Kamis, 17 Januari 2013

ku gapai cintamu

Standard


"Di mana?"
"Nusa Tenggara."
"O, jauh."
Tody diam. Sepatunya berdetuk-detuk di aspal. Lampu-lampu jalan bersinar redup. Tiga tiang listrik mereka lalui dengan membisu.
Alangkah kakunya lelaki ini, pikir Irawati. Alangkah angkernya. Tapi, masakan tak bisa ditaklukkan?
Alangkah agresifnya gadis ini, pikir Tody. Bagaimana latar belakang kehidupannya sehingga sikapnyasebebas ini? Apakah dia semacam gadis yang pernah diceritakan Anton? Gadis yang bisa ditemui di
depan bioskop lalu diajak nonton dan minum-minum di restoran, diantar pulang, kemudian dicium di
bawah kerindangan pohon di depan rumahnya? Semacam gadis itukah dia ini?


Mereka saling menaksir-naksir. Berbincang-bincang, tetapi masing-masing dengan dirinya sendiri.

Lelaki ini, kata hati Irawati, barangkali tipe anak sekolahan. Yang dunianya cuma di balik dinding sekolah. Yang gemetar bila mencium seorang gadis. Cuma, sekarang telapak tangannya hangat.
Lalu Irawati mempererat cekalan jarinya. Tody merasa jarinya diremas. Dia melirik. Gadis itu

menyandarkan kepalanya ke bahunya. Rambutnya beberapa helai lepas dari kucirnya dan menyenggolnyenggol leher Tody. Geli. Tody menatap sekilas.... berkeliling. Lengang. Maka dia membiarkan kepala
gadis itu tersandar di situ. Adapun Irawati, selesai meremas jari Tody tadi lantas mengendorkannya. Dia
mengira lelaki itu akan melepaskan pegangan tangannya, lalu memindahkan tangan itu ke bahunya. Dan, Irawati bersiap-siap merangkul pinggang lelaki itu. Tetapi, itu semua tidak terjadi. Tidak terjadi. Tidak
terjadi. Dan, mereka terus berjalan.

"Sehabis Mapram ini Mas Tody harus datang ke rumah, ya?"
Tody cuma menggumam.
"Mau?" kata gadis itu sembari menggeser kepalanya sehingga wajahnya menghadap wajah Tody. Begitu dekat. Sampai terasa tiupan udara dari hidung gadis itu oleh Tody.
Tody mengangguk.
"Betul?" Suara gadis itu mengajuk.
"Ya."
"Janji?" Lebih mengajuk lagi.
"Ya."
Betul-betul anak sekolahan, pikir Irawati. Andainya dia berpengalaman dengan gadis-gadis, dia tentunya akan melihat bahwa ketika "Janji?" itu diucapkan mereka berada di bawah keremangan rindangnya
pohon mahoni. Di situ, seharusnya dia berkata, "Ini janji." Dan, mencium. Tetapi, itu tak terjadi. Tak
terjadi. Tak terjadi.




**
*


LONGDRESS-kah namanya? Dan, pakaian itu membuat Irawati bagaikan dewi yang melangkah hatihati menginjak bumi. Pakaian itu berwarna putih. Lunak-mengkilat. Tiap kali gerakan, walau
bagaimanapun halusnya, menguar keharuman dari tubuh pamakainya. Keharuman yang menyejukkan.

Sepanjang jalan yang dilintasi becak, Tody menikmati keajaiban itu. Menikmati keharuman yang mengambang serta kelunakan kulit gadis itu manakala mereka bersentuhan lengan. Eyeshadow membuat
mata gadis itu tambah redup mempesona. Tanpa itu pun sebenarnya alisnya yang lancip dan bulu
matanya yang lentik telah menjadi mata itu menawan.

Mereka ke Malam Inaugurasi. Sementara tangannya ditindih tangan gadis itu, Tody melayangkan pikirannya ke rumah gadis itu. Pada ibu gadis itu. Seorang perempuan berkulit kuning, halus, dan bersih.
Matanya lunak dan senyumnya lembut. Suaranya juga lunak. Dalam bayangan Tody, perempuan tua itu
belum pernah marah seumur hidupnya. Betapa beda dengan gadis ini. Maka Tody kian bertanya,
bagaimana mungkin dari rahim seorang ibu yang selembut itu muncul gadis sebinal Irawati? Perempuan
tua itu setidaknya akan mewariskan sedikit kelembutan kepada anak gadisnya ini. Bukan kebinalan.
Tetapi, gadis ini sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda sifat ibunya. Secara fisik, dia memang lembut, sekarang. Dengan pakaian putihnya yang panjang menutup kaki,
lengan telanjang mulus, dia nampak setulus Malaikat. Gerak-geriknya pun tak seliar hari-hari
sebelumnya. Boleh jadi, sedemikian besar pengaruh pakaian itu pada perujudannya.

Rambut gadis itu tersanggul rapi ke atas kepala sehingga lehernya yang jenjang nampak indah.
Membuat dia nampak anggun. Boleh jadi, dia sengaja menyesuaikan diri dengan dandanannya. Maka
langkahnya tak lagi binal. Di pintu rumah tadi, ibunya mencium kening gadis itu. Lembut.

"Aku tak pernah melihat ayahmu. Di mana dia selama ini?" tanya Tody tiba-tiba.

"Sering bepergian," jawab Irawati.

Lalu sepi lagi. Cuma lalulintas yang ramai.

"Kau tak punya saudara?" usik Tody.

"Ada beberapa orang. Tapi, semua sudah berumah tangga. Tinggal di kota lain. Jakarta, Bandung, Duesseldorf, New York."

"Hm. Jadi kau paling kecil?"

"Ya."

"Satu-satunya perempuan?"

"Ya."

Mahasiswa-mahasiswa telah memenuhi aula yang luas. Di antara kepala-kepala hitam, mencuat kepalakepala plontos. Kebanyakan mahasiswa baru mengenakan peci universitas, dengan kebanggaan sebab pertama kali berhak memakai peci itu. Widuri menatap kedatangan Tody, dan melihat betapa cantiknya
Irawati. Widuri merasa sanggulnya berat. Maka gadis berkebaya itu meraba sanggulnya. Ternyata masih rapi. Dia berkebaya warna hijau pupus. Dengan wajahnya yang hitam manis, mata yang teduh, dan
profil bulat telur, dia sungguh-sungguh mewakili tipe gadis Jawa. Imaji Jawa yang menyimpan misteri
dalam ketenangan, kepasrahan, dan ketulusan. Dia adalah denting-denting gamelan di tengah keheningan. Atau seruling yang semayup di hutan bambu. Dia adalah lubuk yang dinaungi pohon
beringin, bukan sungai berarus deras. Maka Widuri duduk diam-diam di samping temannya sekuliah. Sesekali mengiyakan ucapan temannya
itu, lalu kembali menatap lurus ke depan. Sekali, walau tak diinginkan, matanya singgah pada gadis langsing yang ber-longdress itu. Irawati tertawa-tawa bercanda dengan teman-temannya.

Acara-acara telah dimulai. Widuri tak tertarik pada pidato-pidato. Jika dia menatap ke depan, dia
melayangkan pandang ke dekorasi di dinding. Menikmati hasil kerjanya. Ide-ide untuk elemen dekorasi
itu berasal darinya. Janur di sudut aula, juga bergantungan di berbagai tempat. Di aula itulah bergabung keindahan mode-mode mutakhir pakaian para mahasiswa dengan keindahan anyaman bunga dan daun hijau yang tetap klasik.

Faraitody berpidato. Mata Widuri ingin beralih, dan berpindah pada teman yang menyenggolnya dan
berkata, "Nampak-nampaknya ketua kita ini jadi dengan gadis itu."

Widuri tak menjawab.

"Anak mana dia?"

"Sastra," kata Widuri.

"Ekonomi dengan sastra, itu tak cocok."

"Kenapa tidak?"

"Pasti banyak perbedaan cara berpikir. Sastra lebih cocok dengan psikologi atau filsafat."

"Ah, siapa bilang!" kata Widuri. "Nyatanya, itu Kamal dari kedokteran dengan anak sospol. Ya akur.
Tak ada apa-apa. Atau hukum dengan teknik, ya bisa juga. Atau seperti itu, Peter dari sastra dengan
Jenny dari biologi. Harmonis."

Temannya diam. Widuri pun diam. Di depan sana, di bawah sorotan lampu, Tody masih berpidato.

***

Ada kerusuhan mahasiswa di depan papan pengumuman. Siang itu baru saja pegawai tata usaha menempelkan pengumuman di situ. Beberapa mahasiswa kecewa karena pengumuman itu tidak menyangkut hasil ujian. Mereka mundur dengan murung. Ada yang menggerutu. Tetapi, Widuri tetap
asyik membaca pengumuman itu. Memang tidak menyangkut kepentingan tingkatnya. Pengumuman itu
mengenai pengiriman mahasiswa untuk ikut BIMAS ke desa-desa. Kemudian Widuri meninggalkan tempat itu. Dadanya berdebaran. Dia mengedarkan pandang. Di situ hanya nampak mahasiswa-mahasiswa bergerombol. Maka dia meneruskan langkahnya. Pelan-pelan menuruni tangga yang melengkung dari lantai tiga itu. Di lantai dua juga banyak mahasiswa
bergerombol. Widuri menajamkan pandangan. Beberapa temannya melambai. Dia membalas tak antusias. Tak berniat berhenti. Dia terus menuruni tangga.

Tody berdiri di dekat pilar besar penyangga atap teritisan gedung universitas. Widuri mendekati.

"Pengumuman untuk BIMAS sudah keluar," katanya.

"Ya. Aku sudah tahu," kata Tody.

"Mas Tody ditempatkan di desa saya," kata Widuri.

"Eh, itu desamu?"

"Ya."

"Bagaimana keadaan di sana?"

"Tentu saja sepi."

"Kebanyakan desa ‘kan sepi."

"Tapi, di sana lebih-lebih lagi. Selama enam bulan Mas Tody harus hidup di tengah-tengah kesepian itu."
"Ah, tak jadi soal. Aku juga berasal dari desa yang sepi."
Mata gadis itu berkedip-kedip terkena asap rokok Tody. Dan lelaki itu melihat bibir yang kemerahan tanpa lipstik itu juga berkedip-kedip. Gadis itu menggigit bibir.
"Andainya sekarang libur," kata gadis itu pelahan.
"Lantas?" tanya Tody.
Gadis itu tersentak.
"Eh, tidak. Tak apa-apa," katanya cepat-cepat. Keduanya lalu diam. Tody mengetuk-ngetuknya


sepatunya untuk merontokkan tanah yang melekat pada solnya.
"Enam bulan itu lama," kata Widuri lambat-lambat.
"Yah, lumayan lama."
"Bagaimana kegiatan-kegiatan di sini?"
"Yah, ditinggal."
Gadis tu merasakan sesuatu mengganjal di lekuk hatinya.
"Bagaimana ujianmu?" tanya Tody.





"Belum diumumkan."
"Rasa-rasanya bagaimana?"
"Saya kira, paling tidak jatuh tiga vak."
"Kenapa begitu?"
"Waktu ujian itu saya tidak siap."
"Terlalu sibuk?"
"Ya. Sebenarnya saya mau mengurangi kesibukan saya, tapi belum juga ada pengganti. Terutama untuk mengasuh majalah fakultas. Sungguh-sungguh memusingkan kepala."
"Kenapa tidak merekrut anak-anak BKS-Pers Mahasiswa?"
"Kebanyakan memikirkan aktif di luar kampus. Soalnya, mengurusi penerbitan kampus ini sama sekali tak mendapat imbalan. Bahkan sering harus mengeluarkan duit sendiri."


Tody mengangguk-angguk. Dan, begitulah percakapan mereka selama menyangkut kehidupan di kampus.


"Seperti untuk penerbitan bulan depan," kata Widuri, "naskah-naskah belum terkumpul."
"Minta pada Peter, Glady, atau teman-teman yang biasa menulis di koran-koran."

"Sudah saya minta, tapi mereka janji melulu. Kalau Mas Tody punya tulisan....?"

"Wah, aku tak sempat menulis."

Keduanya tertarik akan suara deruman sepeda motor. Seorang gadis baru menstandarkan motor bebeknya, dan tersenyum ke arah mereka.
"Miss University kita," kata Widuri pelan.
"Memang cantik dia," kata Tody. Matanya melekat sebentar pada wajah miss university itu. Tetapi, kemudian pikirannya melayang pada miss university-nya sendiri: Irawati. Ingat bahwa dia harus menunggu gadis itu. Lalu katanya, "Kau mau ke atas?"
"Barusan."

"Kalau begitu, aku pergi dulu. Mau ketemu Pak Dekan."
Widuri bergumam. Sebelum Tody melangkah, gadis itu berkata, "Kalau ke desa saya, datanglah ke rumah."


"Yah."

"Akan saya surati ayah saya, biar dia membantu Mas."

"Bagus sekali kalau bisa."

Widuri masih tegak sendiri sementara Tody menanjaki tangga pelan-pelan, sampai lelaki itu lenyap di lantai dua. Widuri berjalan tanpa menggerakkan tas di tangannya. Dia keluar dari naungan atap Gedung Induk Universitas Gadjah Mada. Tubuhnya diterkam cahaya
matahari. Tetapi, dia tetap melangkah pelahan. Bayangan tubuhnya di tanah berada di sebelah kanannya. Panjangnya hanya sepertiga tubuhnya. Bayangan itu setia mengikutinya. Begitu puluhan kemurungan setia mengikutinya. Dia tak tahu kenapa dirinya gampang murung. Dia takut pada kesepian sebab kesepian gampang sekali menghunjamkan panah-panah kemurungan. Itulah sebabnya kenapa dia mengisi hidupnya dengan kesibukan-kesibukan yang tak henti-hentinya. Dia
mengikuti setiap kegiatan di kampus itu. Jadilah dia seorang aktivis kampus. Tetapi, jika sedang sendirian, dia merasa bahwa segala kegiatannya hanyalah pelarian. Semacam kompensasi. Dia takut sendirian. Dia takut terlalu luas waktu untuk memikirkan diri sendiri. Sebab, sekali dia berpikir, yang datang hanyalah gambaran-gambaran kemurungan. Sejak SMP, Widuri mengalami pindah dari pemondokan ke pemondokan. Di desa kabupaten, Di Wonosobo. Dan, kini, di Yogya ini, manakala liburan tiba, dia tidak tahu apa yang harus diperbuat. Kembali ke desa? Apa yang dikerjakannya di sana? Rumahnya tergolong besar dan berhalaman luas. Di antara rumah-rumah di desa itu, rumah orang tua Widuri gampang dicari. Sebuah rumah yang bersih, dengan pohon-pohon sawo di pekarangan. Teriakanteriakan gembira mereka bisa didengar hingga jauh. Tetapi, sejak kecil, itu semua tak punya arti bagi Widuri. Bahkan rumah itu tidak mampu mengusir kemurungannya yang berkepanjangan. Bahkan rumah, lebih melecut-lecut perasaannya. Di rumah itu tak ada seorang ibu. Ibunya sudah lama meninggal. Jika pun dia ingin merawat ayahnya yang kian tua itu, itu pun tak akan kesampaian. Lelaki tua itu lebih suka berada di dekat penggilingan padinya. Lelaki tua itu merasa nyaman merasakan getaran huller-nya dan membaui aroma sekam.

Tody akan ke desa itu. Dia akan berbicara dengan penduduk desa, dengan bahasa Jawa yang kadang tersendat-sendat. Dia akan bergaul dengan penduduk desa. Andainya aku berada di desa itu, pikir Widuri. Aku bisa membantunya. Kami bisa sering bersama-sama. Bisa ke sendang bersama. Atau ke pancuran. Atau ke mana saja. Kami akan berjalan di pematang sawah, menyeberang kali lewat titian bambu, dan dia akan memegangi aku sebab takut jika aku terpeleset. Andainya terpeleset dan jatuh, tak akan sakit jika jatuhnya ke tumpukan jerami. Berdua. Aih! Widuri menghela napas dalam-dalam, dan merasakan matahari yang membakar. Apa gunanya
memikirkan itu? Andainya aku pulang, lalu bagaimana? Apakah akan bersamanya galang-gulung?
Padahal aku tahu dia sudah punya kekasih yang dicintainya. Padahal aku tahu dia sama sekali tak membutuhkan aku. Cuma, dengan bergaul, dia akan beperhatian kepadaku. Bukankah pepatah lama bilang: witing tresna jalaran saka kulina? Cinta datang karena kebiasaan. Apalagi didukung suasana desa yang sepi. Suasana yang akan memacu bentukan cinta. Tapi, itu berarti aku merebutnya. Merampas dari sisi Irawati.
Apakah aku akan jadi perampas? Perampas? Perampas? Ah!
Widuri merasa sesuatu menyamak di ulu hatinya. Tidak! Tidak! Tidak! Teriaknya dalam dada. Membuatdadanya bertambah sesak. Di bawah matahari yang terik, di atas aspal yang menyengat, dia merasa sulitbernapas.


Jika ada yang harus disesali, itu adalah diriku sendiri. Kenapa tidak sejak dulu-dulu aku menunjukkan
gejala bahwa aku mencintainya? Padahal kami sering ketemu. Jauh lebih dulu dan jauh lebih sering dari
Irawati. Kenapa Irawati yang baru dikenal bisa menimbulkan cintanya? Kenapa? Apakah aku terlalu pasif? Tapi, apakah pantas seorang perempuan agresif terhadap lelaki? Dengan berpasif, kapan cinta seorang lelaki bisa diduga datangnya? Maut dan cinta barangkali segolongan: takdir. Lalu, menunggu takdir? Ah, ah, ah!


Setumpuk keluh berberaian dalam dada Widuri. Dia sudah lama kukenal, pikir Widuri. Kami lama bergaul. Tetapi, kenapa hanya menjadi pergaulan formal saja? Kenapa kalau bertemu kami hanya bicara soal kampus saja? Kenapa Irawati yang baru dikenalnya bisa menarik hatinya? Lantaran dia lebih
cantik? Apakah Faraitody lebih terpana pada kecantikan rupa saja? Apakah dia lelaki macam itu? Dan, lebih jelekkah rupaku dibandingkan dengan Irawati? Ah, bagaimana bisa membandingkan kecantikan yang berbeda? Bisakah membandingkan mawar dengan melati, atau dahlia dengan anyelir?


Pertanyaan demi pertanyaan beruntutan, dan tak akan terjawab oleh Widuri. Dia hanya bisa terus berjalan, menekuri tanah. Tak mempedulikan dering becak dan klakson motor.


***
Mesin skuter berderum derum. Tuternya berbunyi empat-lima kali panjang-panjang. Tody menjenguk lewat jendela warung. Lalu cepat-cepat membayar minuman dan keluar. Irawati menggoyang-goyang stir skuternya.
"Jadi, kita pergi?" tanyanya.
"Oke."
Lalu gadis itu turun dari sadel. Tody menggantikan tempatnya, dan mereka beranjak.
"Tak ambil jaket dulu?" kata Irawati di sela redanya mesin antara persneling satu dengan dua. "Tak usah," jawab Tody sembari menancap gas.
"Nanti dingin...."
"Ada kau ‘kan hangat."
"Aha, mulai pandai merayu. Kenapa tak sejak dulu-dulu begitu?"
"Ah, diamlah."
Dan, kecepatan skuter bertambah lagi. Angin berkesiur. Mereka semakin jauh dari Kampus Gadjah Mada. Meninggalkan jajaran pohon cemara dan pohon flamboyan.


Hari kesembilan dalam pergaulan mereka. Kini mereka disambut naungan pohon mahoni sepanjang jalan ke luar kota. Angin pun mulai terasa kemurniannya. Jalan kian menanjak. Semakin tertinggal bau  kota yang hiruk dan tengik. Mereka melaju menuju Kaliurang. Di jalan yang berkelok-kelok, Irawati mendempel ketat ke punggung Tody. Lelaki itu menaksir-naksir jalan di depannya, dan merasakan getaran mesin lewat tangannya yang mencengkeram gas.

Tubuh gadis itu lunak. Pipinya menempel di bahu Tody. Anak-anak rambutnya mengelus pipi Tody. Keluarga gadis itu mempunyai rumah peristirahatan di Kaliurang. Rumah yang halamannya berumput
halus dan ditumbuhi bunga-bunga. Dan, sepi. Hanya ada pelayan - suami-istri - yang selamanya bersikap hamba terhadap majikannya. Kedua orang itu, dari tahun ke tahun mengabdikan diri untuk
kesenangan majikan mereka, orang-orang kota itu. Dari tahun ke tahun mereka hidup di daerah gunung yang sepi pada hari-hari bukan hari libur. Tak pernah memikirkan lain, kecuali memikirkan tugas-tugas di lingkaran bungalow itu. Ke situlah sekarang tujuan skuter itu. Irawati mengomando apakah skuter harus belok kiri, terus, lewati
pertigatan, terus, belok kanan, menanjak lagi, terus, dan hop! Tody memijak rem.

"Bunyikan tuternya," kata Irawati. Mendengar tuter panjang-panjang memanggil, sepotong kepala muncul dari balik gerumbul bunga. Lalu tubuhnya keluar bergegas, dan berlari ke pintu pagar. Pintu pagar dibukanya lebar-lebar.

"Ayo, masuk," kata Irawati.

Tody mendorong skuter memasuki halaman sembari mengawasi rumah yang pintunya berbingkai merah itu.

Berjuta-juta menusia harus hidup di rumah-rumah gedek yang pengap. Tetapi, di gunung didirikan rumah sebagus ini hanya untuk dihuni sesekali, pikir Tody. Dia membisu. Tak memperhatikan pembicaraan Irawati dengan pelayan yang membungkuk-bungkuk mengiringkan langkah majikannya
itu. Pelayan itu, tak putus-putusnya melaporkan keadaan bungalow. Katanya, dia telah menanam sepuluh batang pohon bunga matahari di halaman belakang. Sebulan lagi tempat ini akan menguning
oleh cemerlangnya bunga. Di dekat jendela kamar tidur, sudah ditanamnya bunga sedap malam sebagaimana dipesankan oleh Ndoro Putri. Dia berbicara terus, tetapi masih sempat melayangkan mata pada Tody.

Siapa lelaki ini? Dia bukan yang dulu. Kelihatannya dia ini sopan. Tidak gondrong. Pakaiannya rapi. Tidak pakai jean biru. Dan, tidak kurang ajar. Bukan seperti yang dulu, yang berani merangkul-rangkul
Den Ayu Ira. Bukan pula seperti pemuda yang pakai Yamaha besar yang suara Yamahanya diderumderumkan tempo hari. Berkilasan wajah-wajah pemuda di benak lelaki tua itu untuk dibandingkan dengan Tody. Dia ingat bahwa pemuda ini tak ada di antara rombongan yang datang tempo hari.

"Kita minum dulu. Haus, ‘kan?" kata Irawati.

"Yah," kata Tody sembari duduk di kursi plastik di teras.




"Masih kuat naik ke hutan?"
"Kenapa tidak? Ke bulan pun jadi," kata Tody.
Hutan yang dimaksud adalah cemara dan pinus yang menyelimuti perbukitan. Di situ burung-burung bercericit dengan bebas. Berlompatan dari ranting ke ranting. Dan, di dahan-dahan pohon banyak bergayutan anggrek liar. Bunga-bunganya putih kontras dengan coklatnya batang pohon serta kehijauan daun-daunan. Tanah disemaki oleh belukar. Di antara belukar itu ada yang berbunga kecil-kecil. Tempat
yang tak ditumbuhi belukar, adalah hamparan rumput yang empuk. Hawa tempat itu sejuk dan hening.
Angin yang bertiup dingin akan menimbulkan gesekan berkepanjangan di daun-daun.

Irawati melangkah merambah-rambah semak. Betisnya tersangkut-sangkut ranting. Tetapi, dia tak mengurangi langkahnya. Dia tetap merendengi Tody yang memegang tangannya. Jalanan setapak itu
biasa dilalui oleh para pencari kayu. Tetapi, hari itu tak ada tanda-tanda bekas dilalui seseorang. Rumput dan semak masih sesegar pagi tadi.

"Capek?" tanya Tody.
"Tidak," jawab Irawati walau napasnya terengah.
"Kalau capek kita berhenti dulu."
"Tidak. Terus saja."
Mereka menyusuri jalan kecil yang mendaki. Irawati bergayut di lengan Tody. Sesaat gadis itu mengedarkan pandang, dan kemudian berkata, "Itu anggrek yang kelihatan dari bawah tadi."
Lalu mereka menyimpang, keluar dari jalan rintisan pencari kayu. Langkah mereka menembus semak yang ranting-rantingnya mengait-ngait. Gerumbul demi gerumbul mereka lalui, sampai akhirnya tiba di bawah anggrek itu.
"Pohonnya terlalu besar. Dan licin lagi. Sulit memanjatnya," kata Tody.
"Angkat saya, Mas," kata Irawati.
"Bagaimana caranya?"
Irawati mempertemukan jari-jari kedua tangan Tody.
"Pegang kuat-kuat. Biar saya berpijakan di sini," katanya.
Irawati menanggalkan sepatunya, bersitumpu ke bahu Tody, dan berpijak pada telapak tangan Tody


yang bertautan. Dia berdiri hingga perutnya ditentang kepada lelaki itu. Namun begitu, anggrek yang
bergayut di dahan pohon belum terjangkau.
"Angkat lebih tinggi, Mas Tody!"


Tody lebih meninggikan telapak tangannya.
Gadis itu meraup batang-batang anggrek. Tubuhnya bergoyangan. Tody menatap betis yang rapat ke
mukanya. Betapa mulus. Betapa kuning. Seperti gading terpahat.


Irawati merentakkan gerumbulan anggrek itu.

Keseimbangannya goyah. Tak tertahankan, dia memberosot di badan Tody, terus ke bawah, dan
membuat Tody pun goyah. Dan, ah, mereka berdua terjatuh. Dan, ah, ah, ah, mereka bergulingan di
rerumputan yang lunak. Tubuh gadis itu terangkul oleh Tody. Gadis itu tertawa bagai burung nuri. Dia merangkul Tody. Muka mereka bersentuhan. Tak tahu siapa yang mendahului, bibir mereka sudah
bertautan. Di tanah tergeletak gerumbul anggrek. Bunganya yang putih mekar mengintaikan benang sari. Angin memberisikkan daun-daun. Ranting-ranting bergesekan, dan ada yang berbunyi berciutan. Kicau burung
meningkah suara pepohonan, berpadu dengan kesejukan daerah pegunungan itu. Dari bawah, semayup
terdengar lebuh sapi. Sapi yang kesepian di tengah padang. Batu-batu gunung yang sebesar gajah
bertonjolan diam-diam di tanah.

Anggrek yang tadi bergayut di cabang pohon kini menggeletak tak diurus, di dekat dua orang yang masih bergulungan. Dua orang yang lidahnya berpilin. Tubuh mereka bagai saling melilit. Rambut gadis
itu berberaian. Sebagian menutupi wajah Tody. Sementara itu, sisa anggrek yang masih tergantung di
cabang bergoyang-goyang. Tetapi, kini tinggal sulur yang kurus dengan bunga-bunga kecil.

Matahari tak berdaya di balik rerimbunan pohon serta lindungan belukar. Siang selamanya sejuk di situ.
Matahari hanya merupakan berkas-berkas sinar lewat celah dauh dan ranting. Tanah yang lembab,
rumput yang tebal, itulah yang paling terasa.

Irawati menelentang menatap celah-celah dedaunan. Kepalanya tertaruh di dada Tody yang beraturan
turun-naik oleh napas. Sementara itu, Tody asyik dengan pikirannya sendiri.

Alangkah aneh hidup ini. Untuk berciuman saja, harus berkendaraan sekian jauh, naik bukit, dan segala macam. Berciuman saja harus melalui prosedur bertele-tele. Tidak ekonomis untuk enersi.

Tetapi, Irawati berpikir lain. Dia masih merasa-rasakan sensasi yang baru saja dialaminya. Bergulingan
di atas rumput dengan lelaki yang sangat sopan. Alangkah hebat! Tidak di kamar, tidak di rumah, tidak di teras, tetapi di hutan! Di hutan! Di atas kelembutan rumput yang lembab. Di balik semak-semak yang
rimbun. Alangkah hebat! Jika ini dilakukannya dengan Robby atau Yanuar, itu biasa. Tetapi, kali ini
dilakukannya dengan seorang lelaki yang necis, lelaki yang pernah berpidato di depan ribuan mahasiswa, dosen, dan profesor! Bukan main! Sensasi mana yang bisa menandingi? Tinneke tidak akan
pernah mengalaminya. Juga tidak Lucky. Alangkah hebat kau, Ira!

Lalu dia menggeser kepalanya hingga menghadap muka Tody. Lelaki itu mengelus onggokan rambut
yang terletak di dadanya. Gadis ini selembut anak kelinci, pikir lelaki itu. Cuma, agresivitasnya kayak macan. Bagaimana masa depan yang dimungkinkan oleh kelinci yang sekaligus macan ini?

Tetapi, pikiran itu diputus oleh mulut Irawati yang mulai lagi mengulum bibirnya.

***

Berkata dalam Diam




MAHASISWA peserta BIMAS telah disebarkan ke berbagai desa. Tiba di perbatasan desa, seorang
lelaki telah berdiri di situ.

"Saudara Faraitody?" katanya sembari mengulurkan tangannya.

"Ya," jawab Tody.

"Saya Hermanu, ayah Widuri. Saya menerima surat Widuri yang mengabarkan perihal kedatangan Saudara. Saya akan membantu tugas-tugas Saudara selama di sini."

"Terima kasih, Pak. Tetapi, sebaiknya jangan panggil saya begitu resmi. Sebut saja nama saya. Atau ‘berkau’saja. Itu lebih enak buat telinga saya."

Pak Hermanu mengangguk-angguk. Mereka berjalan pelan-pelan menuju pusat desa. Sesekali Tody mengawasi wajah berwarna tembaga serta urat-urat di lengan lelaki tua itu. Mata lelaki tua itu bersinar ramah.

Mereka pun terlibat pembicaraan hilir-mudik. Memenuhi keinginan lelaki tua itu maka Tody terpaksa menceritakan Padang Mautenda di daerahnya. Padang yang luas dengan rumput-rumput setinggi manusia. Adapun lelaki tua itu menceritakan pengalamannya ketika pertempuran masa revolusi. Juga tentang teman-temannya yang diantaranya sekarang sudah menjadi jenderal. Yang paling dibanggakan lelaki tua
itu adalah huller-nya yang jarang macet.

"Cuma, untuk mengangkat solarnya kemari yang sulit," katanya menambahkan.

"Kalau rusak?" tanya Tody.

"Saya reparasi sendiri. Tanpa sekolah teknik, saya bisa mengetahui seluk-beluk mesin itu."

Dari jalan desa itu, Tody menatap perbukitan tandus yang melingkari desa. Jika saja bukit-bukit itu ditanami tumbuhan yang bisa dimanfaatkan, akan menguntungkan sekali. Tanahnya masih luas, tetapi
sayang kering-kerontang.

"Menginap di rumah saya saja," kata Pak Hermanu.

"Saya akan senang sekali. Tapi, saya sudah ditetapkan menginap di rumah Pak Lurah."

Batu-batu berserakan di sepanjang jalan. Dan, mereka tiba di rumah yang mereka tuju. Sebuah rumah
dengan pendopo yang luas. Rumah beton yang di depannya ada regol dan kentongan besar. Tody
melihat anak-anak kecil telah banyak mengiringkan langkahnya. Dan, di rumah itu pun telah banyak orang yang menunggunya. Seketika ingatannya melayang ke kampungnya. Sebuah kampung kecil yang penduduknya akan
berkumpul jika dia pulang pada waktu liburan SMA dulu. Dia sekolah di kota kabupaten, tinggal di
sebuah asrama yang kehidupannya sangatlah teratur. Dia ingat siapa saja pengawas di asrama itu.
Mereka adalah pastor-pastor berkulit bule. Kehidupan di astama itu sangat kontras dengan keadaan di
kampungnya. Di asrama, pada jam tertentu harus tidur. Tetapi, di kampung, sampai pukul berapa pun
orang masih duduk-duduk mengobrol.




Di desa ini pun tak banyak bedanya dengan di kampung Tody. Pada mata anak-anak kecil yang duduk diam-diam di pendopo, itulah Tody melihat anak-anak kampungnya. Dan, pada gurat wajah orang-orang
tua di desa itu, dia melihat wajah Pak Tuanya, Kakek, atau kerabat-kerabatnya di kampung. Pak Kasmat, lurah desa itu, adalah lelaki sederhana. Wajahnya bisa dicarikan kemiripannya di mana saja
di Indonesia. Wajah yang berwarna coklat tembaga, mata yang hitam, dan mulut yang ramah. Dia
antusias terhadap kemajuan desanya juga terhadap kemajuan desa-desa lain di Indonesia. Sekalipun dia
tak bisa membayangkan di mana Flores itu berada. Dia mengira, Flores berada di Ambon sebab nama Ambon lebih dikenalnya.

Ketika matahari mulai memerah di balik bukit barulah pendopo itu sepi. Anak-anak berlarian ke padangpadang. Mereka ingat kambing-kambing mereka yang harus segera digiring pulang.

Ketika lampu-lampu minyak sudah mulai menyala, seorang gadis melintasi di ruang tengah. Gerakgeriknya kikuk sehingga Tody mengira gadis ini pun seorang tamu. Tetapi, Pak Kasmat memanggil
gadis itu. Makin kikuk gadis itu dibuatnya.

"Anak saya," kata Pak Kasmat, "Tamat SKKA tahun ini di Magelang. Sekarang ikut membantu mengajar baca-tulis anak-anak di desa ini."

Sekilas Tody memperhatikan wajah gadis itu. Profilnya tak jauh berbeda dari saudara lelakinya yang
tadi ikut ngobrol. Kulitnya hitam manis, dan matanya hitam jernih. Dan, gampang sekali dia tersipusipu. Sewaktu bersalaman dengan Tody pun gadis itu tak mau mengangkat mukanya. Dia bahkan tak mengucap apa pun. Padahal Tody ingin sekali mendengarkan vokalnya. Gadis itu
kembali masuk ke ruang dalam dan tak keluar-keluar lagi.

Malam yang beringsut adalah suara jangkerik dan kodok yang bersimfoni tak henti-hentinya. Sejuta kunang-kunang bertebaran di kegelapan. Sesekali burung-burung malam berdeguk-deguk. Selebihnya, sepi.

***

Tody berlari-lari di sepanjang jalan desa. Setiap pagi, jika berangkat mandi, dia sengaja berlari. Dia
menuju pancuran. Matahari yang masih merah di balik bukit, merupakan pemandangan yang memikat di desa itu. Bayang-bayang pohon memanjang di tanah. Tody bersamplokan dengan Murtini, anak lurah desa itu. Gadis betul-betul pemalu. Maka selama beberapa hari Tody berada di rumah gadis itu, baru sekitar sepuluh kalimat yang mereka ucap dalam
perbincangan. Karena Tody pun merasa tak ada gunanya berbincang-bincang, gadis itu lebih-lebih lagi
pendiamnya. Mereka tinggal di bawah satu atap, tetapi hanya anggukan yang terjadi sebagai ganti tegursapa.

Sekarang pun mereka hanya saling mengangguk. Tody tetap berlari-lari. Suatu kebiasaan sewaktu dia masih di kampungnya. Ke mana saja berlari-lari. Ingin ke tengah padang, berlari. Ke rumah, berlari.
Mandi, berlari. Bahkan mau berak pun, berlari-lari menuju sungai.

Gadis itu berhenti. Dia menjinjing kendi berisi air. Dia menatap tubuh lelaki yang semakin jauh itu.

"Sombong!" cibirnya. "Mentang-mentang orang kota, sombongnya bukan main!"




Tapi, pikirnya, betulkah dia sombong? Terhadap orang-orang di desa sini dia tidak sombong. Tak ada
orang di desa sini yang mengatakan bahwa dia sombong. Bahkan saudaraku sendiri membantah ketika aku katakan bahwa dia angkuh.

"Cuma, dia memang pendiam," kata Partono. "Dia tidak mau bicara kalau tidak ada keperluan. Di kopernya banyak buku. Jika sedang tak ada urusan, dia selamanya membaca. Membaca terus." Memang, Tody tak punya keperluan langsung dengan Murtini. Murtini bukan petani. Tody hanya
berurusan dengan para petani yang akan dibimbingnya meningkatkan cara kerja. Murtini hanya diam di dapur kalau sedang di rumah. Atau di depan kelas kalau di sekolah. Itu jelas di luar urusan Tody. Tody
hanya berpikir, bagaimana meningkatkan produksi pertanian di desa itu. Lain itu tidak.

Maka Murtini melangkah pelan-pelan. Air dalam kendinya berdecik-decik setiap kali langkahnya terayun. Batu-batu di jalanan menggeletak diam saat dipijaknya. Dan, diam-diam pula Murtini menaruh
kendinya di dapur.

Tody mencuci pakaiannya di pancuran. Hari itu dia tidak mengunjungi petani-petani. Kemarin dia baru saja meninjau dukuh yang letaknya di balik bukit. Jalan menuju ke situ buruk sekali. Hanya kuda yang
cocok melintasi jalan itu. Perumahan hanya terdiri atas kurang-lebih lima belas rumah. Tanahnya tandus
berbatu-batu. Orang-orang di situ hanya menanam ketela pohon. Lain dari ketela pohon tak mau hidup
dan tak menghasilkan. Anak-anak kecil setempat tidak bersekolah. Mereka mengikuti setiap langkah Tody dengan wajah mereka yang dungu serta tubuh telanjang. Tody murung melihat perut anak-anak
kecil itu. Dibandingkan dengan rusuk, perut itu kelihatan menonjol. Tanda-tanda bahwa mereka kurang gizi.

Apa yang bisa di-BIMAS-kan di dukuh yang miskin itu? Sawah tak ada. Bimas ketela pohon barangkali,
tulis Tody di dalam buku hariannya. Sekarang dia menikmati gemerisik air yang jatuh dari pancuran. Tempat itu sejuk. Dan, sepi. Maka dia
bersiul-siul.

Ketika Tody menjemur cuciannya di samping rumah, Murtini sedang mengiris bawang. Dari celah pintu
dapur, gadis ini memperhatikan lelaki yang sedang menjemur pakaian itu. Tody masih tetap bersiul-siul
sambil mengibaskan pakaian-pakaian yang basah sebelum di-sampir-kan di tali jemuran. Rumah itu
sepi. Pak Lurah Kasmat sedang ke kantor kecamatan.

Jeritan dari balik pintu dapur membuat Tody kebingungan. Tetapi, desah dan keluh dari pintu dapur itu
cepat menyadarkannya. Dia berlari memasuki dapur.

Murfini menekap jarinya. Darah merembes dari jari yang tersekap itu.

"Kenapa?"

"Kena pisau," sendat gadis itu.

Tody memeriksa jari gadis itu. Darah masih menetes.

"Oh, tunggu sebentar!" Dia berlari ke kamarnya mengambil obat.

Gadis itu meringis menahan perih. Tetapi, matanya terus memperhatikan profil lelaki di depannya.




"Sakit?"
Murtini menggeleng.
Tody membalut luka itu.
"Sebaiknya dibawa ke poliklinik," katanya.
"Ah, tidak perlu."
Jari-jari gadis itu masih dalam genggaman tangan Tody. Selesai mengikatkan simpul balutan, Tody melepaskan pegangannya.
Lalu gadis itu memijit balutan itu.
"Masih sakit?"
"Tidak."
"Kalau terasa berdenyutan, bilang. Itu perlu ke poliklinik."
Poliklinik hanya ada di kota kecamatan.
Tody meneruskan menjemur pakaian-pakaian basahnya. Murtini kembali menatapnya. Ternyata dia baik, pikirnya. Penuh perhatian. Matanya yang gugup melihat lukaku, bisa dijadikan tanda bahwa dia bukan seorang yang sombong. Dan, melihat balutannya yang rapi, bisa diduga bahwa dia seorang yang baik.

Pendopo rumah itu senyap. Tody membaca di sudut ruangan. Murtini menating kopi dan meletakkan hati-hati di depan lelaki itu.

"Eh, tak mengajar?"

"Libur," kata gadis itu.

"Enak ya di sini?"

"Ah, tentunya lebih enak di kota."

"Waktu kau di Magelang, bagaimana?"

"Ya, senang. Banyak teman."


"Sering nonton film tentunya."
"Ah, enggak." Sesaat gadis itu memperhatikan sampul buku yang sedang dipegang Tody. "Tak bertugas hari ini?"
"Tidak. Masih capek," kata Tody.


"Sudah melihat sendang?"
"Sendang? Di mana?"
"Di balik bukit. Airnya jernih. Banyak ikannya."
"Kapan-kapan aku kepingin ke sana."


*** Matahari masih seperti hari-hari sebelumnya. Bersinar cerah. Tanah yang ditimpanya masih menyimpan
sisa embun tadi malam. Tetapi, nanti akan cepat sekali menjadi kering-kerontang.

Hari ini dia akan mencuci lagi, pikir Murtini. Biasanya setiap empat hari sekali dia mencuci. Lalu Murtini mengintai-intai lewat pintu dapur yang separo terbuka.

Tody masih bergurau dengan anak-anak tetangga. Dia mengajarkan beberapa patah kata bahasa Indonesia kepada anak-anak. Yang sempat tertangkap oleh telinga Murtini adalah perkataan ‘kerja
keras’ yang diartikan ‘nyambut gawe sing kuat’. Terjemahan itu kurang tepat, pikir Murtini. Tetapi, bagaimana yang tepat? ‘kerja’ dalam bahawa Jawanya adalah ‘gawe’, ‘keras’ adalah ‘atos’. Jadi, ‘gawe
atos’? Wah, lucu!

Anak-anak kecil itu tertawa-tawa senang jika mengetahui kata-kata Indonesia yang mirip dengan bahasa daerah mereka. Semakin anak-anak kecil itu gembira, semakin tak sabar Murtini menunggu di dapur. Jangan-jangan dia tidak mencuci hari ini, keluhnya dalam hati. Bayang-bayang pohon di tanah tinggal
sepanjang sepertiga panjang benda aslinya.

Akhirnya anak-anak kecil itu bubar setelah Tody menyuruhnya bubaran. Mereka pergi berpencaran. Ada yang ke padang, ada pula yang ke huma.

Nah, akhirnya pergi juga, pikir Murtini. Dia menunggu sampai lelaki itu lenyap di pengkolan jalan. Lalu
dia pun mengumpulkan pakaian ayahnya yang sudah kotor, memasukkannya ke dalam ember.
Kemudian, dia pun keluar menyusul langkah Tody.

Tody bersiul-siul sembari menyabuni pakaiannya di sebuah batu besar, sebesar kepala kerbau. Di bawah
pancuran persis, air membuih dan bersuara parau. Air di situ setinggi betis, dan mengalir pelahan ke selokan yang memanjang melingkari desa. Air itu sejuk. Nyaman. Apalagi pada waktu siang hari. Rerumputan tumbuh subur di sekitar kubangan. Sesekali kaki Tody menendang-nendang permukaan air. Dan, Murtini tiba di situ.

"Hai!" sapa Tody.

Gadis itu senyum tersipu. Dan, meletakkan embernya ke batu di samping Tody.

"Mari saya cucikan," kata Murtini. Lalu dia menarik pakaian yang sedang disabuni oleh Tody.

"Ah, tak usah. Biar aku cuci sendiri."

Tetapi, gadis itu tetap menarik pakaian itu, dan berpindahlah pakaian yang berbusa-busa itu ke batunya.

Bahkan pakaian lain yang belum disabuni.

Tody berpindah pula ke batu di depan gadis itu.

"Lalu, apa yang kukerjakan?" kata Tody bingung.

Gadis itu hanya tersenyum.

"Kemarikan satu biar kucuci," kata Tody.


"Izinkanlah saya mencuci semua," kata Murtini.
Bah, minta izin segala, pikir Tody. Maka dia diam seraya memandangi gadis itu menyabuni pakaian
pakaian itu dengan cepat.


"Kaupelajari juga cara-cara mencuci pakaian waktu di SKKA dulu?" tanya Tody.


Gadis itu mengangguk.


"Bukan main!"


"Apanya yang bukan main?"


"Sekolah itu. Memang, nyata benar bedanya antara hasil cucianmu dengan cucianku. Cucianmu jauh lebih bersih dan cepat."
Gadis itu tak menjawab. Tetap tersenyum-senyum.
Anak-anak rambut gadis itu bergoyang-goyang saat dia membilas pakaian. Telapak tangannya berwarna kemerahan. Lengannya yang mengintai dari balik kebaya yang tergulung hingga siku itu nampak lebih kuning dari wajah pemiliknya.
Matahari kelihatan dari celah-celah daun dan ranting pohon mangga yang menaungi tempat itu. Murtini
masih asyik membilas-bilas pakaian. Sementara itu, Tody hanya bisa menciduk-ciduk air dengan telapak
tangannya, dan mempermainkan air itu.


"Di kampung Mas Tody ada pancuran seperti ini?" tanya Murtini tiba-tiba.


"Ada."


"Orang-orang mandi di pancuran juga?"


"Ada yang di situ, ada pula yang di rumah kalau mereka punya sumur. Tapi, aku lebih suka mandi di pancuran sebab airnya lebih nyaman."
Gadis itu tetap menunduk. Tody melihat rambut yang tak tersanggul rapi itu. Rambut itu hanya digelungkan agar tak tergerai sehingga ada helai-helai rambut yang jatuh di keningnya. Sesekali gadis
itu berusaha mengembalikan rambut yang jatuh di dahi ke atas, berkumpul kembali dengan yang lain.
Alis gadis itu hitam tebal, dan bulu matanya menekuk menaungi matanya yang selamanya malu-malu menatap.
"Mas Tody sudah jadi ke sendang?"
"Belum."
"Kapan ke sana?"
"Belum pasti.
" "Nanti?"
"Aku belum tahu tempatnya. Aku masih menunggu Mas Partono. Dia janji akan mengantarku ke sendang."
"Saya mau mengantar," kata gadis itu tanpa mengangkat kepala.
"Kau?"
Murtini mengangguk.
"Kau ‘kan banyak kerja di rumah?"
"Ah, tidak apa-apa. Saya juga kepingin ke tempat itu. Lama sekali saya tidak ke sana. Ada kira-kira dua tahun."
"Begitu lama?"
"Walaupun masih di lingkungan desa ini, tetapi banyak tempat yang jarang saya kunjungi." Gadis itu


melirik sekejap. Sangat sekejap. Sebelum sempat bertatapan dengan Tody, dia telah menekuni
pekerjaannya kembali.
"Tempat itu jauh, ‘kan?" kata Tody.
"Saya bisa berjalan jauh."


Tody mengawasi tumit dan betis gadis itu yang penuh serta terendam air.
"Menurut cerita orang-orang tua, sendang itu berasal dari tongkat yang ditancapkan ke dalam tanah oleh
seorang sakti," kata Murtini.


"Eh, di daerahku pun ada dongeng semacam itu."


"Mungkin orang sakti itu juga pergi ke tempat Mas Tody."


"Merenangi Lautan Hindia?" Tody tertawa.


Mendengar tawa itu, Murtini mengangkat kepalanya. Dia ikut tersenyum.


Sementara itu, sepasang mata yang sejak tadi mengintai dari rerimbunan semak, menatap sirik. Dia menggemeretakkan geraham menahan kejengkelan yang meluncas-luncas. Sepasang mata itu milik seorang lelaki muda.

Lama dia mengintai. Semakin lama, semakin kejengkelan itu merayapi seluruh jaringan tubuhnya. Maka
akhirnya dia merentak, meninggalkan tempat itu. Dan, di sepanjang jalan dia mengutuki kenyataan yang
baru saja dilihatnya.

"Bajingan lelaki itu!" kutuknya berkepanjangan.

"Mentang-mentang orang kota, dia merayu gadis itu! Terkutuk dia! Disambar geledek!"

***

Lelaki itu adalah Maryoto. Seorang dengan bahu bidang dan mata tajam. Dia drop-out-an sebuah universitas, lalu kembali ke desa itu. Kebetulan orang tuanya mempunyai tanah yang luas di desa itu.
Melihat keakraban gadis itu dengan Tody, hatinya terbakar. Dia menginginkan gadis itu menjadi istrinya.

Sekarang dia menyaksikan Murtini berjalan berdampingan dengan lelaki kota itu, mendekati bukit.
Entah apa yang dibicarakan lelaki terkutuk itu hingga Murtini tertawa-tawa. Bajingan kota itu! Dia
membuat dada Maryoto mau meledak. Maryoto terengah berjalan merambahi belukar.

Rimbunan demi rimbunan belukar dilalui Maryoto. Dia bagaikan pemburu yang menguntit mangsa.
Sepasang rusa berjalan tanpa menyadari bahwa ada sepasang mata yang memancarkan kebencian tak lepas mengikuti mereka.

O, Murtini, kenapa kau sebaik itu padanya? Pada lelaki yang baru beberapa minggu kaukenal! Pada
lelaki yang bukan mustahil akan meninggalkan desa ini tanpa sepercik pun kenangan! Ah, kau membuat
prahara di dadaku, Murtini! Murtini! Murtini!

Dan, Maryoto lebih terengah. Jalan yang dilaluinya sungguh tak pernah dilalui manusia. Bahkan kuda
pun tidak. Kaki lelaki muda itu terkait-kait akar-belukar.

Kedua orang itu, Murtini dan Tody, ditimpa sinar matahari keemasan dari langit. Keringat berlelehan
dari leher mereka. Tetapi, tak terasakan oleh mereka. Lebih-lebih oleh gadis itu. Dia memang sedang
melangkah di jalan setapak itu, tetapi ingatannya berkelebat-kelebat ke kota tempatnya sekolah dulu.
Itulah yang mereka sedang bicarakan sekarang. Murtini menceritakan bagaimana sewaktu indekos di
Magelang. Menceritakan bagaimana dia permisi kepada pemilik rumah jika ingin menonton film,
bagaimana dia panik jika kiriman dari desa terlambat, dan semacamnya dan sejenisnya.

Tetapi, ketika Tody bertanya, "Kau sudah punya pacar waktu itu?", wajah gadis itu, berubah murung.
Mendung menyaputi wajahnya. Dia hanya menatap tonjolan batu-batu besar di bukit. Maka cepat-cepat
Tody mengalihkan pembicaraan, "Capek?"

"Tidak."

‘Tapi, kau sudah keringatan."

"Ya," jawab Murtini.

"Kita istirahat?"




"Di sini? Ah, sudah tanggung. Lebih baik kita teruskan saja. Tinggal dekat. Di balik pengkolan itu, kita
sudah sampai."

Jalanan agak menurun kini. Mereka memijak kerikil yang mudah sekali menggelincirkan tubuh. Gadis
itu tanpa sadar berpegangan lengan Tody. Mereka sudah semakin dekat sendang.

Permukaan sendang bagai cermin besar yang menantang matahari. Permukaan air itu sangat tenang.
Selapis goyangan pun tak nampak. Air di situ bagai sedang menahan napas.

Dan, kedua orang itu pun menahan napas. Sebab, jalan semakin terjal. Tetapi, keinginan mereka untuk
tiba di pinggir sendang yang sejuk itu semakin kuat. Kerikil bertaburan di jalan setapak sehingga mereka
harus semakin berhati-hati. Namun, bagaimanapun hati-hatinya, gadis itu tetap saja tergelincir. Tody
berusaha menahan tubuh gadis itu. Gadis itu memang tak sampai terguling. Cuma, kakinya terbenam ke
dalam kerikil.

Murtini terduduk. Tody membongkar timbunan kerikil untuk mengeluarkan sandal gadis itu. Murtini
memijiti kakinya dengan wajah keruh. Keringat tambah ramai menghiasi wajahnya.

"Keseleo?" tanya Tody.

"Tak tahu. Tapi, sakit."

"Mungkin keseleo. Sebab, kakimu terpelecok tadi."

Murtini masih mengurut-urut mata kakinya.

"Ke tempat teduh dulu. Ke bawah pohon itu," kata Tody.

Gadis itu tegak, tetapi meringis menahan sakit. Tody menuntunnya ke bawah kerindangan pohon di
pinggir sendang. Gadis itu tak bisa lagi merasakan keindahan sendang itu. Persendian kakinya sangat nyeri.

Tody menimbang-nimbang, haruskah dia mengurut persendian kaki gadis itu. Dia pernah ikut latihan
kempo. Soal urut-mengurut sedikit banyak diketahuinya. Cuma, benarkah gadis ini betul-betul keseleo?
Kalau hanya sekadar sakit biasa, bukankah riskan memegang-megang kaki seorang gadis? Lebih-lebih
memegang-megang betis yang penuh dan kuning seperti itu.

Mata gadis itu semakin panik. Keringat yang menetes di jidatnya tak kunjung berhenti. Bahkan dia telah
mulai mengeluh. Maka Tody pelan-pelan menjamah pergelangan kaki gadis itu.

Gadis itu menjerit seraya menahan tangan Tody.

"Tahankan saja dulu. Tak apa-apa. Gigit ujung saputanganmu kuat-kuat," kata Tody seraya mengulangi
mengurut pergelangan kaki gadis itu. Dengan indra perasa di jarinya, dia bisa menemukan sendi yang
keseleo.

Di lereng bukit, di balik semak-semak, Maryoto menahan gelepar-gelepar di dadanya. Kebencian
berkembang-biak tanpa batas. Terkutuk bajingan kota itu! Berani dia memegang-megang kaki Murtini!
Terkutuk dia!




Tetapi, Maryoto tetap diam di tempat persembunyiannya. Cuma menggemeretakkan geraham, itu yang
bisa dilakukannya. Sementara itu, Murtini menahan nyeri yang tak alang-kepalang rasanya. Tekanan jari
lelaki itu hampir tak tertanggungkan. Bagaikan jepitan kakaktua. Tangan yang kelihatan halus, dengan jari-jari kurus itu ternyata menyimpan tenaga yang kuat.

Berkali-kali Tody berkata pelahan, "Tahankan sebentar saja. Nanti akan baik, akan baik. Nyerinya akan
makin berkurang." Dia terus menekan-nekan, mengembalikan letak sendi itu pada kedudukan semula.

Mereka tak memperhatikan lagi burung-burung yang datang-pergi ke sendang itu. Tak melihat pula
ikan-ikan yang sesekali meletik ke permukaan air. Ini yang menyebabkan permukaan air bergoyang
sesaat. Angin yang bertiup memang terasa sepoi, tetapi mereka tak tahu bagaimana bunga-bunga liar di
pinggir sendang bergoyang. Bunga-bunga berwarna merah, ungu, kuning, dan putih. Bunga yang
besarnya maksimal setutup botol.

Memang betul nyeri semakin berkurang. Murtini tak perlu lagi menggigit saputangan. Dia telah menghapus keringat di keningnya. Bernapas pun tidak setersengal tadi.

"Di mana Mas Tody belajar memijit?" tanyanya.

"Well? Masih sakit?"

"Masih agak terasa, tapi sudah jauh berkurang sakitnya."

"Nah, bagus! Tak sia-sia pengetahuan kempo itu. Aku dulu sering latihan beladiri kempo. Sering jatuhbangun. Akibatnya sering keseleo. Lalu, aku serius mempelajari urut-mengurut ini. Nah, persendian
kakimu sudah baik. Agak linu-linu sedikit, tapi itu akan hilang dengan sendirinya. Atau, masih sakit?"

Murtini mengangguk. Maka Tody tak jadi melepaskan kaki gadis itu.

Angin mengibaskan rambut gadis itu. Sejuk. Tak lagi terasa nyeri. Juga tidak sakit. Yang dirasakan
gadis itu hanyalah tekanan jari lelaki itu. Nyaman. Dan, dia memperhatikan tangan lelaki itu. Lalu
berpindah ke matanya yang lunak. Mata yang bersinar tulus. Lalu ke dagunya yang berwarna kehijauhijauan bekas cukuran. Ke bahunya yang tak terlalu bidang. Ke dadanya yang agak tipis. Dada orang
yang terlalu banyak menghadapi meja tulis dan buku. Kemudian Murtini menarik napas dalam-dalam,
dan menghembuskannya panjang-panjang.

Tody mengangkat kepala.

"Tak sakit lagi, ‘kan?" tanyanya.

"Tidak. Terima kasih," kata Murtini.

Lalu Tody melepaskan pegangan tangannya pada kaki itu, dan Murtini merasakan sesuatu terlepas dari dirinya.

Untuk sesaat hanya angin yang berdesau. Kemudian, tanpa saling memandang, mereka bersamaan berkata, "Tempat...."

Keduanya saling menatap. Lalu tertawa bersama.

"Eh, teruskanlah. Apa yang mau kaubilang?"




"Ah, Mas Tody saja."
"Tempat ini bagus," kata Tody.
"Eh, saya juga mau bilang begitu, tadi."
"Kalau aku penduduk di desa ini, aku akan membuat rumah di sini."
"Jalan ke sini sulit. Kendaraan tak bisa masuk. Minimal gerobak sapi baru bisa lewat. Tetapi, dengan keadaan jalan seperti yang kita lewati tadi, tempat ini justru akan tetap begini selamanya. Lereng bukit itu terlalu terjal."

"Ya, memang sulit dilalui."
Murtini mengedarkan pandangan. Angin menyebabkan permukaan sendang bagaikan sutera yang
bergerak selapis demi selapis.


"Aih, nanti saya akan bawa pohon bunga itu. Untuk ditanam di halaman," kata Murtini.


Tody menatap matahari yang telah menggelincirkan diri.


"Ambillah sekarang. Biar kita cepat pulang."


"Pulang? Kenapa begitu buru-buru?"


"Jalan pulang akan lebih sulit terasa."


"Kita baru sebentar di sini."


"Sebentar? Hampir sejam sudah."


"Sejam? Ah, kok cepat sekali waktu berjalan."


Murtini mengangkat tasnya. "Eh, ya, hampir lupa," katanya seraya mengeluarkan bungkusan dari tasnya.


Isinya lemper.
Lelaki di balik semak itu berkali-kali menepuk nyamuk yang mengganggunya sedari tadi. Sejuta kutuk


tak berkeputusan berloncatan di dadanya. Di sana, bajingan dari kota itu enak-enakan makan lemper.
Berduaan lagi. Terkutuk! Tertawa-tawa! Terkutuk!
Dan, agas yang beterbangan di dekat telinga semakin menyebalkan hati Maryoto yang pepat. Dia mengusir serangga-serangga halus yang mengganggunya itu. Di sana, lelaki itu enak-enakan makan.


Bah, dikupaskan oleh Murtini pula. Bajingan terkutuk! Bajingan! Bajingan! Bajingan! Terkutuk!


Terkutuk! Disambar geledek dia!

***

Sikap beherapa orang desa hari-hari belakangan ini agak mengherankan Tody. Termasuk Pak Hermanu,
ayah Widuri. Lelaki itu tidak mau lagi bercerita-cerita seperti waktu yang lalu.




Apakah yang terjadi? Pemuda di desa itu pun ada yang tak lagi antusias mendengarkan uraian-uraian
dari Tody. Hanya Pak Lurah dan Partono yang tidak menunjukkan perubahan sikap. Juga Murtini serta
anak-anak kecil. Anak-anak kecil masih bergerombol di halaman jika Tody memanggil mereka.

Maka ketika bertemu dengan Pak Hermanu, Tody sengaja menjejeri langkah lelaki tua itu. Dia bisa
merasakan bahwa lelaki tua itu seakan tidak mau didekati. Tak lagi ditemukan oleh Tody mata Pak
Hermanu yang bersinar ramah. Yang ada hanya dinginnya sambutan. "Kapan berakhir BIMAS-nya?" tanya Pak Hermanu datar.

"Ya? Tiga bulan lagi," tanya Tody. Dia melirik, menaksir-naksir bahwa di balik pertanyaan lelaki tua itu
tersimpan makna: kenapa belum juga meninggalkan desa ini?
"Kalau kembali ke Yogya, akan menyelesaikan studi?"
"Ya," kata Tody.
"Lalu?"
"Lalu, bagaimana ya? Maksud Bapak?"
"Selesai studi, tentunya berumah tangga. Iya toh?"
"Oh, itu belum saya rencanakan."
"Masak?"
Jidat Tody berkerut.
"Di kota tentunya sudah ada calon," kata lelaki tua itu.
Tody tak menimpali. Dia melangkah diam-diam. Seperti elang, Pak Hermanu melirik. Berusaha menangkap kesan di wajah lelaki muda itu. Tetapi, wajah Tody tetap beku.
Mereka melewati sawah. Padi baru setinggi lutut anak kecil. Sawah itu salah satunya yang mendapat
BIMAS. Tody merasa bungah melihat padi yang subur itu. Tetapi, kegembiraan itu cepat hilang manakala menyadari langkah-langkah yang menjejerinya. Dia kembali ingat sikap orang-orang di desa
itu terhadap dirinya. Terutama sikap lelaki tua ini. Dulu dia sangat antusias membantu. Dengan wibawa


yang dipunyainya, dia begitu gampang mempengaruhi orang-orang desa agar mengikuti nasihat-nasihat
Tody. Tetapi, sekarang sikapnya sedingin pemilik restoran yang mencurigai tamunya bakal nganglap.
"Kalau Widuri, kira-kira berapa lama lagi kuliahnya ya?" tanya Pak Hermanu tiba-tiba.
"Dia? Kalau tidak salah, kira-kira dua atau tiga tahun lagi. Biasanya agak lambat waktu membuat skripsi."
"Kalian sering ketemu di sana?
" "Ya, sering. Kami sama-sama pengurus Dewan Mahasiswa.
" "Sering juga omong-omong dengan dia?"





"Sering juga. Tapi, biasanya soal urusan universitas."
Untuk beberapa saat keduanya diam. Sandal lelaki tua itu terdepak-depak. Sepatu Tody berkeresek di
pasir. Kemudian Pak Hermanu berkata lambat, "Sebenarnya anak perempuan tak perlu sekolah terlalu
tinggi. Toh akhirnya dia harus jadi istri. Tapi, apa mau dibilang? Dia ingin meneruskan sekolah.
Bagaimana melarangnya, sedangkan orang yang kehidupannya lebih sederhana saja mau menyekolahkan anaknya. Dan, saya cukup mampu. Cuma, sayangnya dia anak satu-satunya. Perempuan
lagi. Kalau dia lelaki, tak perlu dirusuhkan."
Tody diam-diam menyimak. Lelaki tua itu menatap daun-daun padi yang gemerisik.
"Saya merasa diri saya tambah tua. Padahal dia belum menampakkan tanda-tanda mau kembali. Apa sesungguhnya yang dicarinya di kota itu, saya tak bisa paham. Titel? Ah, buat apa? Dia ingin jadi orang
berpangkat? Ah, buat apa? Bagaimanapun, kebahagiaan yang patut untuknya adalah menjadi seorang
istri. Sebagai ibu anak-anaknya. Saya lebih senang melihat dia jadi ibu rumah tangga yang bahagia
daripada jadi pejabat tinggi."

"Ya," kata Tody.
Lelaki tua itu menghentikan langkahnya, dan menatap Tody lekat-lekat.
"Apakah nampak tanda-tanda dia akan kawin?" tanyanya mendadak.
Tody terperangah.
"Itu.... itu...."
"Apakah dia sudah punya teman lelaki yang akrab?"
Ludah mengumpul di kerongkongan Tody.
Dengan susah-payah dia menjawab, "Itu.... saya kurang tahu."
Pak Hermanu menunduk. Kemudian kembali melangkah. Tody meredakan debur-debur jantungnya. Dia ngeri menerima tatapan mata lelaki tua itu. Tatapan yang menikam. Hingga mereka berpisah, Tody masih merasakan sisa deburan di dadanya. Adapun lelaki tua itu
melangkah dengan kepala menekuri tanah. Makin jauh, makin jauh.
Tody merasa makin lepas dari hunjaman yang menikam. Dia memandangi punggung lelaki tua itu hingga lenyap di balik pepohonan. Dia membiarkan kesenyapan tempat itu menyungkupnya. Itu jauh lebih menyenangkan.
Ah, Widuri! Gadis yang berkulit sawo, bermata teduh, dan berapi-api jika mengikuti rapat Dewan Mahasiswa. Tetapi, selalu tersipu di luar sidang. Gadis yang selalu serius, yang anggun, yang segan jika
lelaki menggurauinya. Itulah dia, Widuri. Widuri! Widuri!


Tody tersentak. Sentuhan di bahunya mengagetkannya. Partono tersenyum.
"Ngapain?" katanya.




Tody hanya menggeleng.

"Nampak-nampaknya memang lebih subur dari padi jenis biasa," kata Partono sembari mengedarkan pandang matanya ke sawah di samping mereka.

"Yah," kata Tody.

"Kalau seluruh sawah bisa di-BIMAS-kan, alangkah baiknya."

"Ya," kata Tody lagi.

"Berapa bagian lagi yang harus di-BIMAS-kan?"

"Kira-kira empat puluh persen lagi."

"Bisa mencapai target?"

"Mudah-mudahan saja bisa."

Partono diam. Mereka berdiri menatap sawah hijau yang terbentang.

"Selesai BIMAS, kau akan kembali ke Yogya?" tanya Partono.

Tody diam.

"Dan, melupakan desa ini," lanjut Partono.

"Ah, masak dilupakan."

"Ya, biasanya begitu. Kau akan jadi sarjana, jadi orang berpangkat, kawin, dan sibuk di kota."

"Ah, masak begitu," kata Tody diiringi tawa kecil.

"Kau sudah punya rencana kawin?"

Tody cuma menggeleng.

"Calon tentunya sudah ada?"

Bah, kenapa pembicaraan hari ini hanya mengenai kawin melulu! Tetapi, bayangan Irawati menyelinap


diam-diam di pelupuk mata Tody. Bisakah gadis itu kujadikan calon istri? Ah!
Keberdiaman Tody membuat Partono melangkah maju dan berdiri di pinggir jurang. Dia menatap kedalaman jurang yang gelap. Dasar jurang itu tak bisa terduga berapa meter. Dia melemparkan batu ke
dalam jurang, tetapi tak terdengar suara batu itu menyentuh dasar jurang.
"Kau merasa adanya perubahan di desa ini?" tanya Partono.
"Ya!" sahut Tody cepat. "Apa yang terjadi?"





"Bagaimana kau bisa merasakan perubahan itu?"

"Ada beberapa penduduk desa ini yang seperti membenciku."

"Yah, begitulah tinggal di daerah kecil. Orang-orang gampang sekali berubah sikap. Aku sendiri  sebenarnya tak suka tinggal di desa ini. Tapi, orang tuaku meminta agar aku mengusahakan tanah kami.
Lagi pula, aku sudah beristri, punya anak, dan harus bekerja. Apa yang sudah kudapat dari sekolah, sebenarnya tak ada manfaatnya di sini. Aku menyesal terlalu buru-buru meninggalkan sekolah dan
kawin." Sesaat Partono diam. Dia ingin menanamkan ucapannya lebih dalam. "Kau merasa ada orang
yang tidak menyukaimu. Ya, memang. Kenyatatan itu akan menimpamu. Desa ini sebenarnya terbagi
dua. Sebagian di bawah pengaruh Ayah, sebagian lain di bawah pengaruh Pak Tarmiji. Tetapi, dalam
pemilihan lurah, ayahku menang. Hanya saja, bekasnya masih ada sampai sekarang. Oleh karena kau
tinggal di rumah Ayah, otomatis kelompok Pak Tarmiji menganggap kau masuk golongan Ayah."

"Tapi, mula-mula mereka tidak memusuhiku," kata Tody.

"Yah. Cuma, belakangan ini, Maryoto.... kaukenal dia? Dia anak Pak Tarmiji, mulai menghasut
penduduk desa. Dia bahkan berhasil menarik Pak Hermanu ke pihaknya. Padahal selama ini orang tua
itu tak pernah berpihak. Entah kenapa dia mau dipengaruhi Maryoto."

"Kenapa Maryoto memusuhiku?" tanya Tody.

Partono mengangkat bahu.

"Aku tidak pernah menyakiti hatinya," kata Tody perlahan.

"Tak pernah menyakiti hatinya?" ulang Partono sepatah-sepatah. Dia melekatkan tatapan ke mata Tody.

"Apa alasannya memusuhiku?"

"Kau akan mengetahuinya nantinya."

"Kenapa? Kenapa? Kenapa?"

0 komentar:

Posting Komentar