Senin, 14 Januari 2013

ku gapai cintamu

Standard

mendung. Cepat sekali mengeringkan embun-embun yang melekat di ujung-ujung daun dan rumput.
Pertanda matahari akan memanggang bumi sesiang nanti.
Tody disambut Sartono di dekat selokan.
"Ada cami bilang, Mas Tody menyuruh dia menunggu di kantor.
"
"Siapa?" tanya Tody.
Sartono mengangkat bahu ke arah kantor panitia.
Irawati! Gadis itu memegang topi kerucutnya. Ah!



"Katanya Mas menyuruh dia mengerjakan sesuatu di kantor," kata Sartono lagi.
Sebenarnya Tody sudah ingin menggeleng-geleng. Dia heran memikirkan keberanian gadis itu. Entah
bagaimana bisa timbul inisiatif gadis itu untuk mengarang kibulan macam itu.


Dada Irawati berdebar-debar manakala melihat kerutan di kening Tody. Sartono merendengi langkah


Tody. Gadis itu tertunduk di bawah tatapan mata kedua lelaki di depannya.
Tody masih menimbang-nimbang. Jika dia mentolerir tindakan ugal-ugalan gadis ini, berarti dia melanggar prinsip yang harus ditegakkan. Tetapi, untuk menghukum gadis ini, sampai hatikah dia?
Menghukum gadis yang bermata hitam dan berpipi agak cekung ini? Gadis yang memiliki mata yang
minta ampun ini?


Tody menghela napas dalam-dalam. Lalu katanya. "Nanti saja kemari. Sekarang, antarkan dia, Ton. Biar diabsen dulu."
Irawati membungkuk hormat, kemudian berjalan meninggalkan kantor itu. Setelah gadis itu beberapa
langkah jauhnya, Sartono bertanya. "Siapa dia, Mas?"


"Adiknya teman," kata Tody datar.


Langkah gadis itu berayun, dan goyangan bahunya seperti goyangan bahu anak lelaki. Gaya gadis-gadis
manja sekarang. Yang gadis melelaki. Kecenderungan uniseks barangkali.
Tody mengisap rokoknya dalam-dalam, lalu masuk ke kantornya. Widuri di ruangan itu. Dalam kombinasi pakaian biru dan putih itu, dia terlihat rapi. Seperti Bu Guru. Bu Guru yang tak cerewet
tentunya. Wajahnya yang bertipe kejawaan, lembut dan anggun, sangat serasi dengan sikapnya yangtidak berbicara.


Dia tahu, tidak akan ada ucapan selamat pagi dari mulut Tody. Dan, dia pun tak mengucapkan apa-apa.
Mereka berdiam-diaman. Tody menempati mejanya, dan Widuri di sudut lain ruangan itu.
"Mas Tody," kata seorang anggota panitia, "ini rencana anggaran pengeluaran seksi saya."
"Oh, ya? Sudah disesuaikan dengan pesan bendahara?"
"Ya. Tinggal disposisi, Mas."


Tody menandatangani konsep yang disodorkan. Anggota panitia itu keluar.

Widuri mengawasi punggung lelaki itu hingga jauh. Kemudian dia mengalihkan pandangan ke Tody. Mereka bertemu pandang. "Kenapa begitu gampang Mas Tody tanda tangani?" kata Widuri.

"Apa salahnya?"

"Angka-angkanya belum diteliti."

"Aku percaya padanya."

"Kalau tiap orang seperti Mas, memang tak jadi soal."

"Maksudmu?"

Widuri tak menjawab. Dia kembali menekuni berkas-berkas di mejanya.

"Masakan dia mau selingkuh?" gerutu Tody.

"Siapa tahu?"

"Kalau sesama mahasiswa saja sudah mau main duit, apa jadinya kelak?"

"Tiap terbuka kesempatan, seseorang akan mengambil keuntungan untuk dirinya."

Itulah bibit korupsi, pikir Tody. Bibit telah tersemai di perguruan tinggi. Tentu saja sebab pendidikan


universitas tak pernah diarahkan untuk menumpas bibit buruk itu.
Tody termangu. Dan, ketermanguan itu berakhir ketika Widuri berkata, "Eh, Adik sakit lagi?"
Irawati berdiri di pintu.
"Tidak," katanya.
"Masuklah," kata Widuri.
Segan-segan Irawati melangkah.
"Ada apa?" tanya Widuri.
"Saya.... saya...."
"Dia disuruh Mas Tody!" sahut Sartono.
"Disuruh?" Mata Widuri melebar.
Tody menggaruk-garuk dagunya yang tidak gatal. Tatapan mata Widuri tajam menyeruak. Tatapan yang


menuduh. Tatapan yang meremehkan. Ah, ternyata kau serupa dengan mahasiswa lainnya. Kau bukan


dewa. Kau tak lebih dari senioren yang mau memanfaatkan kekuasaan yang secuil itu. Tak lebih! Tak lebih!




"Ooo," kata Widuri. Dan, "Ooo" itu lebih menikam lagi. Seluruh perbawa yang dibina Tody selama akhir-akhir ini rasanya runtuh. Buyar sama sekali. Luluh.

Tody menatap orang-orang yang berada di ruangan itu. Sartono tersenyum kecil. Ah, apa pula yang
berputaran di kepala yang gondrong itu? Irawati duduk menunduk. Kehadiran gadis itu telah menghapuskan segala image yang dipunyai Tody, pemimpin mahasiswa yang giat tanpa pamrih. Ah,
aktivis mahasiswa yang berjuang dengan melupakan kepentingan diri sendiri, tetapi ternyata mau menggunakan kesempatan "mumpung berkuasa" untuk kepentingan diri sendiri. Pemimpin macam apa
itu? Masih mahasiswa saja sudah bermental seperti itu. Nanti, setelah terjun ke masyarakat, pastilah dia
akan ber-aji mumpung dalam porsi yang lebih besar lagi. Bah!

Terkutuklah gadis ini! Terkutuk! Membikin gara-gara saja! Tapi, tunggu dulu. Kenapa repot-repot?
Bukankah gampang sekali untuk membantahnya? Bukankah gampang sekali untuk bilang, "Aku tidak
pernah menyuruhnya!"

Cuma, bantahan itu apakah efektif? Malahan mungkin akan jadi bumerang. Sartono atau Widuri akan
menganggap diriku pengecut. Mereka tak akan percaya andai kubilang bahwa gadis ini membikin garagara. Tak akan percaya. Mereka akan menuduhku munafik nomor wahid. Berlagak sempurna sebagai
pemimpin. Berlagak bersih, bahkan kalau perlu dengan mengorbankan gadis itu. Bah, bah, bah!

Lantaran Tody hanya bicara dengan dirinya sendiri, orang-orang di ruangan itu tak mendengarkan
sepotong pun bantahan.

Widuri menatapnya sekali lagi, lalu keluar. Adapun Sartono berkata, "Wah, rokokku habis, Mas."

Dan, tanpa menunggu jawaban, sembari melangkah keluar dia menjumput rokok Tody di meja.

Nah, dia pun telah berperan sebagai antek yang mengurus kepentingan pemimpinnya, pikir Tody. Dan,
perutnya mual. Lalu dia ingin marah. Yang tinggal di ruangan itu cuma Irawati. Dia ingin menempeleng
gadis itu.

Menempeleng? Ah, lihatlah wajahnya yang kurus. Wajah yang innocent. Murni. Rambutnya yang disisir
terbelah dengan kucir-kucir itu, dan mata yang takut-takut seperti mata sapi yang digiring ke penjagalan.

Maka Tody terdiam lama, memikirkan kalimat pertama yang bisa digunakan untuk mendamprat gadis
itu tanpa terlalu menyakiti hatinya.

Irawati tetap menunduk, memperhatikan ujung sepatunya yang mengais-ngais lantai.

"Hei, kapan aku suruh kau kemari?" kata Tody kemudian.

"Saya.... saya...."

"Siapa yang mengajarimu berbohong begitu?"

"Saya.... saya...."

"Bah, jawab! Kapan aku suruh kau kemari?" ulang Tody lebih keras.

"Tidak pernah."




"Lalu, kenapa kau berani berbohong?"
"Saya takut ikut Mapram."
"Kau bisa minta surat dokter. Boleh tidak ikut Mapram."
"Saya ingin tetap di sini."
"Ngapain?"
"Tak apa-apa. Saya ingin di sini. Melihat-lihat."
"Tak ada tontonan di sini."
Irawati diam.
Tody menekan-nekan tuts mesin tik di meja. Gadis itu menarik-narik rambutnya, kemudian bibirnya mengeluarkan suara yang hampir tanpa gerak, "Saya ingin di sini."
"Ngapain di sini?"
‘Membantu Mas."
"Aku sudah punya banyak pembantu."
"Tapi, saya ingin di sini."
"Gila! Apa fungsimu di sini? Pajangan? Bah, kalau kau agak rapi kayak peragawati, bolehlah. Boleh jadi hiasan kantor ini."
"Jadi, karena saya jelek maka saya tak boleh di ruangan ini?" Mata gadis itu menantang.
"Eh, bukan begitu. Kau tidak jelek. Kau cakep."
"Jadi, kenapa saya tidak boleh tinggal di kantor ini?"
"Karena tidak boleh!"
"Iya, tapi kenapa?"
"Eh, mendesak-desak pula. Kau tak boleh di sini, habis perkara! Kembali ke kelompokmu!"
"Saya tidak mau! Saya tidak mau!" Rengekan gadis itu terdengar separo tangisan.
"Bah, menyebalkan!" kata Tody.
"Ya, saya memang menyebalkan! Semua orang membenci saya! Semua orang mau menyiksa saya!"


Dan, gadis itu mulai menangis.
Edan, pikir Tody. Dia tak tahu cara yang paling efektif untuk menghadapi tangisan.





"Lebih baik mati, lebih baik mati!"


Antara geli dan kasihan berbaur dalam dada Tody. Masak soal Mapram saja sampai memilih: lebih baik
mati, lebih baik mati?
Tetapi, melihat isak dan segruk-segruk ingus di hidung yang bangir itu, iba juga Tody dibuatnya.
"Jangan menangis. Nanti dikira orang aku memaksamu yang tidak-tidak," kata Tody.
Irawati masih terisak.
"He, mau diam tidak? Kalau tidak, kulemparkan kau keluar nanti!"
"Lemparkan! Biar mati, biar mati."
"Eh, edan!" Tody melihat sekeliling. Khawatir kalau ada yang menyaksikan kekonyolan itu.
"Memang edan. Mau apa?" Tambah menantang gadis itu dalam isaknya.
"Sudahlah, berhentilah menangis. Eh, siapa namamu?"
"Tak perlu nama! Tak perlu nama! Saya tak punya harga! Oh...."
Tody tambah blingsatan. Jangan-jangan orang yang menyaksikan ini mengira aku berbuat yang tidak tidak. Atau, akan menuduhku memaksakan kekuasaanku pada cami ini untuk kepentingan pribadiku.
Jangan-jangan ada yang mengira aku memaksakan cinta. Berabe!


"Diamlah, diamlah."
Untuk pertama kali dalam hidupnya di kampus itu, pertama dalam pengalamannya sebagai aktivis
kampus, dia menghadapi peristiwa sekonyol itu. Padahal dia merasa tidak berbuat sesuatu yang buruk
terhadap gadis itu. Sekarang, gadis itu menangis bertubi-tubi. Edan!


Gadis ini barangkali terganggu keseimbangan jiwanya. Perlu dikonsultasikan pada psikiater. Ah, tak usah psikiater. Cukup psikolog saja. Di kampus ini banyak calon psikolog.
Tody ingat Anton, mahasiswa Fakultas Psikologi tingkat terakhir. Dia sudah mulai praktek menghadapi
kesintingan-kesintingan orang di biro-biro konsultasi jiwa fakultasnya.


Maka Tody keluar. Lebih aman. Lebih baik menghadapkan gadis itu pada psikolog. Ya, daripada
pusing. Sulit memang menghadapi gadis centil. O, pantaslah julukan gadis itu "Centil" dalam Mapram
ini. Tody tak mampu menghadapi kecentilan. Dia lebih suka dihadapkan dengan polisi yang melarang
demonstrasi daripada dengan gadis-gadis yang menangis. Gadis-gadis memang selalu memusingkan kepala.


Irawati berhenti menangis. Dari celah-celah jari tangannya dia melihat tubuh Tody yang makin menjauh.
Dan, dia tersenyum. Lalu dia memperenak duduknya. Bersantai.
Sementara itu, Tody bergegas ke Fakultas Psikologi. Di langit, matahari mulai menyebarkan panasnya.
Sembari berjalan, Tody berpikir, ah, kenapa aku sendiri yang menemui Anton Sinting itu? Kenapa tak kusuruh saja seorang mahasiswa atau cama memanggilnya? Ah, rupa-rupanya aku tadi panik. Ingin cepat-cepat melepaskan diri dari kebisingan tangis itu. Bah, tangisan memang lebih mengganggu
keseimbangan pikiran. Mendengar tembakan-tembakan peringatan waktu demonstrasi aku tidak
terganggu. Tetapi, menghadapi gadis menangis.... wah, parah!

Dari kaca jendela, Tody melihat Anton duduk. Baru saja seorang pemuda berkonsultasi padanya. Lalu Tody memberi isyarat, tetapi Anton malah mempersilakannya masuk dan menyuruhnya duduk.
"Nah, apa kesulitan Anda?" tanya Anton.
"Asu! Jangan berlagak kau!"

"Eh, nampak-nampaknya Anda agak parah!"
Tody memaki dalam bahasa daerahnya, Flores. Dan, Anton tertawa mengakak. Lalu berdiri dan mengajak Tody keluar.

"Well?" kata Anton.
"Aku perlu bantuanmu."
"Soal?"
Mereka berjalan menyusuri gang di gedung universitas.
"Ada cami yang agak aneh. Dia menangis terus. Aku kira dia mengalami shock selama Mapram ini."
"Hm. Lalu?"
"Cobalah periksa dia." Lalu, secara kronologis Tody menceritakan kelakuan Irawati. Dari pingsannya sampai pada kebohongannya tadi.
"Eh, kasus yang menarik," kata Anton.
"Makanya kupanggil kau, biar tambah pengalamanmu sebagai dukun jiwa."


***
Anton menemui gadis itu, sedang Tody terus berjalan ke selatan, menyimpang ke kiri dan ke Fakultas Sastra. Cama-cami fakultas itu sedang menghadapi gojlogan dari senior-senior mereka. Johan berkacak

pinggang di sudut aula. Di depannya duduk seorang cami. Bersimpuh. Barangkali Johan mengira dirinya maharaja. Bentakannya menggelegar hingga cami itu tersentak.
"Kenapa tidak dibawa? Mau membangkang?"
"Saya lupa," kata cami itu. Kepalanya tertekuk. Lehernya bagai tak bertulang.
"Nanti sore harus kaubawa. Mengerti?"
Gadis itu mengangguk dalam-dalam, dan Johan meninggalkannya. Lalu mendekati Tody. Tody


memperhatikan cami itu. Dugaannya, gadis itu tentulah calon mahasiswi jurusan Sastra Prancis.
Wajahnya mirip gambar-gambar reklame parfum buatan Prancis. Lembut dan lonjong, dengan mata selembut mata Liz Taylor. Bibirnya punya lekukan yang bagus.
Johan tertawa.
"Disuruh bawa cacing saja sudah sulit. Belum lagi mencari fosil," katanya.
Tody mengalihkan matanya. Cami itu masih duduk di tempatnya.
"Tak kausuruh dia kembali ke kelompoknya?" kata Tody.
"Oh, ya. Hei, Cami Goblok! Kembali ke regumu!" Suara Johan mengatasi bentakan senior lain di ruangan itu.
"Cantik," kata Tody.
"Tapi, belum menandingi Irawati," kata Johan.
"Sudah ada pacarnya?"
"Ah, ente berlagak pula."
"Hei....? Maksudmu?"
"Bukan kau yang sudah memetiknya?"
"Bah, gila kau! Siapa maksudmu?"
"Itu.... yang kausimpan di kantor."
Tody tiba-tiba merasa dadanya menyenak. Lebih-lebih setelah bertatapan dengan mata Johan yang memperoloknya. Dalam beberapa helaan napas, dia bisa menstabilkan diri. Lalu katanya, "Gadis itu yang kumaksud."  
Gadis yang barusan digojlog Johan duduk di tengah-tengah kelompoknya. Di celah pakaian-pakaian yang lusuh dan kotor itu, kelunakan matanya tak berkurang sama sekali.


"O, dia. Sudah."
"Siapa?"
"Anak AKABRI," kata Johan.
 "Bagaimana kau tahu?"

"Pernah kulihat."

"Kalau begitu, sejak lama kau mengincarnya."
"Ah, tiap cewek aku incar. Mereka mau atau tidak, itulah soalnya."

Untuk beberapa saat mereka diam. Mereka memperhatikan gadis-gadis di aula itu. Bentakan-bentakan senioren berbauran dalam paduan yang membisingkan.

"Eh, omong-omong," kata Tody, sesaat dia melirik Johan, dan sebelum bertemu pandang dia  melanjutkan, "kau kenal Irawati?"
Johan tertawa kecil. Dia mempermainkan geretannya lima enam kali, memperhatikan pijar-pijar batunya.
Tody maklum. Dia mengeluarkan kreteknya, dan mereka merokok.
"Kukenal," kata Johan tak acuh. Dia lebih asyik dengan asap rokoknya. Dan, dia puas bisa membuat lingkaran-lingkaran bulat dari asap rokoknya. "Pacarku dulu dekat rumahnya," lanjutnya.
"Bagaimana keadaan lingkungannya?"
"Hm, biasa saja."
"Bagaimana yang biasa itu?"
"Ah, kau tentunya lebih tahu."
"Tidak. Aku tidak tahu. Cuma, aku merasa ada sedikit kelainan pada gadis itu."
"Abnormal?"
"Mau dibilang ‘abnormal’, ya tidak. Tapi, yah, semacam kelainan dari gadis-gadis lain."
Johan menggigit-gigit ujung rokoknya.
"Kehidupan mewah," katanya. "Ayahnya punya perusahaan yang lumayan besarnya. Kabarnya punya hubungan dengan salah seorang Aspri presiden."
"Hm. Itu saja?"
"Dia suka pesta-pesta. Teman-temannya banyak. Boleh dibilang, dia pusat sentrifugal remaja-remaja elite di kota ini."
"Aktivis youth centre?"
"Uh, apa youth centre? Mana mau mereka masuk youth centre atau Pramuka segala macam? Semacam peradaban bebas, begitulah."
"Peradaban bebas, atau liar?"
"Tak tahulah. Pokoknya mereka sering kumpul-kumpul dari rumah ke rumah."
"Hm, morfinis?"
"Ah, itu aku tak tahu," kata Johan.
Tody terdiam, sedang Johan mengedarkan mata ke seputar aula, mencari sasaran bentakan. Tetapi,cama-cami berlaku tertib. Johan kehilangan alasan untuk membentak. Maka dia mengalihkan perhatiannya kepada Tody. Masih termangu dia.

"Terus terang," kata Johan, "aku heran, bagaimana kau bisa kenal cewek itu. Dia bilang, kalian berkenalan sebelum Mapram ini?"

Tody tetap membisu. Johan masih menunggu beberapa saat. Lantaran Tody tetap seperti semula, maka katanya, "Oke, aku pergi dulu."

Dari merasakan lintasan angin yang ditimbulkan tubuh Johan, barulah Tody menyadari kesendiriannya.
Lalu dia melangkah pelan-pelan keluar dari aula Fakultas Sastra itu. Berjalan terus memijak rerumputan,
membelah halaman, dan pergi ke fakultas lain.

"Terus terang, aku heran bagaimana kau bisa kenal cewek itu." Kalimat ini berputaran terus di benak Tody. Ya, bagaimana aku bisa mengenalnya? Tody menghela napas dalam-dalam. Gadis itu datang
membawa problem baru dalam hidup ini. Tindakannya mengacaukan image yang kupelihara selama ini.
Sebagai aktivis mahasiswa, ya, memang tak ada salahnya pacaran. Tetapi, pacaran dengan menggunakan kekuasaan sungguh-sungguh buruk. Memanfaatkan ketakutan seorang gadis untuk memulai pacaran, sungguh-sungguh buruk. Dan, itulah anggapan setiap orang sekarang di kampus ini. Padahal, padahal,
padahal, ah! Sepatu Tody tersandung kerikil.

Siapa gadis itu, dan bagaimana dia sampai berani ke kantor panitia, tak seorang pun tahu pasti. Bahkan aku pun tidak. Jika saja orang punya alat untuk mencek isi dadaku, ya, jika saja! Biar orang tahu bahwa
aku sama sekali tidak memanfaatkan situasi Mapram ini untuk kepentingan pribadiku. Peristiwa ini
teramat kecil sebenarnya dibandingkan dengan rangkaian kehidupan yang harus kujalani. Tetapi, kekonyolan membuatku bingung. Atau, barangkali aku terlalu lemah? Atau, barangkali lantaran gadis itu cantik? Di dasar hatiku,
sebenarnya aku menginginkannya. Cuma, aku tidak menginginkan situasi semacam sekarang ini. Jika
saja bisa berkenalan dengannya bukan dalam posisi sebagai ketua panitia Mapram! Ya, jika saja. Tetapi,
bagaimana bisa? Lingkungan kehidupan gadis itu bukan lingkungan kehidupanku. Akan berkepanjangan pembicaraan dengan diri sendiri itu seandainya Tody tidak melihat Anton berjalan
bergegas. Begitu matanya menangkap Tody, Anton mengacungkan ibu jarinya. Gondrongnya melambailambai diterpa angin. Dan, Tody melihat keceriaan pemuda itu. Alangkah bedanya kami, pikir Tody. Dia
begitu bergairah dalam setiap keadaan.

"Ayo, minum dulu. Ada informasi gawat!" kata Anton. Tanpa menunggu jawaban Tody, dia berjalan terus. Tody terpaksa mengekorinya. "Minum di mana kita?"

"Di mana saja, asal kau tak terlalu lincah," kata Tody.

"Ke warung itu saja. Wah, cewek-mu itu membuat perutku lapar."

"Cewek-ku? Apa-apaan kau?"

"Nantilah kuceritakan. Sekarang, aku perlu sepiring nasi rames dan beberapa potong tempe goreng. Kalau kondisi mengizinkan, yah, aku juga memerlukan telor dan ikan seadanya."

Mereka masuk ke warung. Begitu duduk, Anton menyambar peyek.




"Bukan main, bukan main," katanya.
"Apanya bukan main?"
"Kau," ujar Anton dengan mata tersenyum-senyum.
"Ah, mulailah."
"Nanti dulu! Sembari makan akan lebih puitis."
"Aku tak perlu puitis-puitisan."
"Nah, itulah. Kau terlalu kaku. Kau tidak melihat kehidupan ini dalam seluruh fasetnya. Kau kelewat serius. Makanya kau tak tahu, cewek itu, siapa namanya? Irawati. Ya, Ira, cinta sama kau."
Tody tersedak, dan cepat-cepat meletakkan gelasnya.
"Jangan main-main kau," katanya kemudian.
"Siapa yang main-main? ‘Kan kubilang, bukan main, bukan main."
"Ya, ya, ya. Lalu, bagaimana?"
"Ini berdasarkan penelitian ilmiah psikologis. Kesimpulannya, dia mencintai kau! Hebat nggak?"
"Kau biasa omong kosong."
"Bah! Kau meragukan ilmuku? Aku sudah gunakan teknik-teknik interviu yang berdasarkan metodologi."
"Aaah, itu urusanmu. Aku cuma ingin tahu bagaimana hasil pemeriksaan. Sebab, sebagai ketua panitia, aku bertanggung jawab kalau ada cama-cami yang mengalami gangguan jiwa selama Mapram ini."
"Lebih-lebih menyangkut dia. Nah, aku mulai saja." Anton menyemba telor mata sapi. "Waktu aku masuk ke ruangan yang pengap itu, ah, ya, kau perlu minta fan pada pengurus universitas. Dia
menatapku nanap. Matanya yang bagus seperti mata cincin itu berketap-ketip. Aku jadi ingat kijang
minta kacang di kebun binatang. Itu yang namanya mata redup-redup memanggil bak bintang kesepian
di kangit kelam."

"Ah, kau bertele-tele!" bentak Tody.
"Uraian ilmiah tak harus kaku. Perlu juga bahasa indah. Kuteruskan. Aku pun membalas menatapnya lekat-lekat. Seraya mengirimkan hipnoseku, aku berkata, ‘Hello, Nona.’ Bibirnya hampir terkuak. Tak jadi. Tak kuketahui kenapa. Aku duduk di depannya. Sesaat kupandangi dia. Dan, terasa ada kepinding
di kursi yang kududuki." Mulut Anton berdecap-decap mengunyah.
Tody pelahan menggigit kerupuk. Takut gemeretak kerupuk itu mengganggu Anton.
"Kemudian kataku, ‘Namaku Antonius. Mudah-mudahan nama itu tidak menakutkan Anda.’ Dia tersenyum. Kupikir, senyumnya layak ditampilkan di teve untuk reklame apa saja. ‘Aku juga panitia
Mapram,’ kataku. ‘Tapi, ketahuilah aku adalah senior yang paling baik di antero kampus ini.’




"Ah, masak?" katanya. Senyumnya tambah mekar.


"Kalau tak percaya, tanyakan rektor kita," kataku. "Rektor dan beberapa profesor di kampus ini pernah kumapram."
Dia tertawa. Dan, melihat tawanya itu, aku berpikir. Andainya aku belum punya pacar, dia patut dicintai.


Lalu kutanya, "Kabarnya kau membenci semua senior di kampus ini?"
"Siapa bilang?" katanya.
"Ada. Kabarnya kau membangkang setiap perintah senioren."
"Tidak, tidak. Saya tidak membangkang. Saya cuma tidak mampu melaksanakan perintah-perintah yang kelewat di luar batas saja."
"Perintah bagaimana yang di dalam batas?"
"Ah," katanya. Dan, dia mengedikkan bahunya, kayak marah.
"Kau bisa cerita setiap perlakuan senioren yang tidak sepantasnya. Sebab, memang tugasku untuk menampung info-info tentang mereka. Aku bertugas di bidang pengawasan senioren. Semacam provoost-nya mahasiswa, begitulah," kataku.


"Apa-apaan itu?" pintas Tody.
"Diam sajalah. Itu teknik biasa. Menghadapi pasien, kita harus menempatkan diri satu front dengan
mereka. Nah, kulanjutkan ya? Kulihat pancaran matanya kian bersahabat. Sedikit mesra. ‘Ceritakanlah
kalau ada kesulitanmu,’ kataku.


"Betul Mas pengawas Kakak-kakak Senior?" tanyanya.


"Ya. Itu bisa kaucek nanti sama ketua panitia. Kau sudah kenal, ‘kan?"

Dia mengangguk. Kemudian matanya kelihatan terhujam ke lantai. Istilah populernya, dia tersipu-sipu. Pada hematku, dia menyimpan sesuatu di hatinya.
Lalu kejarku, "Atau kau takut padanya?"
"Tidak, tidak, tidak," katanya cepat. Dan aku pun mengambil pangkal tolak bahwa dari titik inilah aku harus memulai.
"Yah, dia memang tak patut ditakuti. Sebab, setahuku, dia sangat baik. Atau, tidak?" kataku.
"Tidak, tidak, tidak," katanya.
"Tidak bagaimana?"
"Ah, tak tahu," katanya. Nampak-nampaknya dia memendam rasa. Di ruangan sebelah ramai anggota panitia yang bekerja. Di antara mereka ada yang menjenguk lewat pintu, dan berseru, "Hop, Anton mulai main film lagi?" Kurang ajar sekali. Tapi, tak kupedulikan. Gadis itu makin menarik perhatianku. Perhatian dalam arti
ilmiah tentunya. Jadi obyek studi. Dari ruangan itu aku melihat lewat jendela, ke arah bangunan
fakultasmu. Mencari-cari kau. Tapi, terang saja kau tak kelihatan. Lalu interviu kulanjutkan, "Kudengar
kau pingsan beberapa kali. Betul? Kenapa?"

Dia agak gugup.

"Kalau kau pingsan lantaran perlakuan senioren, kau boleh melaporkan sekarang padaku. Senioren mana dan bagaimana perlakuannya."
Pada mulanya dia tak mau menjelaskan. Tapi, dengan teknik interviuku yang brilian, akhirnya lamat lamat dia menceritakan persoalannya. Rupa-rupanya Johan punya perhatian padanya. Kau tahu sendiri
tabiat Johan. Agak punya badakisme. Dia sangat offensive. Gadis itu jadi bulan-bulanan terus-menurus.
Gadis itu merasa tak aman.

"Saya bosan dikejar-kejar," katanya.
"Dikejar bagaimana?"
"Terlalu banyak lelaki yang agresif. Sejak SMA, saya sering pusing dibuat oleh lelaki-lelaki yang tak tahu malu."
"Barangkali karena kau primadona di SMA-mu?"
"Bukan itu. Tapi, memang lelaki selamanya mau jadi penakluk. Mereka akan bangga kalau dapat menaklukkan seorang perempuan. Semakin kita mengelak, semakin dia ngotot. Dan, begitu kita jauh,
dia akan meninggalkan kita."
"Wah, hebat pandanganmu. Naga-naganya kau sudah berpengalaman nih," kataku.
"Pengalaman? Ah, entahlah," katanya.
Omong punya omong, dia kelepasan bicara. Dan, aku pun tahu tentang cintanya padamu."


"Uf, bagaimana mungkin!" kata Tody.
"Apa yang tak mungkin di kolong langit ini? Selama bumi masih berputar, segala macam kemungkinan bisa terjadi. Dia mencintaimu."


"Apa dia bilang?"

"Katanya, karena kau diam bagai gunung, kau kukuh dalam pendirian. Dia merasa, kau seorang lelaki yang setia."
"Antooon, Anton. Dia baru dua atau tiga hari mengenalku. Bagaimana bisa dia membuat kesimpulan begitu?" kata Tody.
"Sewaktu Onassis ketemu Jaqueline...."
"Bah! Aku bukan Onassis! Kau mengada-ada!"




"Mengada-adakan yang ada, apa salahnya?" kata Anton. Tody tersenyum pahit. Dia melayangkan pandang ke luar. Bangku-bangku di warung itu kosong. Stofles berisi emping melompong di depannya.
"Kau belum pernah mengalami kegagalan, Anton. Makanya kau bisa percaya pada gadis-gadis. Kalau
harus ada yang tidak kau percayai di muka bumi ini, kupikir itu adalah dirimu sendiri. Bukan gadis-gadis."


"Bah!" gerutu Anton.
"Sebab, kau selamanya mendapatkan gadis yang kau inginkan, Anton. Dan, kautinggalkan jika kau tertarik pada gadis lain. Aku tidak seperti kau. Kau ingat Werdaningsih pada pelonco dua tahun yang lalu? Aku cuma menjadi penjemput dan pengantar, ternyata. Di akhir perpeloncoan, orang tuanya
mengucapkan terima kasih. Lalu Werdaningsih memberikan tanda mata, fulpen Parker satu set. Katanya itu kiriman tunangannya di luar negeri, untukku sebagai tanda terima kasihnya sebab aku telah menjaga Werda. Memangnya aku ini buldog mereka?"
"Itu karena kau tak hati-hati. Kau terlalu berharap."
"Berharap, katamu? Apakah ada yang tidak berharap kalau seorang lelaki menjemput dan mengantar seorang gadis yang bukan adik, bukan apa-apanya? Apakah ada? Tunjukkan orangnya, siapa di antara
teman-teman kita yang tanpa pretensi dalam mengawal gadis-gadis. Kecuali.... ya, kecuali jika memang dia bertugas dalam kepanitiaan untuk menjemput dan mengantar. Bahkan itu pun bukan mustahil punya harapan-harapan tertentu."

"Anggap sajalah pengalaman pahit itu kecelakaan."
"Lalu dengan Lidia. Polanya sama. Kekonyolan yang kualami sama. Kepahitannya juga sama."
"Habis, kau mendekati cewek-cewek yang sudah bertunangan," kata Anton.
"Bagaimana aku tahu dia sudah bertunangan? Selama pelonco dia seperti seorang kekasih."
"Sempat kaucium?"
"Ah!"
"Kalau sempat kaucium, itu sudah sangat memadai. Tak perlu susah-susah."
"Apakah kaupikir hubungan lelaki dan wanita hanya cium-cium dan dekap-dekap saja?"
"Untuk permulaannya, tak apalah. Nanti kalau sudah cocok betul, baru dipikirkan lebih lanjut."
"Bagiku tidak sesederhana itu. Lebih luhur."
"Boleh luhur. Tapi, harus punya reserve."
"Reserve tinggal reserve. Tapi, kalau diperlakukan seperti buldog pengawal, tentu saja sakit. Pahit."
"Mulailah dari sekarang."

"Sekarang lebih sulit, Anton. Dulu aku cuma anggota panitia. Sekarang ketua. Mau tidak mau banyak sekali bedanya. Aku harus hati-hati."

Anton diam.
Tody pun membisu. Dia mengawasi muka Anton. Memperhatikan dagu Anton yang kukuh. Matanya yang hitam jernih dan selalu bagaikan tersenyum. Mata yang ramah. Di botol limun, Tody melihat mukanya sendiri. Tak terang. Cuma, dia bisa membayangkan matanya yang selalu murung.


"Soalnya, Anton, bagaimana kita bisa mengetahui bahwa selama Mapram ini seorang gadis betul-betul mau bercinta, bukan hanya sekadar mencari perlindungan?" tanya Tody lambat-lambat.
"Kenapa harus dipersoalkan? Pokoknya, selama dia mau, manfaatkan!"
"Ah, aku tak bisa begitu."
"Kau mau bercinta kayak Nabi-Nabi? Hah!"

"Aku bukan Nabi. Cuma, aku tak suka keisengan."
"Kalau kau terlalu serius, sebelum umur tiga puluh jidatmu sudah berkerut tujuh dan kepalamu botak.
Maka kau pun digolongkan barang tua. Kalau barang antik, masih lumayan. Ada harganya. Mungkin disenangi oma-oma pengumpul barang antik. Tapi, kalau rongsokan? Wah, wah, minta ampun."


"Jadi, bagaimana harus kubuat?"

"Nah, kembali ke soal gadis yang bernama Irawati itu. Mumpung dia bilang sedang tertarik pada kau, ya, jadikanlah dia kekasihmu."
"Kalau hanya untuk keamanan saja?"
"Ya, kapan-kapan cari yang lain."
"Artinya, aku harus mengalami kekonyolan yang sama?"
"Jangan lihat tindakannya menipu kau. Lihat saja tindakan kau yang memanfaatkan dia. Aman. Tenteram. Senang. Itu akan membahagiakan jiwa."


Tody menggeleng-geleng. "Kukira kau bisa memberi advis yang ilmiah berdasarkan ilmu psikologimu," keluhnya.
"Yah, itu berdasarkan ilmu."
"Ilmu playboy!"
"Kau mau mencari cinta yang sejati, sekali nemplok langsung pada kau? Wah, itu payah. Kalau kau ngotot, akhirnya kau jadi pastor. Daripada begitu, lebih baik sekarang kau masuk seminari. Belum
terlambat. Orang tuamu di Flores sana akan senang sekali."
Tody mengeluh.





Anton mengipas-ngipaskan buku ke lehernya. Hawa di warung itu semakin pengap.

"Oke, bayarlah. Kita omong-omong di bawah pohon cemara itu," kata Anton. Lalu dia mendahului keluar.

***

Cukup lama Widuri membiarkan ruangan itu hening. Cuma suara mesin tik dari ruangan sebelah terdengar. Di sudut ruangan, duduk Irawati. Dia pun dibalut senyap.
Matahari mencorong di langit. Kemudian Widuri merasa bosan membaca. Pori-pori kulit menganga dalam sungkupan hawa siang yang terik.
Widuri mengangkat kepala, dan tersenyum kepada Irawati yang menatapnya.
"Panas ya?" kata Widuri.
Irawati mengangguk.
"Konstruksi bangunan ini memang kurang baik. Angin tidak bebas bertiup dari luar."
Di kejauhan, pucuk cemara bergoyang diterpa angin. Menimbulkan imaji sejuk.
"Mari, kita keluar," kata Widuri kemudian.
Irawati mengikutinya.
Kedua gadis itu berendengan di sepanjang jalan di kampus. Cemara menderaikan daunnya. Seperti sajak


Chairil Anwar. Rambut Widuri yang tergerai hingga bahu berberaian dalam hembusan angin dari selatan.
Jalan yang mereka susuri memanjang ke depan. Matahari menimpakan sari-sari panasnya ke aspal yang
tak terlindung pepohonan. Uap panas menari-nari di permukaan aspal.


"Kau disuruh apa sama Mas Tody." Tiba-tiba Widuri bertanya membuat Irawati gelagapan.
"Eh, tidak, tidak apa-apa," jawabnya kemudian.
Dan, keduanya diam lagi. Celepak sepatu masing-masing berdesir-desir di pasir. Mereka berjalan dari kelindungan pohon yang satu ke kelindungan pohon yang lain. Gedung Induk Universitas Gadjah Mada megah dalam balutan cat putihnya. Langit biru dan awan mengapas putih. Jantung Kampus Gadjah
Mada itu dari kejauhan terlihat anggun. Teriakan-teriakan senior yang membentak cama-cami semayup dibawa angin. Widuri menatap ke arah
teriakan-teriakan itu, sedang Irawati melangkah dengan kepala tertunduk.
"Kau sering sakit, Dik Ira?"
"Saya? Ah, tidak. Kenapa?"


"Kenapa kau gampang pingsan?"
"Saya pun tak tahu. Cuma, saya kepingin pingsan kalau hati saya jengkel."
"Waktu Mapram dulu, saya pun pernah pingsan. Tapi, memang karena badan saya lemah. Dulu saya sakit-sakitan. Dan, penakut. Saya takut pada semua senior."
"Kabarnya Mapram dulu lebih berat?"
"Yah, lebih berat. Dulu tak pernah pulang di bawah jam dua belas malam. Bahkan sampai jam satu, jam dua. Apel pagi jam lima. Siang terbakar panas, malam kedinginan. Betul-betul sengsara. Tapi, yah, bisa
juga dilalui. Solidaritas antarteman sangat tebal. Mereka, para cama, akan mengantar teman-teman putri
pulang. Kadang-kadang ada juga Kakak Senior yang mengantar."

Langkah mereka tetap beraturan. Irawati memperhatikan seekor burung yang menyambar-nyambar pucuk pohon cemara.

"Dik Ira dengan siapa biasa pulang?"
Irawati gelagapan lagi. Burung yang diperhatikannya tadi membubung tinggi ke angkasa. Tinggal titik
hitam di langit.


"Dengan teman," katanya pelahan sekali.
"Teman se-Mapram?"
"Ya, eh...."
Widuri meliriknya. Dan, dia melihat kecanggungan di wajah Irawati. Sementara itu, Irawati sendiri sedang berpikir, kenapa harus takut? Kenapa harus ragu-ragu?
"Dengan Mas Tody," katanya tuntas, dan melirik Widuri.
Akan halnya Widuri, gadis ini hanya menatap kerikil di jalanan.
Pacarnyakah lelaki itu? Pacarnyakah? Kalau bukan, pikir Irawati, kenapa dia mendadak menatap ke tanah? Kenapa dia tak berani membalas tatapanku?
"Rumah kalian berdekatan?" tanya Widuri.
"Tidak," jawab Irawati.
"Ooo," kata Widuri pelahan.
Maka Widuri - mahasiswa ekonomi tingkat tiga itu -menapaki jalan dengan membisu. Cemara tak bosan-bosannya bergoyang. Gerumbul semak di pinggir jalan tetap berbunga cantik walau tak terpelihara. Rumput-rumput ada yang berbunga kecil-kecil sebesar pentol korek api, berwarna putih dan ungu. Seekor kumbang menggeremet di bunga liar itu.

"Haus?" kata Widuri.




"Ya," kata Irawati.
"Mari kita ke kafetaria sana."
Mereka melintasi jalan setapak yang dihampiri kerikil dan pecahan genteng. Batu yang terinjak berbunyi berderik-derik. Jalan berkerikil itu melintang dalam ujud perempatan.
Dan, suara dari samping, "Hai, Ira!"
Anton dan Tody.
"Hai, Wiwik!" tambah Anton.
"Dari mana, Mas Anton?" tanya Widuri.
Anton menunjuk warung di luar kampus. Tody bertatapan dengan Irawati. Dan, ah, ah, ah! Memang lain. Mata gadis itu tersipu-sipu, pikir Tody. Kemudian dia berabh memandang Widuri. Cepat sekali Widuri meloncatkan pandangan ke tempat lain.

"Kami mau minum," kata Widuri. "Ikut?"
Anton menggeleng. Dia lantas menepuk-nepuk perutnya. Widuri mengangkat bahu, lalu menarik tangan Irawati. Dan, sebelum melangkah, Irawati melontarkan pandang lagi, membuat Tody menelan ludah
yang agak tersekat. Berjalan beberapa langkah, Tody menoleh lagi. Lalu menoleh kepada Anton sebab terdengar Anton tertawa kecil.

Kedua gadis itu lenyap di pintu kafetaria. Anton tertawa lagi. Lebih keras dari sebelumnya.

"Ngetawain apa?" Tody dongkol.

"Ngetawain cinta!"

"Hah, gila!"
***

Mereka kembali melangkah. Ujung sepatu sandal Anton menendang-nendang kerikil sehingga beberapa

butir kerikil bertemperasan ke rerumputan di pinggir jalan.

"Kelihatannya mereka akrab," kata Anton.

Tody tak menimpali.

"Widuri kesepian," lanjut Anton.

"Oh, ya? Kenapa tak kaupacari?"

"Mana dia mau?"

"Kenapa tidak?"




"Karena dia tahu aku sudah punya pacar.
"
"Kan ada gadis-gadis yang bangga sebab bisa merebut pacar gadis lain.
"
"Tapi, dia bukan tipe itu."
"Bah! Sejauh mana sudah kaukenal dia?"
"Berdasarkan analisa, Bung."
"Ah, analisamu sering ngawur."
"Eh, jangan meremehkan. Sudah berapa orang yang terganggu jiwanya berhasil kusembuhkan."
"Iya, menghadapi orang senewen kau memang bisa. Tapi, yang waras tunggu dulu."
"Lebih mudah menghadapi orang normal daripada yang mengalami gangguan jiwa."
"Tapi, kau tak bisa menyembuhkan dirimu sendiri."
"Bajingan!"
"Ya, kau pun perlu menyembuhkan diri sendiri. Kenapa kau tak pernah puas pacaran?"
"Siapa bilang tak pernah puas? ‘Kan aku sudah stop untuk yang sekarang. Setelah dia, tidak akan pindah lagi. Dia betul bakal jadi ibu anak-anakku."
"Betul nih?"
"Tunggu saja tanggal mainnya."
"Wah, hebat."
"Ya, memang hebat." Anton tertawa mengakak.
"Jadi, kita tak perlu melihat cewek cantik di Fakultas Sastra itu?"
"Kenapa tidak?" kata Anton cepat.
"Katamu tak bakal pindah lagi?"
"Tukar pacar memang tidak. Tapi, melihat-lihat ‘kan boleh saja? Setiap keindahan, di mana pun tempatnya, harus dinikmati. Ibarat melihat lukisan, aku senang lukisan Rusli. Tapi, itu ‘kan tidak menutup kemungkinan untuk melihat pameran Nashar, Zaini, atau Affandi. Nah, mari kita lihat cewek yang seperti bintang film Prancis itu."


"Pacarmu tidak bakal cemburu?"
"Wah! Ini bukan ngecap. Tapi, dia memang orang yang paling sempurna. Dia memahamiku dan mempercayaiku. Itulah sebabnya aku tak akan mencari yang lain sampai kapan pun. Sebab, aku tak akan
bisa mendapat gadis yang melebihi dia."





Mereka melangkah lebih bergegas. Tetapi, baru kira-kira sepuluh langkah, Anton memperlambat langkahnya.

"Eh, omong-omong soal Widuri lagi. Berdasarkan analisaku, dia mencintai kau, Tody."
Tody berhenti, dan katanya, "Antooon, Anton. Tiap gadis mencintaiku. Aduh, aku bisa bunuh diri nanti."


"Ini sungguh-sungguh. Soalnya, waktu kita rapat pembentukan panitia Mapram ini tempo hari, waktu kau dipilih jadi ketua, dua bulan yang lalu ya....?"


"Hm."

"Seheabis rapat malam itu, kami, aku dan Widuri, pulang bersama."


"Wow! Kaucium dia?"


"Ah, diam dulu! Sepanjang jalan, dia banyak sekali menanyakan kau."


"Seberapa banyak? Berikan angka-angka statistik. Jangan mengada-ada."


"Hampir sembilan puluh dua persen percakapan mengenai kau."


"Apa saja yang kalian bicarakan?"


"Dia yang bertanya. Aku cuma berfungsi menjawab kayak komputer."


"Apa yang ditanyakannya?"


"Apakah kau sudah punya pacar...."


"Hah! Tidak mungkin!"


"Kenapa?"


"Tidak mungkin. Tidak mungkin gadis Jawa seterus terang itu. Tak mungkin se-blak-blak-an itu."
"Ya, memang bukan pertanyaan langsung sepersis kalimat itu. Dari pembicaraan hilir-mudik sepanjang jalan itu, maksudnya kutangkap, itulah kira-kira."


"Lalu, apa jawabmu?"


"Kubilang, kau tak punya pacar. Belum punya pacar."


"Terus?"


"Dia diam."

"Terus?"




"Kucubit tangannya."
"Terus?" Tody tambah antusias.


"Kutanya dia, apakah dia mau jadi pacarmu."
"Terus?"
"Mau?" desakku.
"Terus?"
"Ah, mungkin dia sudah ada yang punya," katanya."
"Terus?" Tody lebih bersemangat.
"Terus, terus, terus becak kami masuk lobang di dekat rumahnya, lalu tamat."
"Ah, brengsek!" keluh Tody sembari menghembuskan napas jengkel.
"Ini sungguh-sungguh, Tody."
"Bagaimana bisa membedakan imajinasimu dengan fakta-fakta? Kau sudah ketularan pasien-pasienmu!"
"Kalau tak percaya, apa boleh buat?"
"Andainya betul, kenapa baru sekarang kauceritakan?"
"‘Kan baru sekarang kita ketemu sejak rapat itu? ‘Kan aku riset ke luar daerah selama ini? Lalu sibuk di biro konsultasi itu. Bagaimana bisa menceritakannya?"
"Ah, kau memang pikun!"
"Kau pun, ketemu-ketemu terus mengajukan persoalan!" Anton bersiul-siul. Lagu Blowing in The Wind


baru sepotong, dia memutus dengan siulan yang panjang ke arah seorang gadis yang mereka papasi.
Tody mengangguk menyalami gadis itu.
"Gila kau! Itu asisten di fakultasku," kata Tody dengan suara tersekap.
"Oh, ya? Lumayan juga pinggulnya."
"Jangan kurang ajar kau!"
"‘Kan di tingkatmu tidak ada asistensi-asistensian?
" "Walaupun begitu, dia asisten di fakultasku!"
"Ho, aku juga asisten di fakultasku. Malah kalau perlu, dia kujadikan pasienku."

"Ah," kata Tody.
Mereka kembali melangkah. "Nah, ternyata ada dua gadis mencintai kau. Widuri dan Irawati," kata Anton.
"Itu semua dugaan-dugaanmu."
"Selain itu, mungkin masih ada gadis lain. Siapa tahu? Ya, kita harus punya kepercayaan pada diri sendiri. Setiap gadis mungkin saja mencintai kita. Yang jadi soal cuma kesempatan. Moment! kita harus menciptakan moment yang tepat."


Tody membisu, menekuri tanah yang akan dipijaknya.
Anton meliriknya, mengawasi tubuh lampai yang berjalan diam-diam itu. Meneliti rambut Tody yang tersisir rapi. Rambut yang hitam, dan - paling tidak - sekali dalam dua puluh hari dipangkas. Sempat
pula Anton menatap baju tetoron Tody yang rapi dan dimasukkan ke celananya yang berwarna gelap itu.
Sepatunya yang mengkilat itu, pikir Anton, setiap pagi minimal memerlukan waktu dua puluh menit untuk mempersiapkan itu semua.


Anton tersenyum seraya memandang kulit sepatu sandalnya. Lalu dia menendang kerikil lagi. Dan, keduanya tiba di jalan beraspal yang membelah kampus.
"Jangan terlalu ragu-ragu. Punyailah keberanian," kata Anton. "Pilih satu di antara kedua gadis itu."
"Ah, kau membuat aku bingung," kata Tody.


"Kenapa harus bingung?"
"Urusan dengan cami itu saja sudah memusingkan kepala. Kau tambah lagi dengan soal Widuri. Itu
membuat aku canggung menghadapinya. Padahal kami harus sering bertemu dalam kegiatan-kegiatan di
kampus ini."


"Untuk sementara, urus dulu cami itu. Sedikit agresiflah. Dan, andainya kau jatuh cinta, jangan cinta tanpa reserve. Kalau dia banyak tingkah, kau tidak terlalu kecewa."
Tody menggeleng-geleng.
"Tak sanggup?" kata Anton.
Tody membisu.
"Jadi, masih mau bercinta kayak Nabi-Nabi?"


Tody tetap memperhatikan batu-batu di jalan.
"Kalau kau mau bercinta kayak Nabi-Nabi, kau harus baca lebih teliti kitab-kitab suci. Perempuan kayak
apa yang bisa merebut hati Nabi-Nabi, dan perempuan kayak apa yang menjadi istri mereka. Setahuku,
dalam kitab suci tak ada disebut-sebut wanita yang jadi nyonya Nabi karena keistimewaan dirinya. Oh,
ya, ada. Nabi Ibrahim. Dia punya istri dua orang, dan keduanya tak banyak cingcong. Nah, kau bisa
meniru jejak Nabi Ibrahim."





"Uf, kau tambah sinting!" keluh Tody.
"Itu hanya sekadar advis. Boleh diturut, boleh tidak. "
Tody berdecak jengkel.
"Kau tak pernah serius," katanya.
"Kau kelewat serius," kata Anton.
"Hidup ini singkat, Anton. Kalau tidak serius, bagaimana jadinya?"
"Karena hidup ini singkatlah makanya kita harus menikmatinya dengan humor. Kau tak tahu kenapa kau harus lahir, dan kapan kau mati. Jangka hidup kita sama sekali tak terduga. Kita datang dari misteri, dan
akan kembali ke alam misteri yang tak seorang pun mengetahuinya bagaimana keadaan di situ. Lalu,
apakah selama jangka waktu yang tak bisa diduga lamanya ini kita harus berkerut kening terus-menerus? Alangkah sia-sianya hidup."

Tody diam-diam mencerna ucapan itu.

"Hei, jangan termenung!" kata Anton. "Termenung sambil berjalan itu betul-betul buruk untuk peradaban."
Tody membisu. Mereka berjalan ke selatan.
Angin berdesah di gerumbul semak di pinggir jalan. Rambut Anton berkibaran.
"Kau ada persoalan, cepat datang ke tempatku. Cuma, tunggu sampai aku berada lagi di kota ini. Soalnya, besok aku ke luar daerah lagi, melanjutkan riset tempo hari. Selama aku tak di sini, kau harus
easy going. Paham?"

Tanpa sadar Tody mengangguk.
"Tak peduli apa motif cami itu. Kalau dia bilang menyukai kau, sukai pula dia. Jangan pikir-pikir terlalu dalam kenapa dia menyukai kau. Apakah karena kau ketua, karena kau hampir dokterandus, karena
segala macam, jangan pedulikan. Pokoknya bercinta. Kalau dia cuma iseng-iseng atau mempermainkan kau, kau pun harus siap menganggap pengalaman itu sebagai keisengan pula. Itu namanya bercinta
dengan reserve. Paham?"

Seperti robot, Tody mengangguk.

***

Cemara Sepi DI SUDUT yang gelap, Gedung Gadjah Mada, Widuri tegak diam-diam. Cama-cami sudah bersiap-siap untuk pulang. Tinggal apel malam. Lampu-lampu di kantor panitia menyala terang. Anggota panitia masih banyak yang bekerja. Lalu, dari pintu, keluar Tody. Di sudut yang gelap itu, mata Widuri tak
berkedip. Kemudian keluar pula Irawati. Dia tersenyum. Dari kejauhan, Widuri melihat senyum itu
samar-samar. Maka dia menghela napas dalam-dalam sepenuh dada.

Keduanya, Tody dan Irawati, meninggalkan kantor itu. Lalu Widuri pun meninggalkan sudutnya yang gelap. Dia berjalan pelahan ke kantor panitia.
Tak ada bulan di langit. Makin kelam. Pohon cemara yang tegak hanyalah berupa bayangan kehitaman,
bayangan yang menuding bintang-bintang.


Tody berjalan membisu dengan tangan di saku celana. Langkah Irawati berayun di sampingnya. Gadis
itu melirik lelaki berpakaian necis yang berjalan di sampingnya. Lalu dia membandingkan dengan pakaiannya yang lusuh. Pakaian untuk Mapram. Andainya bukan sedang Mapram, dia bisa melihatku
dalam pakaian apik, pikir Irawati. Dan, dia ingat fashion baru di Majalah Femina. Dan, dia ingat pula bagaimana teman-temannya selalu menertawakan lelaki-lelaki yang terlalu necis. Lelaki abad
pertengahan, kata mereka. Pemuda-pemuda modern lebih suka pakaian yang sedikit acak-acakan, tetapi tetap mengikuti mode.

Jalan memanjang di depan Tody dan Irawati.
"Kok diam saja sih?" kata gadis itu.
"Hm?" gumam Tody dan mencabut tangannya dari saku.
Irawati mengayun-ayunkan tasnya. Topi Mapramnya yang berbentuk kerucut didekap di dadanya.


Atribut-atribut Mapram lainnya ada di dalam tasnya.
"Tinggal dua hari lagi," katanya.
"Lalu mulai kuliah," kata Tody.
"Bagaimana biar bisa naik tingkat tiap tahun ya?"
"Belajar."
"Bagaimana cara belajar?"
"Belajar ya belajar."
Gadis itu tertawa halus.
Tody mendongkol. Merasa diejek.
"Baca saja buku ‘Bagaimana Belajar Efisien’!" katanya.
"Bagaimana caranya mempelajari buku itu?"
Tody menghembuskan napasnya keras-keras. Jengkel. Merasa dipermainkan.
Memang gadis itu sengaja mempermainkannya. Terbukti, dia tersenyum-senyum.
"Kita naik becak saja," kata Tody.
"Tapi, tadi sudah janji mau jalan," kata gadis itu.
"Sekarang naik becak," kata Tody tandas.
"Nggak mau, ah!"
"Kalau begitu, kau pulang sendiri."
"Alaaa, Mas Tody. Begitu saja marah."
"Siapa marah?
"
"Ooo, nggak marah to?"
Dan, gadis itu memegang tangan Tody. Dan, lelaki itu mengherani keagresifan itu. Belum pernah dia menemukan gadis seberani ini. Belum pernah. Lebih-lebih gadis yang berasal dari lingkungan Keluarga Jawa. Maka Tody semakin bertanya-tanya. Gadis macam apa sebenarnya yang berjalan merendenginya ini!

Jari-jari gadis itu halus dan hangat. Lunak, tetapi mencekam. Lalu Tody membalasnya. Dan, keduanya terus berjalan.
Dingin merambat dari malam yang kian tua. Angin yang bertiup, giris mengenai kulit. Tetapi, telapak
tangan keduanya tetap hangat. Dan, semakin hangat. Dering bel semayup. Mereka melintasi Bioskop Royal, yang memajang poster film silat. Nama Wang Yu tertulis besar, berhadapan dengan poster film dengan nama peran utama Chen Chen.


"Mas Tody suka film silat?" tanya gadis itu.


"Suka."


"Apa sih bagusnya?"


"Tak tahu. Pokoknya suka."


"Lha iya, tapi ‘kan ada sebabnya. Ceritanya, aksinya, atau apa...."


"Ah, entah!" Tody berdecak.


"Selain film silat?" tanya gadis itu lagi, mengusik.


"Koboi."


"Kok senang?"


"Senang melihat pemandangan-pemandangan padang rumput. Itu mengingatkan pada daerahku."






0 komentar:

Posting Komentar