PENDIDIKAN INKLUSI (Pendidikan Terhadap Anak Berkebutuhan
Khusus)
PENDAHULUAN - BAB I
1. Latar Belakang Masalah
Pendidikan inklusi adalah termasuk hal yang baru di
Indonesia umumnya. Ada beberapa pengertian mengenai pendidikan inklusi,
diantaranya adalah pendidikan
inklusi merupakan sebuah pendekatan yang berusaha
mentransformasi sistem pendidikan dengan meniadakan hambatan-hambatan yang
dapat menghalangi setiap siswa
untuk berpartisipasi penuh dalam pendidikan. Hambatan yang
ada bisa terkait dengan masalah etnik, gender, status sosial, kemiskinan dan
lain-lain. Dengan
kata lain pendidikan inklusi adalah pelayanan pendidikan
anak berkebutuhan khusus yang dididik bersama-sama anak lainnya (normal) untuk
mengoptimalkan
Salah satu kelompok yang paling tereksklusi dalam memperoleh
pendidikan adalah siswa penyandang cacat. Tapi ini bukanlah kelompok yang
homogen. Sekolah
dan layanan pendidikan lainnya harus fleksibel dan
akomodatif untuk memenuhi keberagaman kebutuhan siswa. Mereka juga diharapkan
dapat mencari anak-anak
yang belum mendapatkan pendidikan.
A. Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus
Pengelompokan anak berkebutuhan khusus dan jenis
pelayanannya, sesuai dengan Program Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa
Tahun 2006 dan Pembinaan Direktorat
Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar Dan Menengah Departemen
Pendidikan Nasional Pendidikan adalah sebagai berikut :
1. Tuna Netra
2. Tuna Rungu
3. Tuna Grahita: (a.l. Down Syndrome)
4. Tuna Grahita Ringan (IQ = 50-70)
5. Tuna Grahita Sedang (IQ = 25-50)
6. Tuna Grahita Berat (IQ 125 ) J. Talented : Potensi bakat
istimewa (Multiple Intelligences : Language, Logico mathematic, Visuo-spatial,
Bodily-kinesthetic,
Musical, Interpersonal, Intrapersonal, Natural, Spiritual).
13. Kesulitan Belajar (a.l. Hyperaktif, ADD/ADHD,
Dyslexia/Baca, Dysgraphia/Tulis, Dyscalculia/Hitung, Dysphasia/Bicara,
Dyspraxia/ Motorik)
14. Lambat Belajar ( IQ = 70 –90 )
15. Autis
16. Korban Penyalahgunaan Narkoba
17. Indigo
2. Tujuan
Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk
menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat. Karena itu negara
memiliki kewajiban
untuk memberikan pelayanan pendidikan yang bermutu kepada
setiap warganya tanpa terkecuali termasuk mereka yang memiliki perbedaan dalam
kemampuan (difabel)
seperti yang tertuang pada UUD 1945 pasal 31 (1). Namun
sayangnya sistem pendidikan di Indonesia belum mengakomodasi keberagaman,
sehingga menyebabkan
munculnya segmentasi lembaga pendidikan yang berdasar pada
perbedaan agama, etnis, dan bahkan perbedaan kemampuan baik fisik maupun mental
yang dimiliki
oleh siswa. Jelas segmentasi lembaga pendidikan ini telah
menghambat para siswa untuk dapat belajar menghormati realitas keberagaman
dalam masyarakat.
Selama ini anak – anak yang memiliki perbedaan kemampuan
(difabel) disediakan fasilitas pendidikan khusus disesuaikan dengan derajat dan
jenis difabelnya
yang disebut dengan Sekolah Luar Biasa (SLB). Secara tidak
disadari sistem pendidikan SLB telah membangun tembok eksklusifisme bagi anak –
anak yang berkebutuhan
khusus. Tembok eksklusifisme tersebut selama ini tidak
disadari telah menghambat proses saling mengenal antara anak – anak difabel
dengan anak – anak non-difabel.
Akibatnya dalam interaksi sosial di masyarakat kelompok
difabel menjadi komunitas yang teralienasi dari dinamika sosial di masyarakat.
Masyarakat menjadi
tidak akrab dengan kehidupan kelompok difabel. Sementara
kelompok difabel sendiri merasa keberadaannya bukan menjadi bagian yang
integral dari kehidupan
masyarakat di sekitarnya.
Seiring dengan berkembangnya tuntutan kelompok difabel dalam
menyuarakan hak – haknya, maka kemudian muncul konsep pendidikan inklusi. Salah
satu kesepakatan
Internasional yang mendorong terwujudnya sistem pendidikan
inklusi adalah Convention on the Rights of Person with Disabilities and
Optional Protocol yang
disahkan pada Maret 2007. Pada pasal 24 dalam Konvensi ini
disebutkan bahwa setiap negara berkewajiban untuk menyelenggarakan sistem
pendidikan inklusi
di setiap tingkatan pendidikan. Adapun salah satu tujuannya
adalah untuk mendorong terwujudnya partisipasi penuh difabel dalam kehidupan
masyarakat. Namun
dalam prakteknya sistem pendidikan inklusi di Indonesia
masih menyisakan persoalan tarik ulur antara pihak pemerintah dan praktisi
pendidikan, dalam hal
ini para guru.
3. Manfaat Sekolah Inklusi
Meski sampai saat ini sekolah inklusi masih terus melakukan
perbaikan dalam berbagai aspek, namun dilihat dari sisi idealnya sekolah
inklusi merupakan
sekolah yang ideal baik bagi anak dengan dan tanpa
berkebutuhan khusus. Lingkungan yang tercipta sangat mendukung terhadap anak
dengan berkebutuhan khusus,
mereka dapat belajar dari interaksi spontan teman-teman
sebayanya terutama dari aspek social dan emosional. Sedangkan bagi anak yang
tidak berkebutuhan
khusus memberi peluang kepada mereka untuk belajar
berempati, bersikap membantu dan memiliki kepedulian. Disamping itu bukti lain
yang ada mereka yang
tanpa berkebutuhan khusus memiliki prestasi yag baik tanpa
merasa terganggu sedikitpun
4. Rumusan Masalah.
Penyelengaraan sistem pendidikan inklusi merupakan salah
satu syarat yang harus terpenuhi untuk membangun tatanan masyarakat inklusi
(inclusive society).
Sebuah tatanan masyarakat yang saling menghormati dan
menjunjung tinggi nilai – nilai keberagaman sebagai bagian dari realitas
kehidupan. Pemerintah melalui
PP.No.19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan,
pasal 41(1) telah mendorong terwujudnya sistem pendidikan inklusi dengan
menyatakan bahwa setiap
satuan pendidikan yang melaksanakan pendidikan inklusi harus
memiliki tenaga kependidikan yang mempunyai kompetensi menyelenggarakan
pembelajaran bagi
peserta didik dengan kebutuhan khusus. Undang – undang
tentang pendidikan inklusi dan bahkan uji coba pelaksanaan pendidikan
inklusinya pun konon telah
dilakukan.
Namun yang menjadi pertanyaan sekarang adalah :
1. Sejauh mana keseriusan pemerintah untuk mendorong
terlaksananya sistem pendidikan inklusi bagi kelompok difabel?
2. Bagaimanakah kurikulum yang dipakai dalam pendidikan
inklusi?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Gagagasan pendidikan inklusi
Sekolah inklusi adalah sekolah reguler yang mengkoordinasi
dan mengintegrasikan siswa reguler dan siswa penyandang cacat dalam program
yang sama, dari satu
jalan untuk menyiapkan pendidikan bagi anak penyandang cacat
adalah pentingnya pendidikan inklusi, tidak hanya memenuhi target pendidikan
untuk semua dan
pendidikan dasar 9 tahun, akan tetapi lebih banyak
keuntungannya tidak hanya memenuhi hak-hak asasi manusia dan hak-hak anak
tetapi lebih penting lagi
bagi kesejahteraan anak, karena pendidikan inklusi mulai
dengan merealisasikan perubahan keyakinan masyarakat yang terkandung di mana
akan menjadi bagian
dari keseluruhan, dengan demikian penyandang cacat anak akan
merasa tenang, percaya diri, merasa dihargai, dilindungi, disayangi, bahagia
dan bertanggung
jawab.
inklusi terjadi pada semua lingkungan sosial anak, Pada
keluarga, pada kelompok teman sebaya, pada sekolah, pada institusi-institusi
kemasyarakatan lainnya.
Sebuah masyarakat yang melaksanakan pendidikan inklusi
berkeyakinan bahwa hidup dan belajar bersama adalah cara hidup (way of life)
yang terbaik, yang
menguntungkan semua orang, karena tipe pendidikan ini dapat
menerima dan merespon setiap kebutuhan individual anak. Dengan demikian sekolah
atau pendidikan
menjadi suatu lingkungan belajar yang ramah anak-anak.
Pendidikan inklusi adalah sebuah sistem pendidikan yang memungkinkan setiap
anak penuh berpartisipasi
dalam kegiatan kelas reguler tanpa mempertimbangkan
kecacatan atau karakteristik lainnya. Disamping itu pendidikan inklusi juga
melibatkan orang tua dalam
cara yang berarti dalam berbagi kegiatan pendidikan,
terutama dalam proses perencanaaan, sedang dalam belajar mengajar, pendekatan
guru berpusat pada anak.
2.2. Landasan Hukum
2.2.1. Landasan Spiritual
a. Surat An Nisa ayat 9
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang
seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah yang mereka
khawatir terhadap (kesejahteraan)
mereka. Maka hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan
hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”.
b. Surat Az Zuhruf ayat 32
“Allah telah menentukan diantara manusia penghidupan mereka
dalam kehidupan dunia, dan Allah telah meninggikan sebagian dari mereka atas
sebagian yang
lain beberapa derajat agar sebagian mereka dapat saling
mengambil manfaat(membutuhkan)”.
2.2.2. Landasan Yuridis
a. Konvensi PBB tentang Hak anak tahun 1989.
b. Deklarasi Pendidikan untuk Semua di Thailand tahun 1990.
c. Kesepakatan Salamanka tentang Pendidikan inklusi tahun
1994.
d. UU No. 4 tentang Penyandang Cacat tahun 1997.
e. UU No. 23 tentang Perlindungan Hak Anak tahun 2003.
f. PP No. 19 tentang Standar Pendidikan Nasional tahun 2004.
g. Deklarasi Bandung tentang Menuju Pendidikan Inklusi tahun
2004.
Kalau kita cermati lebih teliti, landasa spiritual maupun
landasan yuridis tersebut telah memberikan dasar hukum yang jelas tentang
bagaiman penyelenggaraan
pendidikan inklusi yang memang merupakan sebuah kebutuhan
yang tidak dapat ditunda-tunda lagi.
2.3. Implementasi Di Lapangan
Indonesia Menuju Pendidikan inklusi Secara formal
dideklarasikan pada tanggal 11 agustus 2004 di Bandung, dengan harapan dapat
menggalang sekolah reguler
untuk mempersiapkan pendidikan bagi semua anak termasuk
penyandang cacat anak. Setiap penyandang cacat berhak memperolah pendidikan
pada semua sektor,
jalur, jenis dan jenjang pendidikan (Pasal 6 ayat 1). Setiap
penyandang cacat memiliki hak yang sama untuk menumbuh kembangkan bakat,
kemampuan dan kehidupan
sosialnya, terutama bagi penyandang cacat anak dalam
lingkungan keluarga dan masyarakat (Pasal 6 ayat 6 UU RI No. 4 tahun 1997
tentang penyandang cacat).
Disamping pendidikan atau sekolah reguler, pemerintah dan
badan-badan swasta menyelenggarakan pendidikan atau sekolah khusus yang biasa
disebut Sekolah
Luar Biasa (SLB) untuk melayani beberapa jenis kecacatan.
Tidak seperti sekolah reguler yang tersebar luas baik di daerah perkotaan
maupun daerah pedesaan.
SLB dan SDLB sebagian besar berlokasi di perkotaan dan
sebagian kecil sekali yang berlokasi di pedesaan. Penyandang cacat anak untuk
menjangkau SLB atau
SDLB relatif sangat jauh hingga memakan biaya cukup tinggi
yang tidak terjangkau penyandang cacat anak dari pedesaan. Ini pula masalah
yang dapat diselesaikan
oleh pendidikan atau sekolah inklusi, di samping memecahkan
masalah golongan penyandang cacat yang merata karena diskriminasi sosial,
karena dari sejak
dini tidak bersama, berorientasi dengan yang lain.
Sejak tahun 2001, pemerintah mulai uji coba perintisan
sekolah inklusi seperti di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan 12
sekolah didaerah Gunung
Kidul dan di Provinsi daerah Khusus Ibukota Jogyakarta
dengan 35 sekolah. Pada sekolah sekolah reguler yang dijadikan perintis itu
memang diuntukkan anak-anak
lambat belajar dan anak-anak sulit belajar sehingga perlu
mendapat pelayanan khusus. Karena masih dalam tahap rintisan sampai sekarang
belum ada informasi
yang berarti dari sekolah-sekolah tersebut.
Menurut Prof. Dr. Fawzie Aswin Hadi (Universitas Negeri
Jakarta) mengisahkan sekolah Inklusi (SD. Muhamadiyah di Gunung Kidul) sekolah
ini punya murid
120 anak, 2 anak laki-laki diantaranya adalah Tuna Grahita,
dua anak ini dimasukan oleh kedua ibunya ke kelas I karena mau masuk SLBC
lokasinya jauh dari
tempat tinggalnya yang di pegunungan. Keluarga ini tergolong
keluarga miskin oleh sebab itu mereka memasukkan anak-anaknya ke SD.
Muhamadiyah. Perasaan
mereka sangat bahagia dan bangga bahwa kenyataannya anak
mereka diterima sekolah. Satu anak tampak berdiam diri dan cuek, sedang satu
lagi tampak ceria
dan gembira, bahkan ia menyukai tari dan suka musik, juga ia
ramah dan bermain dengan teman sekolahnya yang tidak cacat. Gurunya menyukai
mereka, mengajar
dan mendidik mereka dengan mengunakan modifikasi kurikulum
untuk matematika dan mata pelajaran lainnya, evaluasi disesuaikan dengan
kemampuan mereka. Hal
yang sangat penting disini yang berkaitan dengan guru adalah
anak Tuna Grahita dapat menyesuaikan diri dengan baik, bahagia dan senang di
sekolah. Ini
merupakan potret anak Tuna Grahita di tengah-tengah teman
sekelas yang sedang belajar.
Di Indonesia telah dilakukan Uji coba dibeberapa daerah
sejak tahun 2001, secara formal pendidikan inklusi dideklarasikan di Bandung
tahun 2004 dengan
beberapa sekolah reguler yang mempersiapkan diri untuk
implementasi pendidikan inklusi. Awal tahun 2006 ini tidak ada tanda-tanda
untuk itu, informasi
tentang pendidikan inklusi tidak muncul kepada publik, isu
ini tenggelam ketika isu menarik lainnya seperti biaya operasional sekolah,
sistem SKS SMA dan
lain-lain.
II. PENGEMBANGAN KURIKULUM
A. Lingkup Pengembangan Kurikulum
Kurikulum pendidikan inklusi menggunakan kurikulum sekolah
reguler (kurikulum nasional) yang dimodofikasi (diimprovisasi) sesuai dengan
tahap perkembangan
anak berkebutuhan khusus, dengan mempertimbangkan
karakteristik (ciri-ciri) dan tingkat kecerdasannya.
Modifikasi kurikulum dilakukan terhadap:
1. alokasi waktu,
2. isi/materi kurikulum,
3. proses belajar-mengajar,
4. sarana prasarana,
5. lingkungan belajar, dan
6. pengelolaan kelas.
B. Pengembang Kurikulum
Modifikasi/pengembangan kurikulum pendidikan inklusi dapat
dilakukan oleh Tim Pengembang Kurikulum yang terdiri atas guru-guru yang
mengajar di kelas inklusi
bekerja sama dengan berbagai pihak yang terkait, terutama
guru pembimbing khusus (guru Pendidikan Luar Biasa) yang sudah berpengalaman
mengajar di Sekolah
Luar Biasa, dan ahli Pendidikan Luar Biasa (Orthopaedagog),
yang dipimpin oleh Kepala Sekolah Dasar Inklusi (Kepala SD Inklusi) dan sudah
dikoordinir oleh
Dinas Pendidikan.
C. Pelaksanaan Pengembangan Kurikulum
Pengembangan kurikulum dilaksanakan dengan:
1. Modifikasi alokasi waktu
Modifikasi alokasi waktu disesuaikan dengan mengacu pada
kecepatan belajar siswa.
Misalnya materi pelajaran (pokok bahasan) tertentu dalam
kurikulum reguler (Kurikulum Sekolah Dasar) diperkirakan alokasi waktunya
selama 6 jam.
* Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi
di atas normal (anak berbakat) dapat dimodifikasi menjadi 4 jam.
* Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi
relatif normal dapat dimodifikasi menjadi sekitar 8 jam;
* Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi
di bawah normal (anak lamban belajar) dapat dimodifikasi menjadi 10 jam, atau
lebih; dan untuk
anak tunagrahita menjadi 18 jam, atau lebih; dan seterusnya.
2. Modifikasi isi/materi
* Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi
di atas normal, materi dalam kurikulum sekolah reguler dapat digemukkan
(diperluas dan diperdalam)
dan/atau ditambah materi baru yang tidak ada di dalam
kurikulum sekolah reguler, tetapi materi tersebut dianggap penting untuk anak
berbakat.
* Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi
relatif normal materi dalam kurikulum sekolah reguler dapat tetap
dipertahankan, atau tingkat
kesulitannya diturunkan sedikit.
* Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi
di bawah normal (anak lamban belajar/tunagrahita) materi dalam kurikulum
sekolah reguler dapat
dikurangi atau diturunkan tingkat kesulitannya seperlunya,
atau bahkan dihilangkan bagian tertentu.
3. Modifikasi proses belajar-mengajar
* Mengembangkan proses berfikir tingkat tinggi, yang
meliputi analisis, sintesis, evaluasi, dan problem solving, untuk anak
berkebutuhan khusus yang memiliki
inteligensi di atas normal;
* Menggunakan pendekatan student centerred, yang menenkankan
perbedaan individual setiap anak;
* Lebih terbuka (divergent);
* Memberikan kesempatan mobilitas tinggi, karena kemampuan
siswa di dalam kelas heterogen, sehingga mungkin ada anak yang saling bergerak
kesana-kemari,
dari satu kelompok ke kelompok lain.
* Menerapkan pendekatan pembelajaran kompetitif seimbang
dengan pendekatan pembelajaran kooperatif. Melalui pendekatan pembelajaran
kompetitif anak dirangsang
untuk berprestasi setinggi mungkin dengan cara berkompetisi
secara fair. Melalui kompetisi, anak akan berusaha seoptimal mungkin untuk
berprestasi yang
terbaik, “aku-lah sang juara”!
Namun, dengan pendekatan pembelajaran kompetitif ini, ada
dampak negatifnya, yakni mungkin “ego”-nya akan berkembang kurang baik. Anak
dapat menjadi egois.
Untuk menghindari hal ini, maka pendekatan pembelajaran
kompetitif ini perlu diimbangi dengan pendekatan pembelajaran kooperatif.
Melalui pendekatan pembelajaran kooperatif, setiap anak
dikembangkan jiwa kerjasama dan kebersamaannya. Mereka diberi tugas dalam
kelompok, secara bersama
mengerjakan tugas dan mendiskusikannya. Penekanannya adalah
kerjasama dalam kelompok, dan kerjasama dalam kelompok ini yang dinilai. Dengan
cara ini sosialisasi
anak dan jiwa kerjasama serta saling tolong menolong akan
berkembang dengan baik.
Dengan demikian, jiwa kompetisi dan jiwa kerjasama anak akan
berkembang harmonis.
* Disesuaikan dengan berbagai tipe belajar siswa (ada yang
bertipe visual; ada yang bertipe auditoris; ada pula yang bertipe kinestetis).
Tipe visual, yaitu lebih mudah menyerap informasi melalui
indera penglihatan.Tipe auditoris, yaitu lebih mudah menyerap informasi melalui
indera pendengaran.Tipe
kinestetis, yaitu lebih mudah menyerap informasi melalui
indera perabaan/gerakan.Guru hendaknya tidak monoton dalam mengajar sehingga
hanya akan menguntungkan
anak yang memiliki tipe belajar tertentu saja.
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kendala / Kelemahan
Minimnya sarana penunjang sistem pendidikan inklusi,
terbatasnya pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki oleh para guru sekolah
inklusi menunjukkan betapa
sistem pendidikan inklusi belum benar – benar dipersiapkan
dengan baik. Apalagi sistem kurikulum pendidikan umum yang ada sekarang memang
belum mengakomodasi
keberadaan anak – anak yang memiliki perbedaan kemampuan
(difabel). Sehingga sepertinya program pendidikan inklusi hanya terkesan
program eksperimental.
Kondisi ini jelas menambah beban tugas yang harus diemban
para guru yang berhadapan langsung dengan persoalan teknis di lapangan. Di satu
sisi para guru
harus berjuang keras memenuhi tuntutan hati nuraninya untuk
mencerdaskan seluruh siswanya, sementara di sisi lain para guru tidak memiliki
ketrampilan
yang cukup untuk menyampaikan materi pelajaran kepada siswa
yang difabel. Alih – alih situasi kelas yang seperti ini bukannya menciptakan
sistem belajar
yang inklusi, justeru menciptakan kondisi eksklusifisme bagi
siswa difabel dalam lingkungan kelas reguler. Jelas ini menjadi dilema
tersendiri bagi para
guru yang di dalam kelasnya ada siswa difabel.
3.2. Solusi
Jika pemerintah memang serius dalam melaksanakan program
pendidikan inklusi, maka yang harus dilakukan adalah dengan menjalankan tahapan
– tahapan pelaksanaan
pendidikan inklusi secara konsisten mulai dari sosialisasi
hingga evaluasi pelaksanaannya. Namun yang lebih penting dan secara langsung
dapat dilakukan
oleh para guru untuk mewujudkan pendidikan inklusi adalah
dengan menciptakan suasana belajar yang saling mempertumbuhkan (cooperative
learning). Cooperative
Learning akan mengajarkan para siswa untuk dapat saling
memahami (mutual understanding) kekurangan masing – masing temannya dan peduli
(care) terhadap
kelemahan yang dimiliki teman sekelasnya. Dengan demikian
maka sistem belajar ini akan menggeser sistem belajar persaingan (competitive
learning) yang
selama ini diterapkan di dunia pendidikan kita. Dalam waktu
yang bersamaan competitive learning dapat menjadi solusi efektif bagi persoalan
yang dihadapi
oleh para guru dalam menjalankan pendidikan inklusi. Pada
akhirnya suasana belajar cooperative ini diharapkan bukan hanya menciptakan
kecerdasan otak secara
individual, namun juga mengasah kecerdasan dan kepekaan
sosial para siswa.
3.3 Hasil Pendidikan Inklusi
Menurut Staub dan Peck (1994/1995) ada lima manfaat atau
kelebihan program inklusi yaitu:
1. Berdasarkan hasil wawancara dengan anak non ABK di
sekolah menengah, hilangnya rasa takut pada anak berkebutuhan khusus akibat
sering berinteraksi dengan
anak berkebutuhan khusus.
2. Anak non ABK menjadi semakin toleran pada orang lain
setelah memahami kebutuhan individu teman ABK.
3. Banyak anak non ABK yang mengakui peningkatan selfesteem
sebagai akibat pergaulannya dengan ABK, yaitu dapat meningkatkan status mereka
di kelas dan
di sekolah.
4. Anak non ABK mengalami perkembangan dan komitmen pada
moral pribadi dan prinsip-prinsip etika.
5. Anak non ABK yang tidak menolak ABK mengatakan bahwa
mereka merasa bahagia bersahabat dengan ABK
Dengan demikian orang tua murid tidak lagi khawatir bahwa
pendidikan inklusi dapat merugikan pendidikan anaknya justru malah akan
menguntungkan.
Komentar:
list of 1 items
Ayo Comment ya ...
pake Facebook, biar tetap semangat !!!
list end
fb_xdm_frame_http frame
fb_xdm_frame_http frame endPENDAHULUAN - BAB I
1. Latar Belakang Masalah
Pendidikan inklusi adalah termasuk hal yang baru di
Indonesia umumnya. Ada beberapa pengertian mengenai pendidikan inklusi,
diantaranya adalah pendidikan
inklusi merupakan sebuah pendekatan yang berusaha
mentransformasi sistem pendidikan dengan meniadakan hambatan-hambatan yang
dapat menghalangi setiap siswa
untuk berpartisipasi penuh dalam pendidikan. Hambatan yang
ada bisa terkait dengan masalah etnik, gender, status sosial, kemiskinan dan
lain-lain. Dengan
kata lain pendidikan inklusi adalah pelayanan pendidikan
anak berkebutuhan khusus yang dididik bersama-sama anak lainnya (normal) untuk
mengoptimalkan
potensi yang dimilikinya.
Salah satu kelompok yang paling tereksklusi dalam memperoleh
pendidikan adalah siswa penyandang cacat. Tapi ini bukanlah kelompok yang
homogen. Sekolah
dan layanan pendidikan lainnya harus fleksibel dan
akomodatif untuk memenuhi keberagaman kebutuhan siswa. Mereka juga diharapkan
dapat mencari anak-anak
yang belum mendapatkan pendidikan.
A. Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus
Pengelompokan anak berkebutuhan khusus dan jenis
pelayanannya, sesuai dengan Program Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa
Tahun 2006 dan Pembinaan Direktorat
Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar Dan Menengah Departemen
Pendidikan Nasional Pendidikan adalah sebagai berikut :
1. Tuna Netra
2. Tuna Rungu
3. Tuna Grahita: (a.l. Down Syndrome)
4. Tuna Grahita Ringan (IQ = 50-70)
5. Tuna Grahita Sedang (IQ = 25-50)
6. Tuna Grahita Berat (IQ 125 ) J. Talented : Potensi bakat
istimewa (Multiple Intelligences : Language, Logico mathematic, Visuo-spatial,
Bodily-kinesthetic,
Musical, Interpersonal, Intrapersonal, Natural, Spiritual).
13. Kesulitan Belajar (a.l. Hyperaktif, ADD/ADHD,
Dyslexia/Baca, Dysgraphia/Tulis, Dyscalculia/Hitung, Dysphasia/Bicara,
Dyspraxia/ Motorik)
14. Lambat Belajar ( IQ = 70 –90 )
15. Autis
16. Korban Penyalahgunaan Narkoba
17. Indigo
2. Tujuan
Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk
menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat. Karena itu negara
memiliki kewajiban
untuk memberikan pelayanan pendidikan yang bermutu kepada
setiap warganya tanpa terkecuali termasuk mereka yang memiliki perbedaan dalam
kemampuan (difabel)
seperti yang tertuang pada UUD 1945 pasal 31 (1). Namun
sayangnya sistem pendidikan di Indonesia belum mengakomodasi keberagaman,
sehingga menyebabkan
munculnya segmentasi lembaga pendidikan yang berdasar pada
perbedaan agama, etnis, dan bahkan perbedaan kemampuan baik fisik maupun mental
yang dimiliki
oleh siswa. Jelas segmentasi lembaga pendidikan ini telah
menghambat para siswa untuk dapat belajar menghormati realitas keberagaman
dalam masyarakat.
Selama ini anak – anak yang memiliki perbedaan kemampuan
(difabel) disediakan fasilitas pendidikan khusus disesuaikan dengan derajat dan
jenis difabelnya
yang disebut dengan Sekolah Luar Biasa (SLB). Secara tidak
disadari sistem pendidikan SLB telah membangun tembok eksklusifisme bagi anak –
anak yang berkebutuhan
khusus. Tembok eksklusifisme tersebut selama ini tidak
disadari telah menghambat proses saling mengenal antara anak – anak difabel
dengan anak – anak non-difabel.
Akibatnya dalam interaksi sosial di masyarakat kelompok
difabel menjadi komunitas yang teralienasi dari dinamika sosial di masyarakat.
Masyarakat menjadi
tidak akrab dengan kehidupan kelompok difabel. Sementara
kelompok difabel sendiri merasa keberadaannya bukan menjadi bagian yang
integral dari kehidupan
masyarakat di sekitarnya.
Seiring dengan berkembangnya tuntutan kelompok difabel dalam
menyuarakan hak – haknya, maka kemudian muncul konsep pendidikan inklusi. Salah
satu kesepakatan
Internasional yang mendorong terwujudnya sistem pendidikan
inklusi adalah Convention on the Rights of Person with Disabilities and
Optional Protocol yang
disahkan pada Maret 2007. Pada pasal 24 dalam Konvensi ini
disebutkan bahwa setiap negara berkewajiban untuk menyelenggarakan sistem
pendidikan inklusi
di setiap tingkatan pendidikan. Adapun salah satu tujuannya
adalah untuk mendorong terwujudnya partisipasi penuh difabel dalam kehidupan
masyarakat. Namun
dalam prakteknya sistem pendidikan inklusi di Indonesia
masih menyisakan persoalan tarik ulur antara pihak pemerintah dan praktisi
pendidikan, dalam hal
ini para guru.
3. Manfaat Sekolah Inklusi
Meski sampai saat ini sekolah inklusi masih terus melakukan
perbaikan dalam berbagai aspek, namun dilihat dari sisi idealnya sekolah
inklusi merupakan
sekolah yang ideal baik bagi anak dengan dan tanpa
berkebutuhan khusus. Lingkungan yang tercipta sangat mendukung terhadap anak
dengan berkebutuhan khusus,
mereka dapat belajar dari interaksi spontan teman-teman
sebayanya terutama dari aspek social dan emosional. Sedangkan bagi anak yang
tidak berkebutuhan
khusus memberi peluang kepada mereka untuk belajar
berempati, bersikap membantu dan memiliki kepedulian. Disamping itu bukti lain
yang ada mereka yang
tanpa berkebutuhan khusus memiliki prestasi yag baik tanpa
merasa terganggu sedikitpun
4. Rumusan Masalah.
Penyelengaraan sistem pendidikan inklusi merupakan salah
satu syarat yang harus terpenuhi untuk membangun tatanan masyarakat inklusi
(inclusive society).
Sebuah tatanan masyarakat yang saling menghormati dan
menjunjung tinggi nilai – nilai keberagaman sebagai bagian dari realitas
kehidupan. Pemerintah melalui
PP.No.19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan,
pasal 41(1) telah mendorong terwujudnya sistem pendidikan inklusi dengan
menyatakan bahwa setiap
satuan pendidikan yang melaksanakan pendidikan inklusi harus
memiliki tenaga kependidikan yang mempunyai kompetensi menyelenggarakan
pembelajaran bagi
peserta didik dengan kebutuhan khusus. Undang – undang
tentang pendidikan inklusi dan bahkan uji coba pelaksanaan pendidikan
inklusinya pun konon telah
dilakukan.
Namun yang menjadi pertanyaan sekarang adalah :
1. Sejauh mana keseriusan pemerintah untuk mendorong
terlaksananya sistem pendidikan inklusi bagi kelompok difabel?
2. Bagaimanakah kurikulum yang dipakai dalam pendidikan
inklusi?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Gagagasan pendidikan inklusi
Sekolah inklusi adalah sekolah reguler yang mengkoordinasi
dan mengintegrasikan siswa reguler dan siswa penyandang cacat dalam program
yang sama, dari satu
jalan untuk menyiapkan pendidikan bagi anak penyandang cacat
adalah pentingnya pendidikan inklusi, tidak hanya memenuhi target pendidikan
untuk semua dan
pendidikan dasar 9 tahun, akan tetapi lebih banyak
keuntungannya tidak hanya memenuhi hak-hak asasi manusia dan hak-hak anak
tetapi lebih penting lagi
bagi kesejahteraan anak, karena pendidikan inklusi mulai
dengan merealisasikan perubahan keyakinan masyarakat yang terkandung di mana
akan menjadi bagian
dari keseluruhan, dengan demikian penyandang cacat anak akan
merasa tenang, percaya diri, merasa dihargai, dilindungi, disayangi, bahagia
dan bertanggung
jawab.
inklusi terjadi pada semua lingkungan sosial anak, Pada
keluarga, pada kelompok teman sebaya, pada sekolah, pada institusi-institusi
kemasyarakatan lainnya.
Sebuah masyarakat yang melaksanakan pendidikan inklusi
berkeyakinan bahwa hidup dan belajar bersama adalah cara hidup (way of life)
yang terbaik, yang
menguntungkan semua orang, karena tipe pendidikan ini dapat
menerima dan merespon setiap kebutuhan individual anak. Dengan demikian sekolah
atau pendidikan
menjadi suatu lingkungan belajar yang ramah anak-anak.
Pendidikan inklusi adalah sebuah sistem pendidikan yang memungkinkan setiap
anak penuh berpartisipasi
dalam kegiatan kelas reguler tanpa mempertimbangkan
kecacatan atau karakteristik lainnya. Disamping itu pendidikan inklusi juga
melibatkan orang tua dalam
cara yang berarti dalam berbagi kegiatan pendidikan,
terutama dalam proses perencanaaan, sedang dalam belajar mengajar, pendekatan
guru berpusat pada anak.
2.2. Landasan Hukum
2.2.1. Landasan Spiritual
a. Surat An Nisa ayat 9
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang
seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah yang mereka
khawatir terhadap (kesejahteraan)
mereka. Maka hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan
hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”.
b. Surat Az Zuhruf ayat 32
“Allah telah menentukan diantara manusia penghidupan mereka
dalam kehidupan dunia, dan Allah telah meninggikan sebagian dari mereka atas
sebagian yang
lain beberapa derajat agar sebagian mereka dapat saling
mengambil manfaat(membutuhkan)”.
2.2.2. Landasan Yuridis
a. Konvensi PBB tentang Hak anak tahun 1989.
b. Deklarasi Pendidikan untuk Semua di Thailand tahun 1990.
c. Kesepakatan Salamanka tentang Pendidikan inklusi tahun
1994.
d. UU No. 4 tentang Penyandang Cacat tahun 1997.
e. UU No. 23 tentang Perlindungan Hak Anak tahun 2003.
f. PP No. 19 tentang Standar Pendidikan Nasional tahun 2004.
g. Deklarasi Bandung tentang Menuju Pendidikan Inklusi tahun
2004.
Kalau kita cermati lebih teliti, landasa spiritual maupun
landasan yuridis tersebut telah memberikan dasar hukum yang jelas tentang
bagaiman penyelenggaraan
pendidikan inklusi yang memang merupakan sebuah kebutuhan
yang tidak dapat ditunda-tunda lagi.
2.3. Implementasi Di Lapangan
Indonesia Menuju Pendidikan inklusi Secara formal
dideklarasikan pada tanggal 11 agustus 2004 di Bandung, dengan harapan dapat menggalang
sekolah reguler
untuk mempersiapkan pendidikan bagi semua anak termasuk
penyandang cacat anak. Setiap penyandang cacat berhak memperolah pendidikan
pada semua sektor,
jalur, jenis dan jenjang pendidikan (Pasal 6 ayat 1). Setiap
penyandang cacat memiliki hak yang sama untuk menumbuh kembangkan bakat,
kemampuan dan kehidupan
sosialnya, terutama bagi penyandang cacat anak dalam
lingkungan keluarga dan masyarakat (Pasal 6 ayat 6 UU RI No. 4 tahun 1997
tentang penyandang cacat).
Disamping pendidikan atau sekolah reguler, pemerintah dan
badan-badan swasta menyelenggarakan pendidikan atau sekolah khusus yang biasa
disebut Sekolah
Luar Biasa (SLB) untuk melayani beberapa jenis kecacatan.
Tidak seperti sekolah reguler yang tersebar luas baik di daerah perkotaan
maupun daerah pedesaan.
SLB dan SDLB sebagian besar berlokasi di perkotaan dan
sebagian kecil sekali yang berlokasi di pedesaan. Penyandang cacat anak untuk
menjangkau SLB atau
SDLB relatif sangat jauh hingga memakan biaya cukup tinggi
yang tidak terjangkau penyandang cacat anak dari pedesaan. Ini pula masalah
yang dapat diselesaikan
oleh pendidikan atau sekolah inklusi, di samping memecahkan
masalah golongan penyandang cacat yang merata karena diskriminasi sosial,
karena dari sejak
dini tidak bersama, berorientasi dengan yang lain.
Sejak tahun 2001, pemerintah mulai uji coba perintisan
sekolah inklusi seperti di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan 12
sekolah didaerah Gunung
Kidul dan di Provinsi daerah Khusus Ibukota Jogyakarta
dengan 35 sekolah. Pada sekolah sekolah reguler yang dijadikan perintis itu
memang diuntukkan anak-anak
lambat belajar dan anak-anak sulit belajar sehingga perlu
mendapat pelayanan khusus. Karena masih dalam tahap rintisan sampai sekarang
belum ada informasi
yang berarti dari sekolah-sekolah tersebut.
Menurut Prof. Dr. Fawzie Aswin Hadi (Universitas Negeri
Jakarta) mengisahkan sekolah Inklusi (SD. Muhamadiyah di Gunung Kidul) sekolah
ini punya murid
120 anak, 2 anak laki-laki diantaranya adalah Tuna Grahita,
dua anak ini dimasukan oleh kedua ibunya ke kelas I karena mau masuk SLBC
lokasinya jauh dari
tempat tinggalnya yang di pegunungan. Keluarga ini tergolong
keluarga miskin oleh sebab itu mereka memasukkan anak-anaknya ke SD.
Muhamadiyah. Perasaan
mereka sangat bahagia dan bangga bahwa kenyataannya anak
mereka diterima sekolah. Satu anak tampak berdiam diri dan cuek, sedang satu
lagi tampak ceria
dan gembira, bahkan ia menyukai tari dan suka musik, juga ia
ramah dan bermain dengan teman sekolahnya yang tidak cacat. Gurunya menyukai
mereka, mengajar
dan mendidik mereka dengan mengunakan modifikasi kurikulum
untuk matematika dan mata pelajaran lainnya, evaluasi disesuaikan dengan
kemampuan mereka. Hal
yang sangat penting disini yang berkaitan dengan guru adalah
anak Tuna Grahita dapat menyesuaikan diri dengan baik, bahagia dan senang di
sekolah. Ini
merupakan potret anak Tuna Grahita di tengah-tengah teman
sekelas yang sedang belajar.
Di Indonesia telah dilakukan Uji coba dibeberapa daerah
sejak tahun 2001, secara formal pendidikan inklusi dideklarasikan di Bandung
tahun 2004 dengan
beberapa sekolah reguler yang mempersiapkan diri untuk
implementasi pendidikan inklusi. Awal tahun 2006 ini tidak ada tanda-tanda
untuk itu, informasi
tentang pendidikan inklusi tidak muncul kepada publik, isu
ini tenggelam ketika isu menarik lainnya seperti biaya operasional sekolah,
sistem SKS SMA dan
lain-lain.
II. PENGEMBANGAN KURIKULUM
A. Lingkup Pengembangan Kurikulum
Kurikulum pendidikan inklusi menggunakan kurikulum sekolah
reguler (kurikulum nasional) yang dimodofikasi (diimprovisasi) sesuai dengan
tahap perkembangan
anak berkebutuhan khusus, dengan mempertimbangkan
karakteristik (ciri-ciri) dan tingkat kecerdasannya.
Modifikasi kurikulum dilakukan terhadap:
1. alokasi waktu,
2. isi/materi kurikulum,
3. proses belajar-mengajar,
4. sarana prasarana,
5. lingkungan belajar, dan
6. pengelolaan kelas.
B. Pengembang Kurikulum
Modifikasi/pengembangan kurikulum pendidikan inklusi dapat
dilakukan oleh Tim Pengembang Kurikulum yang terdiri atas guru-guru yang
mengajar di kelas inklusi
bekerja sama dengan berbagai pihak yang terkait, terutama
guru pembimbing khusus (guru Pendidikan Luar Biasa) yang sudah berpengalaman
mengajar di Sekolah
Luar Biasa, dan ahli Pendidikan Luar Biasa (Orthopaedagog),
yang dipimpin oleh Kepala Sekolah Dasar Inklusi (Kepala SD Inklusi) dan sudah
dikoordinir oleh
Dinas Pendidikan.
C. Pelaksanaan Pengembangan Kurikulum
Pengembangan kurikulum dilaksanakan dengan:
1. Modifikasi alokasi waktu
Modifikasi alokasi waktu disesuaikan dengan mengacu pada
kecepatan belajar siswa.
Misalnya materi pelajaran (pokok bahasan) tertentu dalam
kurikulum reguler (Kurikulum Sekolah Dasar) diperkirakan alokasi waktunya
selama 6 jam.
* Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi
di atas normal (anak berbakat) dapat dimodifikasi menjadi 4 jam.
* Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi
relatif normal dapat dimodifikasi menjadi sekitar 8 jam;
* Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi
di bawah normal (anak lamban belajar) dapat dimodifikasi menjadi 10 jam, atau
lebih; dan untuk
anak tunagrahita menjadi 18 jam, atau lebih; dan seterusnya.
2. Modifikasi isi/materi
* Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi
di atas normal, materi dalam kurikulum sekolah reguler dapat digemukkan
(diperluas dan diperdalam)
dan/atau ditambah materi baru yang tidak ada di dalam
kurikulum sekolah reguler, tetapi materi tersebut dianggap penting untuk anak
berbakat.
* Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi
relatif normal materi dalam kurikulum sekolah reguler dapat tetap
dipertahankan, atau tingkat
kesulitannya diturunkan sedikit.
* Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi
di bawah normal (anak lamban belajar/tunagrahita) materi dalam kurikulum
sekolah reguler dapat
dikurangi atau diturunkan tingkat kesulitannya seperlunya,
atau bahkan dihilangkan bagian tertentu.
3. Modifikasi proses belajar-mengajar
* Mengembangkan proses berfikir tingkat tinggi, yang
meliputi analisis, sintesis, evaluasi, dan problem solving, untuk anak berkebutuhan
khusus yang memiliki
inteligensi di atas normal;
* Menggunakan pendekatan student centerred, yang menenkankan
perbedaan individual setiap anak;
* Lebih terbuka (divergent);
* Memberikan kesempatan mobilitas tinggi, karena kemampuan
siswa di dalam kelas heterogen, sehingga mungkin ada anak yang saling bergerak
kesana-kemari,
dari satu kelompok ke kelompok lain.
* Menerapkan pendekatan pembelajaran kompetitif seimbang
dengan pendekatan pembelajaran kooperatif. Melalui pendekatan pembelajaran
kompetitif anak dirangsang
untuk berprestasi setinggi mungkin dengan cara berkompetisi
secara fair. Melalui kompetisi, anak akan berusaha seoptimal mungkin untuk
berprestasi yang
terbaik, “aku-lah sang juara”!
Namun, dengan pendekatan pembelajaran kompetitif ini, ada
dampak negatifnya, yakni mungkin “ego”-nya akan berkembang kurang baik. Anak
dapat menjadi egois.
Untuk menghindari hal ini, maka pendekatan pembelajaran
kompetitif ini perlu diimbangi dengan pendekatan pembelajaran kooperatif.
Melalui pendekatan pembelajaran kooperatif, setiap anak
dikembangkan jiwa kerjasama dan kebersamaannya. Mereka diberi tugas dalam
kelompok, secara bersama
mengerjakan tugas dan mendiskusikannya. Penekanannya adalah
kerjasama dalam kelompok, dan kerjasama dalam kelompok ini yang dinilai. Dengan
cara ini sosialisasi
anak dan jiwa kerjasama serta saling tolong menolong akan
berkembang dengan baik.
Dengan demikian, jiwa kompetisi dan jiwa kerjasama anak akan
berkembang harmonis.
* Disesuaikan dengan berbagai tipe belajar siswa (ada yang
bertipe visual; ada yang bertipe auditoris; ada pula yang bertipe kinestetis).
Tipe visual, yaitu lebih mudah menyerap informasi melalui
indera penglihatan.Tipe auditoris, yaitu lebih mudah menyerap informasi melalui
indera pendengaran.Tipe
kinestetis, yaitu lebih mudah menyerap informasi melalui
indera perabaan/gerakan.Guru hendaknya tidak monoton dalam mengajar sehingga
hanya akan menguntungkan
anak yang memiliki tipe belajar tertentu saja.
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kendala / Kelemahan
Minimnya sarana penunjang sistem pendidikan inklusi,
terbatasnya pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki oleh para guru sekolah
inklusi menunjukkan betapa
sistem pendidikan inklusi belum benar – benar dipersiapkan
dengan baik. Apalagi sistem kurikulum pendidikan umum yang ada sekarang memang
belum mengakomodasi
keberadaan anak – anak yang memiliki perbedaan kemampuan
(difabel). Sehingga sepertinya program pendidikan inklusi hanya terkesan
program eksperimental.
Kondisi ini jelas menambah beban tugas yang harus diemban
para guru yang berhadapan langsung dengan persoalan teknis di lapangan. Di satu
sisi para guru
harus berjuang keras memenuhi tuntutan hati nuraninya untuk
mencerdaskan seluruh siswanya, sementara di sisi lain para guru tidak memiliki
ketrampilan
yang cukup untuk menyampaikan materi pelajaran kepada siswa
yang difabel. Alih – alih situasi kelas yang seperti ini bukannya menciptakan
sistem belajar
yang inklusi, justeru menciptakan kondisi eksklusifisme bagi
siswa difabel dalam lingkungan kelas reguler. Jelas ini menjadi dilema
tersendiri bagi para
guru yang di dalam kelasnya ada siswa difabel.
3.2. Solusi
Jika pemerintah memang serius dalam melaksanakan program
pendidikan inklusi, maka yang harus dilakukan adalah dengan menjalankan tahapan
– tahapan pelaksanaan
pendidikan inklusi secara konsisten mulai dari sosialisasi
hingga evaluasi pelaksanaannya. Namun yang lebih penting dan secara langsung
dapat dilakukan
oleh para guru untuk mewujudkan pendidikan inklusi adalah
dengan menciptakan suasana belajar yang saling mempertumbuhkan (cooperative
learning). Cooperative
Learning akan mengajarkan para siswa untuk dapat saling
memahami (mutual understanding) kekurangan masing – masing temannya dan peduli
(care) terhadap
kelemahan yang dimiliki teman sekelasnya. Dengan demikian
maka sistem belajar ini akan menggeser sistem belajar persaingan (competitive
learning) yang
selama ini diterapkan di dunia pendidikan kita. Dalam waktu
yang bersamaan competitive learning dapat menjadi solusi efektif bagi persoalan
yang dihadapi
oleh para guru dalam menjalankan pendidikan inklusi. Pada
akhirnya suasana belajar cooperative ini diharapkan bukan hanya menciptakan
kecerdasan otak secara
individual, namun juga mengasah kecerdasan dan kepekaan
sosial para siswa.
3.3 Hasil Pendidikan Inklusi
Menurut Staub dan Peck (1994/1995) ada lima manfaat atau
kelebihan program inklusi yaitu:
1. Berdasarkan hasil wawancara dengan anak non ABK di
sekolah menengah, hilangnya rasa takut pada anak berkebutuhan khusus akibat
sering berinteraksi dengan
anak berkebutuhan khusus.
2. Anak non ABK menjadi semakin toleran pada orang lain
setelah memahami kebutuhan individu teman ABK.
3. Banyak anak non ABK yang mengakui peningkatan selfesteem
sebagai akibat pergaulannya dengan ABK, yaitu dapat meningkatkan status mereka
di kelas dan
di sekolah.
4. Anak non ABK mengalami perkembangan dan komitmen pada
moral pribadi dan prinsip-prinsip etika.
5. Anak non ABK yang tidak menolak ABK mengatakan bahwa
mereka merasa bahagia bersahabat dengan ABK
Dengan demikian orang tua murid tidak lagi khawatir bahwa
pendidikan inklusi dapat merugikan pendidikan anaknya justru malah akan
menguntungkan.
Penulis:
Ifdlali
0 komentar:
Posting Komentar