimpinnya
terasa indah. Dan, deruman mesin buldoser yang menguruk tanah terasa empuk di telinga. Segalanya
indah. Segalanya kemilau.

Tody menganggap hidupnya harus diawali di proyek itu. Andainya dia harus memperingati hari penting
dalam hidupnya, hanya ada dua: hari kelahirannya dan hari pertama dia menjadi kepala proyek itu.

Kontak hanya berlangsung dengan Anton. Dia sering menulis surat buat Anton. Suatu hari dia menulis
surat begini:

Tak ada yang menandingi daerah ini, Anton. Ada sebuah sungai kecil yang airnya sangat jernih. Di
waktu istirahat, aku sering mancing di situ. Ikan-ikan sangat senang padaku.

Kau pernah bilang, bahwa aku potensiil jadi senewen. Dengan bangga kukabarkan pada kau bahwa
kemungkinan itu sangat jauh dariku sekarang. Memang ada di antara karyawan yang tak tahan kesepian.
Ada yang ingat bini, pacar, dan sebagainya. Mereka agak terganggu jiwanya. Aku sedang pikir-pikir,
apakah proyek ini memerlukan psikolog. Andainya diperlukan, aku akan mengusahakan agar kaulah orangnya. Ingat, pasienmu bukan aku. Aku sangat sehat, dan otakku sangat baik sekarang.
Soal cewek, seperti yang kautanyakan dalam suratmu yang lalu, bukan masalah yang sulit. Dengan jip,
dalam tiga jam bisa ke kota peristirahatan. Di situ ada kolam renang, hotel yang bagus (sudah di up
grade untuk menyongsong PATA), dan ada nite-club tak resmi. Hostesnya, yaaa, lumayan! Kapan
kapan akan kuceritakan lebih mendetil bagalmana kehidupan di situ. Bagaimana pula aku mengenal
seorang gadis yang nampak-nampaknya kesepian. Katanya dia dikecewakan seorang lelaki. Mungkin
juga dia cuma membohongiku. Kata salah seorang stafku di kantor, biasa gadis-gadis penghibur mengarang cerita-cerita yang sedih. Mereka menghibur lelaki dengan kesedihan hidup mereka. Tapi,aku tak peduli.
Nah, kalau kau ingin mengikuti kisah-kisahku selengkapnya di sorga ini, balaslah surat ini. Dan, jangan lupa, jangan kau menyampaikan kabar-kabar buruk. Jangan sama sekali. Biar kehidupan sorgawi ini


tidak rusak.
Perubahan yang drastis telah terjadi pada diri Tody. Dia bukan lagi lelaki murung dan termangu-mangu
untuk menilai setiap langkahnya. Dia melakukan apa saja yang paling baik untuk menyenangkan
dirinya.


Lampu-lampu berwarna biru redup dan merah samar. Kursi-kursi terisi penuh. Salah seorang stafnya
baru saja melambaikan tangan dan keluar menggandeng perempuan. Tody tersenyum-senyum. Untuk
beberapa saat dia menunggu. Lalu, seorang gadis telah tegak di depannya. Senyum gadis itu mekar.

"Sorry ya. Agak lama menunggu," kata gadis itu sembari duduk.
"Banyak tamu rupanya?" kata Tody.
"Ah, enggak."
Lalu percakapan selanjutnya hanya basa-basi. Apa pun yang dipercakapkan, toh nanti akan berakhir dengan gandengan tangan dan meninggalkan ruangan itu.
Eyeshadow menyebabkan mata gadis itu kelihatan redup. Dan, hidungnya yang mirip hidung Gina Lollo selamanya menimbulkan keinginan Tody untuk mengusapnya. Bibirnya merekah menandakan dia siap
dicium kapan saja, di mana saja.
"Kata Mas Tody mau mengantar saya ke tempat orang tua saya di Surabaya?" kata gadis itu. "Ya. Tunggu senggang dulu dong."
"Lima bulan saya tak pulang."
"Ngumpulin duit terus?"
"Ih!" Gadis itu mencubit Tody.
"Orang tuamu tahu kau di sini?"
"Tentu saja tidak. Mereka kira saya masih sekolah."
"Kenapa sekolahnya ditinggal?"





"Buat apa sekolah?"

"Ya, betul. Lebih enak jadi ratu kecantikan atau ratu pariwisata. Kau pernah ikut pemilihan?"

"Ah, malu dong. Mana mungkin menang."

"Kenapa tidak? Kau cantik,...."

"Ih!" Gadis itu mencubit Tody hingga Tody tergial. Pasangan-pasangan mulai berdansa. Musik pelahan
mengiringi. Lampu-lampu hidup-mati-hidup-mati.

Terima kasih untuk suratmu, Anton. Aku kepingin menceritakan cewek yang sangat mengagumkan.
Namanya Elsye. Aku tak tahu apa itu nama palsu atau asli.

Aku tak peduli. Biar palsu, tapi bagian lain dari dirinya tak ada yang palsu. Bulu matanya lentik tapi
bukan bulu palsu. Ya, mempesona. Dan, dadanya, pinggulnya, wah! Baru sekarang aku sadar kenapa
kau dulu tekun sekali memandangi dada dan pinggul gadis-gadis. Komposisi bagian tubuh itu memang
sangat menentukan untuk ujud keindahan.

Anton, nampak-nampaknya ada perkembangan baru dalam hubungan kami. Kaubayangkan, dia sering
datang ke rumahku. Ini keajaiban. Kata stafku, gadis itu akan memporot uangku. Tapi, kenyataannya?
Wah, dia menangis waktu kukasih duit sebagaimana lazimnya dalam bisnis semacam itu. Dia menangis
sedih. Katanya, dia ingin diperlakukan sebagai manusia, bukan barang dagangan. Bayangkah, Anton.
Dia tak mau hubungan komersil. Aku mengajuknya, ‘Kalau begitu, kau tak boleh melayani lelaki lain.’
Nah, gawat! Sebab, dia betul-betul tak mau lagi ke nite-club itu. Dia tinggal di rumahku. Aku jadi
pusing tujuh keliling.

Dia sudah mulai bicara soal cinta. Tapi, aku selamanya ingat advis kau. Bercinta dengan reserve. Dia
agresif, Anton. Sampai aku agak gugup. Dia bertingkah kayak biniku saja. Dia merapikan buku-bukuku.
Merapikan meja kerjaku, Cuma, satu hal yang menimbulkan kejengkelanku. Dia mulai berani mengatur
aku memilih-milih pakaian. Kalau mau bepergian, dia memaksaku agar aku berpakalan yang mode serta
warnanya serasi dengan warna pakaiannya. Itu membikin aku panik. Bagaimana kalau betul-betul jadi
istriku? Mungkin dia akan mengatur lebih mendetil lagi. Mungkin dia akan mengatur jam berapa aku
harus membaca, jam berapa aku harus berak. Bah!

Berurusan dengan perempuan memang rumit, Anton. Bercinta memang menyenangkan. Tapi, kalau
harus lebih serius, yah, minta ampun. Terlalu banyak tetak-bengek yang memusingkan kepala. Sekarang
memang belum nampak tanda-tanda dia menuntut ini-itu. Mungkin karena belum banyak perbandingan,
soalnya di sini tidak begitu ramai. Bagaimana kalau kami tinggal di tempat yang punya lingkungan
beraneka macam? Apakah dia tidak akan mendesakku agar aku memenuhi tuntutan-tuntutannya yang
sesuai dengan kodrat perempuan, yang selamanya punya "rising demand", tuntutan yang selalu
meningkat? Aku ingat bagaimana merajalelanya korupsi di negeri ini. Konon karena ulah para istri yang
tak pernah merasa berkecukupan. Kaum istri suka membandingkan kekayaan-kekayaan materiil dengan
lingkungannya.

Anton yang baik, andainya kau ada di sini, aku ingin kau menyelidiki gadis itu. Tipe bagaimana
sebenarnya dia. Nampak-nampaknya dia sangat mengagumi diriku. Baginya, aku seperti pahlawan saja.
Sementara itu, dia sangat memaksaku agar aku berpakaian kayak Rahadian Yamin. Itu, peragawan yang
gambarnya sering di majalah. Aku merasa dia mengagumi kepintaranku, dan ingin menyempurnakan
diriku dalam ujud yang paling sesuai dengan angan-angannya. Orang macam apakah itu, Anton?




Begitulah, Anton, kabar dariku. Oh, ya, soal istriku yang kausinggung-singgung dalam suratmu, kuharap
tak perlu kau mengabarinya padaku. Dia boleh-boleh saja konsultasi jiwa ke biro kalian. Sebagai
sahabat, kuharap kau mau memahamiku. Aku sangat ingin hidup sendiri. Dan, bagaimana dengan
dirimu? Tentunya, setelah lulus sarjana kau mau mengurangi kebinalanmu. Aku menunggu kau
mengabariku kapan kau kawin? Itu penting.

Tody baru saja menerima laporan dari kawannya. Kemudian dia kembali mengenangkan wajah Anton.
Rambutnya yang gondrong, senyumnya yang seperti bercanda, dan nasihat-nasihatnya. Hanya kepada Anton dia menceritakan rencananya untuk bekerja di proyek ini. Walaupun Anton menasihatinya agar
dia tetap di Yogya, Tody tetap berkeras untuk meninggalkan segalanya. Dia cuma berkata, "Tidak enak
bernaung di bawah ketiak mertua."

***

Sementara itu, di rumah Tody, Elsye bernyanyi-nyanyi sembari menyapu ruang depan, dan membersihkan kursi-kursi dengan kelud. Keningnya berkemyit ketika sebuah Mercedez 350 berhenti di
depan rumah. Karena perjalanan jauh, tubuh mobil itu berselimut debu.

Eisye mengamati penumpang mobil itu. Seorang sopir tua, lalu seorang perempuan muda. Siapa
mereka?

Perempuan muda itu bertanya kepada tukang kebun di halaman. Tukang kebun menjawab anggukan.
Lalu mobil masuk ke halaman.

Perempuan muda itu turun dari mobil. Elsye mengawasi tubuh yang dibalut pakaian hamil. Dan,
perempuan hamil itu berkernyit keningnya menatap Elsye. Lalu dia bertanya, "Di sini tinggal
Faraitody?"
Elsye mengangguk.

Perempuan hamil itu melangkah masuk tanpa menunggu dipersilakan. Dia meletakkan tubuhnya yang
letih. Dia mengedarkan pandang berkeliling.

"Adik siapa?" tanyanya.
"Nyonya siapa?" tanya Elsye.

"Saya Irawati, Istri Faraitody."

Jantung Elsye menggelepar. Dia mengawasi mata yang sayu lantaran capek itu. Lalu, mengawasi perut
yang membusung. Irawati mengusap-usap rambutnya.

"Adik siapa?" tanya Irawati lagi.

"Saya.... saya.... saya....."

Nah, aku menang angin, pikir Irawati. Padahal, sejak awal tadi dadanya sudah berdebaran tak menentu
begitu melihat wanita di rumah itu. Dia merasakan gigilan yang hampir tak tertahankan merambati




sekujur tubuhnya.
Kecanggungan gadis yang duduk di depannya merupakan peluang bagi Irawati untuk menguasai medan.
"Adik di sini juga, tinggal?" tanyanya.
Elsye gelagapan. Sekejap dia menatap Irawati. Namun, sebelum dihunjani oleh Irawati dengan pandangan dia kembali menunduk.


Sebenarnya usia mereka sebaya. Tetapi, kehamilan perempuan itu membuat Elsye merasa lebih muda


dan gugup.


"Sudah lama Adik mengenal Mas Tody?"


"Tiga bulan ini," kata Elsye terputus-putus.


"Hm," gumam Irawati.


Udara sangat panas. Kemarau di daerah itu telah berjalan lama. Tanah-tanah telah kering kerontang. Kendaraan yang lewat menerbangkan debu yang mengawan rendah. Membuat orang gampang terbatuk-batuk.
Tody menghadapkan fan ke arahnya. Angin buatan itu meniup seluruh pori-pori tubuhnya, mengalahkan
panas yang diantarkan atap seng. Dari kamar kerjanya, dia memandang pekerja-pekerja hilir-mudik di
halaman. Dan, tiba-tiba pintu terbuka menyentak. Wajah stafnya nongol. Wajah yang gugup.


Tody mengangkat alis.


"Gawat, Pak," kata staf itu terengah.


"Ya?"


"Istri Bapak datang.
"


Sesaat saja Tody mengangkat kepala. Kemudian bahunya terangkat sebelah. Tak peduli.


"Dia ketemu Elsye di rumah Bapak."


Tody cuma bergumam.


"Sopir istri Bapak menunggu di luar."


Tody tetap tak peduli.


"Dia menunggu Bapak."


"Suruh kembali saja. Aku pulang sendiri nanti sore."


Stafnya keluar. Masih dililit tanda tanya dia. Jika aku bisa setenang itu menghadapi istriku, alangkah baiknya, pikirnya. Aku akan menaklukkan istriku. Bukan kayak sekarang. Melihat bekas lipstik di bajuku saja, dia melabrakku sampai aku blingsatan dibuatnya. Boss itu, tenang-tenang saja walau istrinya menemukan gundiknya di rumahnya. Bukan main, bukan main.

Di sini pegawai staf itu terbengong-bengong. Di sana, Elsye tergugup-gugup. Irawati mengambil
peranan menyerang.
"Aku istrinya," katanya. "Lihatlah, aku sedang hamil. Beratus kilometer mengadakan perjalanan, untuk menemuinya. Andainya kau mengalami seperti yang kualami ini, apakah yang akan kaulakukan?"
Elsye tak menjawab.
"Boleh jadi dia bilang tak bahagia dalam rumah tangganya. Ada dia bilang begitu?"
Elsye menggeleng.
"Dia tak pernah menceritakan rumah tangganya?"
Elsye tetap menggeleng.
"Dia tak pernah mengatakan bahwa dia punya istri?"
Menggeleng lagi Elsye.
"Tak pernah kautanyakan?"
Elsye menggeleng.
Irawati menghembuskan napas panjang. Entah keluhan, entah kepanasan, tak bisa diduga.
"Apakah kau tak pernah meneliti lelaki yang kaugauli, apakah dia beristri atau belum?"
Elsye menggeleng lagi. Udara yang dihirupnya terasa pengap.


***

Tak ada mobil di halaman. Rumah pun sepi. Jika dua orang perempuan di bawah satu atap, seharusnya
terdengar suara kicau mereka. Mungkin membicarakan diri sendiri, atau merasani perempuan lain.
Tetapi, cuma kesenyapan yang ada. Nah, tentunya Irawati sudah pergi.

Tody lega.

Tody masuk ke rumah. Makanan masih tertutup di meja. Dia mengedarkan pandangan. Segalanya rapi.
Tak ada tanda-tanda perselisihan. Di mana Elsye?
Tody membuka pintu kamarnya. Sesosok tubuh berbaring di tempat tidur. Kamar itu gelap sebab jendela tertutup. Fan mendengung di sudut ruangan. Tody bersijingkat ke tempat tidur.
"Hello, Elsye Sayang." Dan, dia mencium pipi perempuan itu. Tetapi, pipi itu dirasanya basah.
Dia mengelus pipi perempuan itu.
"Kenapa, Sayang?"
Sepasang tangan memeluknya, dan tangisan meledak.
Eh, bau parfum ini bukan milik Elsye. Dan, isak ini.... ah!
Tody meneliti tubuh perempuan itu dalam keremangan kamar. Dia tersentak. Lalu merenggutkan


badannya dan cepat-cepat menyalakan lampu. Cahaya menyergap menyinari Irawati yang duduk di
pinggiran tempat tidur.
Tody terpana.
Irawati masih terisak.
"Kenapa kau kemari?" tanya Tody dingin.
Irawati hanya menatapnya dengan bersimbah air mata.
"Mana Elsye?" Lebih dingin suara Tody.
"Sudah pergi," kata Irawati.
"Kenapa dia pergi?"
"Dia pergi, dia pergi...."
"Apa yang kaubilang pada dia?"
"Tak apa-apa. Tak ada."
"Jadi, kenapa dia pergi?" Suara Tody sengit.
Irawati menekap mukanya. Air matanya merembes dari celah jarinya.
"Kauusir?"
"Tidak, tidak, tidak...."
"Dia jauh lebih baik dari kau. Tahu?“
"Ya," desah Irawati.
"Dia leblh berhak di rumah ini!"
Irawati tak menjawab.
"Aku mencintainya!" kata Tody keras.
"Ya, aku tahu."



"Jadi, kenapa kau masih di sini?" kata Tody ketus. "Karena aku mencintaimu."
"Taik cinta!"
"Karena aku istrimu, aku istrimu...."
"Jangan sebut-sebut itu!"
"Istrimu! Disaksikan orang tuaku! Disaksikan pastor!"
"Siapa yang menyaksikan persetubuhanmu dengan ayah anakmu itu?"
Isak Irawati kembali berdesakan.
"Tak usah menangis. Memuakkan! Aku harus mencari Elsye. Ke mana dia?"
"Kembali ke tempatnya. Ke tempat peristirahatan itu. Di Bandungan."
Tody menggeram.
"Jadi, kau tahu siapa dia?"
"Ya, aku tahu," kata Irawati tanpa mengangkat kepala.
"Dari siapa kau tahu?"
"Anton."
Tody menggumamkan makian dalam bahasa Flores.
"Kau mencintai pelacur!" kata Irawati.
"Bah! Pelacur? Lalu, kau sendiri apa? Anak seorang kaya, terhormat, berpendidikan, apa lagi? Apa lagi? Tapi, yang kaukerjakan apa? Tak lebih dari lonte! Bahkan lebih kotor lagi. Sampai tak tahu sumber benih dalam perutmu! Fuih!"


Irawati terdiam.
"Kaupikir kau lebih baik dari dia? Aku mencintainya. Itu di atas segala-galanya. Tak peduli siapa dia,
dan bagaimana dia!" Tody gemetar. "Sekarang aku bebas dari kekuasaan ayahmu. Tak ada lagi
kekuasaannya untuk memaksa aku memperistrimu. Aku bebas untuk mencintai siapa saja yang kuinginkan. Dan, jelas bukan kau! Kau sama sekali tak punya arti, tak punya harga! Tahu?"


"Ya," desah Irawati.


"Nah, kalau sudah jelas, tinggalkan rumah ini. Ini rumahku. Kedudukan yang kuperoleh sekarang berkat
pribadiku, bukan hadiah dari ayahmu!"
"Ya," desah perempuan itu lebih pelahan.


Tody mondar-mandir.
"Mana mobilmu? Aku ingin kau pergi sekarang!"
"Masih mengantar Elsye."
"Hm." Tody mondar-mandir lagi.
Irawati mengangkat kepala, menatap ujung kaki Tody.
"Kenapa aku tak boleh memulai hidup lebih baik?" katanya terbata-bata.
"Karena kau tak berhak. Kau kotor! Hina!"
"Kenapa seorang pelacur boleh?"
Tody terdiam.
"Kalau aku memang serupa dengan lonte, kenapa dia boleh dan aku tidak?" Suara perempuan itu murung.


Sesaat Tody tercenung, tetapi kemudian berkata tajam, "Karena aku mencintai dia. Kau tak punya arti


apa-apa buatku. Habis!"


Irawati menelan air matanya. Tody keluar dari kamar itu.


"Kau harus meninggalkan rumah ini. Segera!" katanya keras.
Irawati mengusap air matanya. Lalu, katanya pelahan, "Izinkanlah aku numpang istirahat sesore ini.
Nanti malam aku kembali ke Yogya."
Tody tak menjawab. Dia melangkah keluar.
Irawati kembali membaringkan diri. Punggungnya terasa nyeri. Sekujur tulang-tulangnya serasa ditusuk


ribuan jarum.
Dia mengeluh tanpa suara.


***

Semak Kering Meranggas

TODY melarikan jipnya kencang-kencang di jalan berdebu. Senja telah remang-remang, tetapi dia kenal betul akan jalan yang menuju tempat peristirahatan itu. Langsung ke hotel dia. Tak ada tanda-tanda bersedih tertinggal di mata Elsye. Perempuan ini tersenyum-senyum menyambut




kedatangan Tody.
"Habis dilabrak istrimu, Mas Tody?" katanya.
Tody tak menjawab.
"Saya akan meninggalkan tempat ini," lanjut Elsye.
"Ah! Kenapa?"
"Yah, mau apa lagi?"
"Kita kawin," kata Tody.
Elsye tertawa nyaring.
"Istrimu galak. Saya takut.
"Dia tak punya arti apa-apa."
"Siapa mau percaya?"
"Dia sudah kusuruh pergi."
Elsye menatap Tody dalam-dalam.
"Bagaimana kau bisa berbuat begitu pada istrimu yang sedang hamil?"
"Ah, peduli amat!"
Elsye tercengang.
"Aku tak mencintainya," kata Tody.
"Tapi, dia sudah hamil."
"Ah!" Mulut Tody nyaris terbuka untuk mengatakan bahwa anak yang dikandung istrinya itu bukan benih darinya. Tetapi, kemudian mukanya padam. Bagaimana harus menerangkan kebusukan yang mau tak mau akan merembet pada kelemahan dirinya nanti? Ya, kenapa dirinya mengawini perempuan itu?


Bukankah itu hanya menepuk air di dulang?


"Selama ini saya sangat mengagumi Mas Tody. Bagi saya, kau adalah lelaki yang sempurna. Tapi,
dengan perlakuan Mas Tody terhadap istri seperti itu, saya kehilangan kekaguman saya. Makanya saya
sungguh-sungguh tak menyesal menerima persyaratan dari istrimu itu."


"Syarat-syarat apa?"
"Dia memberi saya uang." Lalu Elsye mengeluarkan seberkas uang dari tasnya, dan selembar cek. "Ini
cukup untuk membuka butik yang saya inginkan selama ini, di Surabaya. Saya sama sekali tidak
menyesal kehilangan Mas Tody." Dan, Elsye tertawa lagi.





Tody termangu-mangu. Elsye kembali melipat-lipat pakaiannya, memasukkan ke dalam kopor.

"Kau sungguh-sungguh, Elsye?"

"Tentu saja sungguh-sungguh. Terus terang, akupun takut mengalami nasib seperti istrimu kalau saya
hamil nanti. Siapa tahu kau masih akan ketemu sama perempuan lain?"

Tody terdiam.

"Sebelum saya mengetahui kau sudah beristri, saya mengira kau adalah orang yang sering datang dalam
mimpi-mimpi saya selama ini. Ya, saya memang pemimpi. Itu sebabnya saya datang kemari. Saya bosan
sekolah. Di sekolah, belum tentu saya akan ketemu lelaki yang tampan, punya kedudukan bagus, dan
bergaji gede. Di tempat ini, saya berharap dapat menemukan orang yang saya impikan. Di sini lebih
mungkin ketemu dengan orang-orang yang saya impikan. Sebab, hanya orang-orang yang berduit saja
bisa datang ke sini. Siapa tahu ada yang mencintai saya?"

Tody menelan ludahnya.

"Andainya kau belum beristri, saya akan bahagia sekali. Kau orang yang saya cari-cari selama ini. Tapi,
sekarang lain sekali soalnya. Saya hanya ingin jadi first lady!"

Tody merasa lidahnya getir.

***

Yang tinggal sekarang hanya sisa-sisa bau parfum dan keringat Irawati di bantal, dan di bantal yang satu
lagi bau keringat serta parfum Elsye. Segalanya tinggal bekas. Malam yang berlalu adalah kecamuk
gelisah. Siang yang datang adalah kemarau garing. Perempuan-perempuan di tempat peristirahatan
Bandungan itu tak ada pesonanya lagi.

Dan, Tody lebih sering membuka botol sampanye, bols, martini, dan semacamnya. Diam-diam dia mereguk minuman-minuman itu di rumah. Dan, diam-diam pula dia menanti rambatan gelombang yang
datang dari kepalanya, yang akan mengantarnya tidur.

Hanya seorang yang dekat kepadanya, Anton. Tetapi, dia sedang jengkel kepada lelaki itu. Memberi
tahu Irawati alamat di tempat terpencil ini, sungguh-sungguh tak bisa dimaafkan. Antonlah penyebab
kericuhan yang ada sekarang. Dialah penyebab kerisauan yang bergalauan sekarang ini.

Tetapi, surat Anton masih datang.

Aku tahu kau marah padaku, Tody. Kuharap, kemarahanmu itu tidak menjadikan persahabatan kita
rusak. Aku tak bisa merahasiakan keadaanmu pada istrimu. Tak bisa. Seorang perempuan hamil, duduk
di depanku, dan bersimbah air mata. Apa yang bisa kulakukan lagi? Dia bukan hanya sebagai pasien
biro konsultan kami. Dia adalah istri sahabat baikku.

Dia sudah lama menjadi pasien biro kami. Dia mengalami stres yang parah. Dia dihimpit penyesalan
yang tak henti-hentinya. Walaupun dia sudah berhasil menghentikan kecanduannya terhadap narkotik
tanpa obat-obatan pembantu dari dokter (itu ketangguhan yang tidak setiap morfinis sanggup
melakukannya), dia takkan bisa keluar dari tekanan batinnya tanpa bantuan kau.




Itu sebabnya aku memberi tahu alamatmu. Maafkanlah kelancanganku. Aku tak punya pilihan lain.
Soalnya, aku tadinya tak mengetahui masalah kalian mendasar. Kukira hanya seperti yang kaubilang,
"Tak enak bernaung di bawah ketiak mertua." Aku kira kau hanya ingin menunjukkan eksistensimu
sebagai lelaki yang tangguh, yang menegakkan kepala menghadapi realita. Maafkanlah, belakangan aku
mengetahui persoalan kalian. Semua telah diceritakan istrimu padaku. Jika begitu keadaannya, kau
membutuhkan seorang psikolog yang sekaligus pastor sebagai penasihatmu. Semacam Brouwer dari
Bandung itu barangkali. Bukan semacam aku. Aku masih terlalu muda untuk memberikan pandanganpandangan. Mungkin ini tak menggugah perasaanmu. Sejak pulang dari tempatmu, istrimu sakit-sakitan terus.
Memang, sejak semula badannya lemah. Ini tentunya disebabkan faktor psikisnya yang kacau.

Tody hampir mencampakkan surat itu, tetapi bagian akhirnya surat itu menarik perhatiannya. Matanya
tertancap pada sebuah nama dengan hurup "W" mengawali nama. Cepat-cepat dia menelusuri alinea itu.

Widuri baru-baru ini datang ke Yogya untuk berobat. Dia sudah punya anak, tetapi katanya dia tak bahagia. Kulihat, dia memang kurus sekali. Matanya rawan, jiwanya letih seperti halnya tubuhnya. Dia bilang, dia ingin menitipkan anaknya padamu dan istrimu.

Ah, Tody, maafkanlah kalau aku terlalu berani mengatakan ini. Hidupmu sangat unik. Kau yang begitu puritan, pendiam, dan jujur, tapi bisa mengalami kejadian begitu rumit dalam persoalan cintamu. Dua perempuan mencintaimu, dan keduanya tak bahagia. Seorang istrimu, dan seorang lagi istri orang lain. Kau ingat pembicaraan kita di kampus tempo hari? Di bawah cemara yang derainya takkan bisa kita
lupakan. Aku waktu itu bilang, ‘Widuri mencintaimu.’ Ya, cinta yang unik. Kukira karena dia dididik
oleh lingkungan kulturil yang mewajibkan orang harus menyekap perasaan. Itulah yang menyebabkan dia menyembunyikan cintanya. Kuituril Jawa hanya menghargai orang yang bisa menahan dan
menyembunyikan gejolak perasaan. Marah tak boleh kelihatan, sedih dalam kematian tak perlu ditunjukkan, benci yang nampak hanya ciri seorang yang kasar. Begitu juga cinta. Sayang, dulu-dulu kau tak dapat menangkap yang tersirat di balik yang nampak itu. Barangkali di sinilah esensi filsafat hidup Jawa, ‘tepo seliro’ yang terkenal itu. Kita harus berusaha bisa menangkap apa yang tersirat da]am
perasaan orang lewat ‘sasmito’, lewat intuisi saja."

Tody melipat surat itu pelan-pelan. Oh, Widuri yang sengsara, Widuri yang kadang-kadang menatap dengan nanap sewaktu rapat-rapat Dewan Mahasiswa di Kampus Gadjah Mada.

Apakah sebenarnya pangkal dari seluruh kemelut ini? Keragu-raguan, ketidakberanian mengekspresikan
perasaan, lingkungan yang ketat menyorot dengan kultur yang penuh kepura-puraan? Itukah? Itukah?
Itukah? Kenapa harus disekap perasaan kalau memang tidak ada dosanya untuk mengekspresikan? Dan,
inilah sekarang akibatnya. Rumpun semak meluruhkan daun-daunnya yang kering. Daun yang menggumpal jadi satu, dan namanya: kemelut.

Tody meremas kemelut yang menggumpal pada dirinya.

***

Dia datang ke Yogya. Jipnya meraung membelok ke rumah Anton. Anton terperanjat menyambutnya.




"Aku mau ke desa Widuri," kata Tody datar. "Bagaimana pendapatmu?"
"Pendapatku? Ngapain ke sana?" kata Anton terbata-bata.
"Menyuruhnya bercerai dari suaminya!"
"Ah, gila kau!"
"Aku kenal betul suaminya. Bajingan itu!"
"Bajingan atau budiman, itu suaminya."
"Dia harus bercerai. Aku akan mengawininya."
"Jangan gila-gilaan, Tody. Kita hidup dalam masyarakat yang punya norma-norma. Apa penilaian orang terhadap perbuatan semacam itu?"


"Persetan penilaian orang! Bertahun-tahun aku dilibat penilaian orang, dan aku menerima akibatnya. Kesengsaraan!“
"Ah, kita pikirkan dulu pelan-pelan. Dia hanya ingin agar kau dan Irawati merawat anaknya. Aku tak tahu kenapa," kata Anton.
Tody menyandarkan diri ke sandaran kursi. Tubuhnya letih.
"Sendiri aku tersiksa, di sana dia tersiksa pula. Padahal kami akan bahagia kalau bersama-sama. Kenapa harus menundanya lebih lama? Aku akan paksa suaminya menceraikan dia. Persetan! Aku akan
mengawininya di pencatatan sipil. Biar dia diberkati pastor!" kata Tody.
"Ah, janganlah.
"


"Kau selamanya memahamiku, Anton. Berilah aku dorongan spirit." Suara Tody melemah.
Anton terdiam. Mata Tody resah. Di halaman, jip Tody masih gemetar oleh sisa mesinnya yang masih panas. Debu menyelimuti tubuh mobil itu. Secara materiil, apa lagi yang kurang bagimu, Tody? Anton berpikir diam-diam. Kedudukan punya kans
yang cemerlang, gaji besar, tapi matamu tak beda dengan remaja-remaja yang kehilangan kepercayaan
pada diri sendiri. Alangkah berbeda dengan masa kita ketika masih menghirup udara nyaman kampus.

***
Tuhan Allah, inikah Widuri yang kukenal dulu? Tody terpaku di pendopo rumah Pak Hermanu. Mesin jipnya masih berdetik-detik karena kepanasan, dan masih dirubungi anak-anak. Inikah Widuri yang
bermata jernih tempo hari?
Oh, dia bukan lagi pohon cemara berdaun hijau teduh. Dia tinggal sebatang pohon yang telah kering, mencuat menahan kemarau. Oh, derita apa yang ditimpakan suamimu? Sengsara apa yang kautelan
bulan-bulan ini, Widuri?
Tody ingin merangkul perempuan yang berdiri mematung di depannya. Sedikit saja perempuan itu bergerak maju. Tody akan menerkamnya, membenamkan dalam pelukannya. Tetapi, Widuri seperti arca tua. Dan, Pak Hermanu tertegak bagai batu gunung yang keropos di samping anak-gadisnya. "Widuri," desah Tody. Bibir gadis itu, yang pucat, terkuak.

"Mas Tody...."

"Aku datang, Widuri," kata Tody terengah.


"Kenapa kau datang? Untuk apa?"
Tody terpaku. Setumpuk kata yang siap dikeluarkannya menggumpal di dadanya, membuat napasnya sesak.


"Aku akan membawamu pergi. Kita memulai hidup baru. Jauh, jauh dari sini."


Senyuman Widuri samar.


"Ah," keluhnya.


"Duduklah dulu, Nak Tody," kata Pak Hermanu. "Wiwik, duduklah. Maaf, Nak Tody, Widuri sedang


sakit."
Tody merasa kakinya melayang mencapai kursi.
"Tidak, Mas Tody," kata Widuri hampir tak terdengar. "Saya akan tetap di sini. Selama-lamanya akan di sini. Dan, saya kira takkan lama lagi."
"Wiwik!" kata Pak Hermanu tersekap.
Widuri menatap ayahnya, dan dia tersenyum pias.
Tody merasa sejuta kunang-kunang mengerjap-ngerjap. Enam jam sendirian terbanting-banting di dalam jip yang berlari dalam kecepatan tinggi. Tubuhnya lunglai.
"Saya sudah tahu kau kawin dengan Irawati," kata Widuri. Suaranya mengambang di telinga Tody.


"Satu keinginan saya, Mas Tody, barangkali Ayah tidak setuju, tapi ini keinginan saya, kau dan Irawati
memelihara anak saya kalau saya mati."
"Bah!" Jantung Tody menyentak. "Kenapa kematian segampang itu kaukira?" katanya dalam napas memburu.
Widuri tersenyum pahit.
"Anak saya laki-laki, Mas Tody. Istrimu akan mau memeliharanya. Saya yakin. Katakan saja anak itu bukan dari benih suami saya. Istrimu akan memahaminya. Dia akan kasihan pada anak itu."
Tody menggigil. Gemetaran sekujur jaringan tubuh Pak Hermanu.





"Umurmu masih panjang, Widuri. Masih panjang. Kau harus meninggalkan ketakbahagiaan di sini.
Memulai kebahagiaan dengan aku di tempat lain." kata Tody.

Widuri menggeleng-geleng.
"Tinggalkan suamimu! Tinggalkan desa terkutuk ini!" Mata Tody menyala-nyala melintasi dari wajah
Widuri ke wajah Pak Hermanu. Lelaki tua itu tertunduk.


"Saya tidak akan meninggalkan desa ini untuk selama-lamanya," kata Widuri pelan.
"Ah!" Tody meremas jari-jari tangannya sendiri hingga tulang-tulangnya berbunyi gemeratak.
"Kematian itu tak bisa diduga datangnya, Mas Tody. Dan, terasa menyenangkan kalau memang kita tunggu dan harapkan."
"Bah! Kau harus hidup! Harus! Harus! Harus! Sakitmu bisa sembuh!" Suara Tody meninggi.
Widuri hanya mengangkat bahu. Matanya berkaca-kaca. Mata yang buram. Kaca-kacanya pun suram.
"Jadi, kau menolak cintaku?" kata Tody.
"Sebelum kau mengetahui isi hati saya, saya sudah mencintaimu, Mas Tody. Tetapi, nasib saya seperti rumput-rumput yang menunggu hujan di musim kemarau."
"Sekarang belum terlambat."
"Kalau kau memang mencintai saya, peliharalah anak saya kalau saya mati nanti."
"Bah!" Tody menghembuskan napas yang menggelora. Namun, badai di dadanya tetap tak mau reda.
Widuri mengusap lelehan air matanya.
"Saya lebih suka mati dalam keadaan bersih dari cibiran orang, Mas Tody, daripada hidup menahan nista. Seorang istri tak boleh meninggalkan suaminya untuk ikut lelaki lain betapapun suaminya iblis laknat. Itulah nasib yang harus dijalani dalam karmanya."
"Bah! Apa itu karma!" Tody melarikan jipnya kencang-kencang. Jalan yang menghubungkan desa itu
dengan Yogya membanting-banting tubuh mobil itu. tetapi, Tody tak peduli. Badannya terlonjak-lonjak,
tetapi persetan! Dia menginjak gas lebih dalam lagi. Tiga puluh, empat puluh, lima puluh, enam puluh, spedometer
menanjak terus. Ban mencicit-cicit manakala mobil menginjak jalan beraspal. Kecepatan bertambah lagi. Tody mengejar senja yang hampir pergi. Malam sudah mulai menggeser-geser. Jip itu meraung. Spedometer bergerak melampaui kulminasi. Meraung. Melayang. Dan, terbanting. Dan, ringsek. Dan,
penduduk panik. Dan, ambulan PDR meraung-raung ke Yogya.


***
Perawat-perawat berpakaian putih bersih berseliweran di Rumah Sakit Panti Rapih.




"Mama, Papa, mana Mas Tody?" keluh Irawati.
Ibunya menggenggam telapak tangan Irawati.
"Sebentar lagi dia datang, sebentar lagi," kata perempuan tua itu.
Irawati kembali memejamkan mata. Dokter memeriksa nadinya.
Kamar bercat putih itu sejuk. Bau formalin mengambang. Irawati menanti saat kelahiran anaknya.
Tubuhnya terlalu lemah akibat krisis.
"Bagaimana keadaannya?" bisik ayah Irawati kepada istrinya.
Perempuan itu menatap nanap.
"Krisis. Baru saja keluar dari kamar operasi," katanya dalam bisik pula.
"O, mudah-mudahan selamat." Lelaki tua itu menatap anaknya. Wajah Irawati yang terpejam pias mengingatkannya ketika anak ini masih kecil, ketika masih dalam bobongannya. Anak perempuan satu satunya yang disayangi seluruh kduarga.
"Bagaimana kalau dia tidak mau menemui Ira?" katanya.
"Oh, janganlah, janganlah," keluh istrinya.
Kemudian ruangan itu sepi. Suara napas Irawati berat. Dokter belum memastikan apakah operasi caesar
dijalankan atau tidak. Irawati tetap memanggil-manggil suaminya.


Di bawah atap yang sama, Tody terbaring lemah. Dia telah siuman. Dia mengamati langit-langit kamar yang kabur. Dia menyadari bahwa sekarang seluruh tubuhnya tak bisa digerakkan. Dia melihat balutan
dan balutan. Oh, apakah yang terjadi? Di manakah aku? Denyutan pertanyaan merambat di kepalanya.

Seorang perawat yang sejak tadi duduk di sampingnya, berdiri dan keluar memanggil dokter. Dokter
kemudian memeriksa keadaan Tody. Lalu dia mengangguk-angguk.
"Panggillah Nyonya itu," katanya.


Hampir berlari perawat itu keluar.
"Nyonya bisa bicara, tapi jangan lama-lama. Dia perlu istirahat," kata dokter itu. Lalu dia keluar
diiringkan perawat.


Perempuan tua itu duduk hati-hati. Bagai memegang gelas yang rapuh, dia memegang telapak tangan kiri Tody yang tidak terbalut. "Nak Tody," katanya hampir berbisik.
Kelopak mata Tody bergerak.
"Bagaimana perasaanmu?"


Tody cuma bergumam.
"Ira juga dirawat di sini," kata perempuan tua itu tersendat.
Kelopak mata Tody bergerak lagi.
"Dia akan melahirkan."
Cuma gumaman jawaban Tody.
"Dia menyebut-nyebut namamu terus."
Kelopak mata Tody terpejam.
"Dia mengalami krisis." Tangan perempuan tua itu mengelus kulit tangan Tody yang sudah mati rasa.


"Dia ingin ketemu dengan Nak Tody."
Kelopak mata Tody terangkat sekejap, tetapi kemudian mengatup kembali.
Persis ketika perempuan tua itu berkata, "Kau mau menemuinya, bukan?"
Ibu Irawati resah.
"Dia belum mengetahui kecelakaanmu. Dia mengira kau masih di tempatmu bertugas."
Riak menggumpal di tenggorokan Tody.
"Kata dokter, dia akan lebih kuat kalau bisa bertemu dengan Nak Tody."
Tody bergumam.
Ibu Irawati mendekatkan telinganya, tetapi tetap tak bisa menangkap kata-kata yang digumamkan Tody.
"Oh, kau tentunya membencinya. Oh, janganlah, janganlah, Nak Tody. Kalau mau membenci, kutuklah saya. Sebab sayalah yang tak bisa membimbingnya. Sayalah yang menyebabkan dia liar." Perempuan
tua itu terisak. "Kau bisa membayangkan bagaimana seorang ibu mengetahui bahwa anak yang dikasihinya ternyata pendek umur. Itulah yang saya alami sekarang ini, Nak Tody. Itulah yang menyiksa
saya dari tahun ke tahun." Tody membisu dalam balutan perbannya.
"Waktu dia kecil, iseng-iseng saya membawanya ke worang peramal. Ahli kebatinan. Wajah peramal itu murung setelah melihat muka dan rajah tangan Ira. Dia tak mau memberitahukan ramalannya. Dia Cuma menasihatkan agar saya berlaku sebaik-baiknya kepada Ira. Nasihat yang aneh. Ira anak perempuan saya satu-satunya. Tanpa nasihat itu pun saya tentu menyayanginya lebih dari anak-anak yang lain. Oh, kau
mendengar cerita ini, Nak Tody?"
Gumaman hanya berhenti di tenggorokan Tody.
"Kemudian seorang ahli kebatinan lain menafsirkan nasihat itu. Katanya, ‘Nasib manusia tak terelakkan. Ira tidak panjang umur.’ Bisa kaubayangkan perasaan saya, Nak Tody? Anak yang paling saya sayangi, akan hilang. Akan hilang. Saya memanjakannya. Saya tak pernah menghalangi keinginannya.
Bagaimana mungkin menghalanginya sedangkan saya tahu dia akan meninggalkan saya dalam waktu yang singkat? Itulah, Nak Tody, itulah. Ramalan itu telah menghancurkan diri saya. Dan, itu pula yang
menghancurkan diri Ira. Tiap kali memandangnya, saya teringat ramalan hidupnya. Hati saya rusuh berkepanjangan. Tak pernah tenang." Air mata perempuan itu membasahi seluruh wajahnya. Bahkan ada
yang menetes ke ranjang Tody. Akan tetapi, Tody tak merasakan apa-apa.

"Saya berusaha membantah ramalan itu. Dan, sekarang dokter-dokter terpandai di Panti Rapih ini akan
membantah ramalan terkutuk itu. Tapi, bantulah mereka, Nak Tody. Bantulah saya. Bantulah Ira. Dia
ingin bertemu dengan kau. Ingin melihat bahwa kau tidak membencinya. Kalau bisa melihat kau
mencintainya. Oh, itu terlalu mahal. Kau tidak membencinya, itu sudah cukup baginya."

Tody merasakan rambatan nyeri di perutnya.

Perempuan tua itu lebih erat mendekap tangan Tody.

"Mengangguklah, Nak Tody, tanda kau mau ketemu Ira tanpa rasa benci."

Tody tak bereaksi.

"Tolonglah saya, Nak Tody. Hanya kau yang bisa menolong." Perempuan tua itu berberai air mata. Tody menatap wajah yang pilu. Mata yang hitam berkedip-kedip menatapnya penuh harap. Mata
seorang ibu. Maka Tody ingat kepada ibunya di pulau yang jauh di sana. Lalu terbayang pula kerabatkerabatnya, ayahnya, adiknya, dan ibunya lagi. Lalu dia mengangguk.

Ibu Irawati melepaskan napas lega. Tetapi, kemudian kembali gugup melihat Tody terbatuk-batuk.

Rasa nyeri menikam dada Tody. Makin kabur pandangan matanya. Bayangan ibunya, ayahnya,
Margriet, padang-padang penggembalaan, rumput-rumput setinggi pinggang, ibunya, ayahnya, Margriet,
beputaran dalam bayangan yang kabur dan kelabu. Dia terbatuk dan muntah. Darah! Ibu Irawati panik. Dia memijit bel panjang-panjang. Perawat dan dokter datang berlari-larian.

***

Di ruangan lain, Irawati membuka matanya. Tertatap wajah ayahnya.
"Mas Tody belum datang, Pa?" tanyanya dalam desah.
"Sedang dijemput Mama. Sebentar lagi, sebentar lagi."
Rambatan nyeri di perutnya membuat Irawati terengah dan mengerang. Ayahnya memijit bel panjang


panjang. Perawat dan dokter datang berlari-lari.




"Segera dioperasi," kata dokter itu.

Ayah Irawati menatap brankar yang didorong perawat-perawat. Lantai rumah sakit mengkilat, dan
brankar meluncur tanpa suara.

Di mana Tody? Ah, apakah dia tak mau bertemu dengan Ira? Ayah Irawati menghela napas berat berkali-kali. Dia menatap kesibukan para perawat yang tidak menimbulkan suara. Di bawah atap yang sama, mereka berbaring. Tetapi, mereka tak saling menatap. Masing-masing dihimpit oleh kesengsaraan. Keduanya ingin saling bertemu. Sejak tadi Irawati memanggil-manggil
Tody. Tody pun ingin bertemu dengan gadis itu. Ingin sekali. Ingin sekali. Burung gereja mencicit di teritisan rumah sakit. Perawat-perawat melangkah dengan sepatu yang
berdesir-desir. Topi dan pakaian mereka yang putih bergerak-gerak dari gang ke gang. Wajah mereka tulus menatap orang-orang yang berbaring. Rumah sakit itu hening. Rumput dan bunga di halaman kadang-kadang bergoyang tertiup angin. Dan, di
ruang operasi rengekan bayi menyibukkan dokter-dokter bermasker. Burung gereja menangisi siang
yang terik, bersama tangis bayi yang baru lahir. Ayah Irawati melihat istrinya mendatanginya dengan kepala tertunduk. Oh, wajah tua yang pias, wajah
yang kuyu, tubuh yang lunglai. Oh, jangan menyampaikan kabar sedih. Jangan mengatakan bahwa Tody
masih membenci Ira yang malang.

Ya, tak ada yang akan disampaikan. Ucapan tak ada lagi tersisa.

***

Burung gereja masih juga mencicit di ranting-ranting pohon. Sayapnya yang kecil menerjang-nerjang
dedaunan dan ranting. Bising dalam keheningan tempat itu.

Anton termangu-mangu. Tak sadar matahari di kulminasi membakar ubun-ubunnya. Dari matanya merembes kesedihan. Merembes ke arah dua gundukan tanah di depannya. Gundukan yang berdampingan, dengan nama Faraitody Wangge (3 Juli 1946 -12 Mei 1973) dan Nyonya Irawati Faraitody Wangge (13 November 1953 - 12 Mei 1973).

Selamat siang, Orang Muda, Selamat siang, Kesedihan!

***




0 komentar:

Posting Komentar