Selasa, 16 Oktober 2012

MENGAKARNYA KORUPSI DIBUMI PERTIWI INDONESIA

Standard





Ratune ratu utama, patihe patih linuwih, pra nayaka tyas raharja, panekare becik-becik, prandene pan dadi, palyasing kalabendu, mandar mangkin handadra,

rubeda kang hangribedi, beda-beda hardaning wong sak nagara.





(R.Ng. Ranggawarsita: “Serat Kalatidha”) 



A.  Fenomena “Darurat Korupsi” di Indonesia



berita “korupsi”  sudah menjadi “berita sehari-hari” bagi masyarakat luas di Indonesia. Berita “korupsi” bahkan dengan mudah akan dijumpai dalam berbagai media dan muncul hampir setiap saat dalam bentuk berita, dialog, seminar, karya ilmiah, karya seni hingga obrolan tukang becak. Fenomena tersebut barangkali

sebanding dengan tinggi angka tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia. Sebagaimana sering diungkapkan dalam berbagai media bahwa Indonesia menduduki

peringkat ke-5 negara terkorup di dunia atau peringkat pertama di Asia Pasifik

1. dengan corruption perceptions index score hanya 2,8 (termasuk dalam predikat ”highly corrupt”)

2. Sekalipun ada yang tidak sepakat namun berbagai kalangan terlanjur menyatakan  bahwa tingginya korupsi di Indonesia karena perilaku korupsi sudah “membudaya”

dalam sistem sosial dan hukum  di Indonesia (terutama dalam sistem birokrasi, termasuk lembaga peradilan). Bahkan ada pula yang menyatakan bahwa korupsi di Indonesia sudah menjadi endemi yang menjalar kemana saja dan merusak sendi-sendi kehidupan bernegara. Betapa tidak, kasus korupsi dalam skala besar telah merambah ke lembaga legislatif dan eksekutif serta yudikatif. Lembaga-lembaga yang diharapkan bisa mengelola Negara dalam mewujudkan masyarakat adil makmur sebagaimana yang diamanatkan oleh konstitusi justru semakin kelihatan telah berkubang dalam pusaran perilaku koruptif.



Pada era globalisasi dimana sistem ekonomi  global yang dipengaruhi oleh liberalisme  dan kapitalisme, maka kekuasaan korporasi menjadi amat besar. Pada negara berkembang dimana kekuatan sosio-politiknya lemah, maka kekuasaan negara dengan mudahnya terkoptasi oleh kekuasaan korporasi. Kepentingan politik dan kepentingan ekonomi yang terjalin dalam hubungan mutualisme pragmatis sehingga berpotensi  menimbulkan penyalahgunan kekuasaan untuk menguntungkan pribadi, kelompok atau korporasi. Akibatnya negara mengalami kerugian luar biasa hingga akhirnya rakyat yang menjadi korban. Ketika kekuasan korporasi dengan kekuatan modalnya semakin dominan dan mengintervensi negara hingga mempengaruhi sistem kebijakan publik, maka motif korupsi semakin tidak terkendali.

Hal tersebut mengingatkan kita semua pada sebuah rumus sederhana yang disampaikan oleh Robert Klitgaard yaitu: C = M + D - A (Corruption is Monopoly plus Discretion minus Accountability).



Fenomena lain yang tampak di negeri ini adalah ironi-ironi muncul dari berbagai realitas. Pertama ironi antara ”suara” dengan ”sikap dan tindakan”. Di tengah gencarnya semangat antikorupsi yang disuarakan berbagai pihak termasuk Presiden SBY dan Partai Demokratnya, namun realitanya banyak kasus megakorupsi terjadi dimana-mana dan bahkan mengarah pada lingkaran kekuasaan. Dalam keadaan demikian langkah penuntasan kasus-kasus yang terungkap terkesan amat lamban dan bertele-tele. Kedua ironi antara komitmen pemberantasan korupsi dengan proses penegakan hukum. Lembaga Penegakan Hukum yang diharapkan sebagai benteng pemberantasan tindak pidana korupsi justru telah terkontaminasi perilaku korupsi yang tampak dari fenomena maraknya mafia peradilan.



Sistem hukum positif yang seharusnya menjadi tumpuan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi menjadi tampak tumpul dan justru sering ”dimainkan” sebagai alat pembenar atau penghindar bagi koruptor. Sistem peradilan pidana tampak bagaikan ”pisau dapur” tajam dibagian bawah namun tumpul pada bagian atasnya.

Hal tersebut tampak sekali dalam bekerjanya sistem peradilan pidana yang tampak ”garang” pada pihak yang lemah namun tampak ”santun” pada pihak yang kuat.

Lembaga peradilan sedemikian sigapnya ketika berhadapan dengan kasus-kasus kecil dengan pelaku ”orang kecil” yang beberapa diantaranya tidak memerlukan penyelesaian melalui proses peradilan pidana seperti misalnya kasus anak yang mencuri sandal, kasus nenek mengambil tiga buah kakao, kasus pencurian semangka,

kasus pencurian setengah ons merica, kasus petani mengambil ranting di kawasan perhutani, kasus konsumen kesehatan yang keluh kesahnya di email menyinggung

pihak rumah sakit dan sebagainya. Sebaliknya lembaga peradilan sedemikian sulit dan lambannya dalam merespon dan menindaklanjuti serta memproses kasus-kasus megakorupsi dan pelanggaran HAM berat yang melibatkan ”orang besar”. Coba saja sandingkan misalnya kasus Lanjar dengan kasus Anggodo, Kasus Prita dengan

kasus Kasus Angelina Sondakh dan berbagai kasus lainnya

Pada pertengahan tahun 1994 kita tentu teringat dengan  tersangka kasus pelarian uang kredit bank bapindo  yang bernama Eddi Tansil. Kasus yang menggemparkan tanah air ini  hingga saat ini juga tak jelas bagaimana kelanjutannya.



Eddy Tansil atau Tan Tjoe Hong atau Tan Tju Fuan

lahir 2 Februari 1953;adalah seorang pengusaha Indonesia keturunan Tionghoa yang keberadaanya kini tidak diketahui.

Ia melarikan diri dari penjara Cipinang, Jakarta , pada tanggal 4 Mei 1996 saat tengah menjalani hukuman 20 tahun penjara karena terbukti menggelapkan

uang sebesar 565 juta dolar Amerika (sekitar 1,5 triliun rupiah dengan kurs saat itu) yang didapatnya melalui kredit Bank Bapindo melalui grup perusahaan

Golden Key Group.



Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menghukum Eddy Tansil 20 tahun penjara, denda Rp 30 juta, membayar uang pengganti Rp 500 miliar, dan membayar kerugian negara

Rp 1,3 triliun.

Sekitar 20-an petugas penjara Cipinang diperiksa atas dasar kecurigaan bahwa mereka membantu Eddy Tansil untuk melarikan diri.



Sebuah LSM pengawas anti- korupsi, Gempita, memberitakan pada tahun 1999 bahwa Eddy Tansil ternyata tengah menjalankan bisnis pabrik bir di bawah lisensi

perusahaan bir Jerman, Becks Beer Company, di kota Pu Tian, di propinsi Fujian, China.



Bahkan  lembaga  pendidikan yang seharusnya menjadi pembinaan karakter  juga menjadi tumbuh kembangnya korupsi. Seperti contoh penggelapan dana bos dan lain-lain.



Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) sudah 2 tahun berjalan. Namun masih ada sekolah yang membandel dengan tidak memberikan keleluasaan pihak-pihak tertentu dalam mengakses aliran dan biaya operasional sekolah (BOS) dan biaya operasional  pendidikan

 (BOP).

 “Putusan informasi yang menyatakan bahwa Anggaran Pendapatan Belanja Sekolah (APBS) yang detail, realisasi informasi publik termasuk bukti-bukti transaksi.

Untuk  itu  ada bukti surat pertanggung jawaban (SPJ),” ujar peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Febri Hendri, di kantor ICW, Kalibata, Jakarta Selatan, Kamis (17/5/2012).



Keterbukaan informasi di sekolah penting sebab ada beberapa kasus korupsi dana BOS. Misalnya saja terdapat penggelembungan harga dalam pembelian alat tulis kantor (ATK), atau dalam pembayaran honor guru dan fotokopi naskah.



“Karena banyak ortu murid yang kritis itu misal itu tidak ada angaran. Nanti diambil dari pembelian kertas, dan segala macam karena ortu murid mempertanyakan

hal itu. Terkadang sikap orangtua yang kritis malah mendapat balasan dengan intimidasi terhadap anak, atau pun gurunya,”

ada  seorang guru menyebut dirinya pernah mendapat intimidasi lantaran pernah memberikan pernyataan ke media terkait penggunan BOS yang tak sesuai peruntukannya. Padahal hal itu dia lakukan  demi memperbaiki keadaan sekolah.

“Penggunaan BOS itu, guru tidak pernah diperbolehkan melihat transparansi aliran dana bos,”.

Jika semua berjalan sesuai aturan, guru itu  yakin kualitas pendidikan akan meningkat. Menurut dia, sesuai PP No 74 tahun 2008 pasal 45 ayat 1 dan 2 serta

petunjuk teknis dari Kadis Pendidikan DKI Jakarta No 13 tahun 2010 pasal 8 ayat 2e, guru memiliki hak mengakses keuangan sekolah.



Supaya ada transparasi dana BOS dan sekolah dijadikan benteng kejujuran. Padahal dunia pendidikan itu mengajatkan kejujuran. Bagaimana mau jujur kalau di tiap sekolah masih ada stempel palsu dan kwitansi palsu.Apakah harus begini dunia pendidikan?



keinginan para guru adalah sama yakni tindak tuntas permasalahan transparansi BOS.  Para  wali murid berharap semua guru punya keberanian dalam menerlibat dalam berbagai kasus korupsi.egakkan

“Keinginan para wali murid juga sama yaitu  agar  benar terwujud pendidikan benteng kejujuran.  Dan semua guru ada keberanian. Guru setidaknya mengetahui UU, dan terakhir kejujuran dari pengelola sekolah, di seluruh Indonesia,”.



Bukan hanya sekolah atau para pejabat tinggi saja yang terkena kasus korupsi, bahkan kepala pemerintahan  tingkat desa saja bisa mendekam dijeruji besi karena menjadi tersangka kasus korupsi.

Seperti kasus korupsi yang ditemukan di tanggerang banten misalnya

“Tidak sedikit para kepala desa yang menjadi bidikan insan pers, dikarenakan terjadi indikasi penyalahgunaan anggaran pembangunan desa. Namun para kepala

selalu menepis kontrol social itu, dengan beralibi atau berkelit dan beralasan seolah tidak melakukan pelanggaran terhadap anggaran pembangunan desanya.

Tentunya hal ini menjadi polemik bagi sipemerhati yang intens mengamati tentang roda pemerintah desa yang dipimpin oleh para kepala desa yang buruk tentang

pengetahuan mengenai manajemen keuangan yang secara kontinyu mereka terima”.



Bilamana kita rajin datang ke desa-desa di kabupaten Tangerang khususnya dan pada umumnya diprovinsi banten ini, ternyata Nampak temuan-temuan yang mengandung

indikasi pelanggaran, terutama terhadap anggaran rutin, terutama terhadap anggaran rutin, seperti : fresh money dan ADPD (anggaran dana perimbangan desa)

yang digulirkan APBD  I dan II. Padahal anggaran rutin tersebut sudah dipandu oleh petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaannya, juga bila dilanggar tentu

ada sangsi yang jelas dan telah diperdakan pemerintah daerah.



Ironisnya hal ini masih tetap di kutak-katik bagaimana mencari lebihnya untuk menutupi biaya intertaiment para kepala desa yang memiliki kegemaran hura-hura

atau di peruntukan pada kepentingan pribadi dan keluarganya. Belum dari beras keluarga miskin (RASKIN) serta bantuan-bantuan lainnya. Setelah terbukti

terjadi, kemudian pemberitaan muncul dari beberapa media cetak khususnya mingguan dan media-media lainnya.



Namun pihak pemerintah seolah mengabaikan adanya korupsi ditingkat desa. Yang jadi pertanyaan kenapa hal itu terjadi berulang dan terjadi silih berganti

, dari desa yang satu ke desa yang lain dan tetap dibiarkan pemerintah daerah.



Mencermati tentang kronologi sebelum pesta demokrasi tingkat desa (pilkades) dimulai dari verifikasi latar pendidikan formal calon kades (guna mengetahui

dan menentukan pas atau tidaknya menjadi pemimpin pemerintahan tingkat desa), kemudian pendeteksian karakteristik juga mental dan keagamaannya, hingga

pada penjaringan dan penyringannya, pernakah dilaukan screening atau uji kelayakan dan uji kompetensi tentang yang meyangkut dengan leadership juga yang

menyangkut dengan sumber daya manusianya (SDM).



Kemudian setelah terpilih menjadi kepala desa dan sebelum dilantik, pernakah dikarantinakan dengan maksud  digojlok” pada Kancah pendidikan khusus, tentang

keilmuan yang berhubungan dengan pengelolaan manajemen pemerintah desa yang mampu mensinergikan dengan alur dalam aturan pemerintah daerah kemudian dibekali

juga tentang sipil dan teknik kontruksi guna memahami seutuhnya dengan pengalokasian dana fisik yang berhubungan dengan ilmu membangun yang berkualitas,

efisien dan mengena pada kriteriany. Selanjutnya tempa mereka tentang kedisiplinan selaras tupoksinya dan dimotivasi agar muncul suatu kesadaran diri akan

bahaya jika melakukan pelanggaran jika melakukan pelanggaran yang berhunbungan kuat dengan penyalahgunaan wewenang dan jabatannya, yang didalamnya terdapat

beraneka ragam anggaran bantuan yang di selewengkan. Diyakini pemerintah daerah sekalipun camat tidak pernah melakukan seintensif yang dikatakan diatas

tadi dengan alasan sibuk sehingga tidak memiliki waktu untuk berkolaborasi, konsekuensinya banayak oknum kepala desa yang tidak mengindahkan aturan, berujung

sangat membenci wartawan yang berupaya untuk menggantisipasi penyalahgunaan anggaran yang bergulir ke desa.



Kesimpulannya pemerintah daerah tidak cerdas, tidak kreatif, tidak aktif dan tidak berkeinginan melakukan hal-hal inovasi tentang yang menyangkut dengan

pemerintah secara umum. Tentu hal ini seyogyanya dilakukan pembenahan system pemerintah menuju terciptanya para kader pemimpin desa yang kredibel, bermartabat

dan akuntabel berlandaskan iman dan takwa. Yang terkhir adalah : membidik pada kinerja APDESI yang sudah sampai sejauhmana bersinergi dengan para kepala

desa, guna mempersatukan kepala desa untuk senada dan seirama dengan seluruh komponen pemerintahan juga elemen warga masyarakat desa yang berharap memiliki imam yang baik dan positif tidak melakukan korupsi.



Lalu apakah korupsi itu tidak ada keterkaitannya  dengan pelanggaran  ham? Tentu saja itu sangat ada.

Para koruptor itulah sang pelanggar ham sebenarnya, bagaimana tidak dengan merampok kekayaan Negara berarti dia juga telah melanggar hak orang satu Negara itu.

Keterkaitan Korupsi dengan HAM



Setiap tanggal 9 Desember masyarakat internasional memperingati hari anti korupsi. Sehari kemudian yakni setiap tanggal 10 Desember seluruh dunia memperingati

hari Hak Asasi Manusia sedunia. Peringatan hariu antikorupsi dan hari HAM yang berdekatan tersebut mengandung makna bahwa korupsi dan pelanggaran HAM merupakan

dua hal yang terkait erat.



Dalam berbagai kajian tampak bahwa korupsi merupakan pelanggaran HAM khususnya hak ekonomi sosial dan budaya

3. Bahkan dalam kondisi tertentu Korupsi juga merupakan pelanggaran hak sipil dan politik. Menurut Julio Bacio Terracino ada bentuk korupsi yang merupakan

pelanggaran HAM misalnya korupsi yang dilakukan dengan cara menggelapkan anggaran yang seharusnya disalurkan untuk mensejahterakan rakyat miskin. Disamping

itu banyak bentuk korupsi yang secara langsung bukan bentuk pelanggaran HAM namun bisa mempengaruhi kebijakan publik yang mengakibatkan pelanggaran HAM,

misalnya pejabat yang menerima suap dari pengusaha demi kelancaran ijin usaha sebuah industri yang merusak lingkungan sehingga menimbulkan penurunan kualitas

hidup masyarakat.



Berbagai bentuk korupsi sebagai perlanggaran HAM (corruption as a violation of human rights) diantaranya adalah:

4



1.  Korupsi sebagai pelanggaran hak atas penegakan hukum (Corupption as a Violation of The Rights to a Fair Trial and to an Effective Remedy)



Korupsi dalam proses penegakan hukum terkait dengan pelanggaran hak atas pengadilan yang adil dan penghargaan individu setara di depan hukum (ICCPR, Pasal

9-15). Kategori pelanggaran atas hak ini dapat kita saksikan pada kasus-kasus  korupsi di  peradilan yang belakangan ini sering disebut-sebut dengan istilah

”Mafia Peradilan”. Karena korupsi peradilan,  hakim tidak memutuskan berdasarkan keadilan tetapi justru dipengaruhi oleh besarnya uang yang diberikan.

Akibatnya, banyak koruptor besar yang dibebaskan atau mendapat hukumgan ringan, sementara maling ayam di kampung mendapatkan hukuman yang berat.



2.  Korupsi sebagai pelanggaran  hak atas pendidikan dan hak untuk bekerja

list end



Hak-hak yang dilanggar oleh perbuatan korupsi ini secara lebih luas termasuk dalam hak atas pembangunan sosial dan ekonomi yang dalam kontek pelanggaran

HAM bisa dikaitkan antara lain dengan hak atas kondisi kerja yang layak (ICESCR, Pasal 6-9), hak atas pendidikan (ICESCR, Pasal 13-14).  Kedua  hak ini

dapat dilanggar  melalui alokasi budget yang tidak adil. Seperti dapat disaksikan dalam  APBN yang disahkan DPR RI tampak bahwa  sebagian  besar alokasinya

untuk pembayaran utang dalam negeri dan luar negeri. Anggaran pendidikan hanya mendapat kurang dari 10%. Padahal dalam konstitusi diamanatkan minimal anggaran

Pendidikan adalah 20%. Belum lagi fenomena yang tampak dari berbagai kasus korupsi terungkap bahwa sektor pendidikan menempati peringkat yang amat tinggi

terjadinya korupsi. Hal ini misalnya marak kasus korupsi terkait dengan penyaluran dana BOS (Biaya Operasional Sekolah), proyek pengadaan buku sekolah

dan proyek pembangunan gedung sekolah. Akibat yang paling tampak secara fisik adalah kualitas bangunan sekolah yang kondisinya amat memprihatinkan yang

berdampak pada terampasnya hak anak-anak untuk memperoleh fasilitas pendidikan.  Kasus-kasus suap dan nepotisme dalam proses seleksi tenaga kerja juga

mengakibatkan terampasnyahak untuk bekerja bagi orang-orang yang memiliki kapasitas baik sebagai SDM.



3.  Korupsi sebagai pelanggaran hak untuk berpartisipasi dalam politik.



Perbuatan korupsi ini dikaitkan dengan pelanggaran terhadap hak kebebasan berekspresi (ICCPR Pasal 19), hak untuk memilih dalam pemilihan umum (ICCPR, Pasal

15). Kebebasan berekspresi termasuk  hak untuk mendapatkan informasi dalam berbagai bentuk.  Pelanggaran atas hak kebebasan berekspresi  dapat dilihat

pada  gugatan pencemaran nama baik yang dilakukan terhadap media dan aktivis anti korupsi. Disamping itu berbagai praktek money politics dalam pemilihan

umum dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap hak untuk memilih dan dipilih. Dengan adanya money politics, pilihan  yang diberikan oleh para pemilih

bukan atas kehendak pribadi tetapi karena motivasi uang  sehingga  pemilihan umum tidak memiliki integritas lagi sehingga rentan untuk melakukan perbuatan

korupsi (penyalahgunaan jabatan, suap, gratifikasi) untuk ”mengembalikan modal” yang dipakai untuk politik uang.



4.  Korupsi sebagai pelanggaran hak atas kesehatan, hak atas hidup/kualitas kehidupan yang layak dan integritas

list end



Bentuk korupsi ini berkaitan dengan pelanggaran hak untuk bebas dari penyiksaan (ICCPR Pasal 7), hak atas kehidupan (ICCPR Pasal 6), hak atas kesehatan

(ICESCR Pasal 12) dan hak atas standar hidup yang memadai (ICESCR Pasal 11). Contoh dari bentuk korupsi ini adalah proses perijinan industri yang terkontaminasi

penyuapan dan gratifikasi (dari korporasi pada aparatur penentu kebijakan) sehingga bisa beroperasi tanpa mengabaikan standar keamanan, kesehatan dan kualitas

lingkungan. Salah satu contoh konkrit adalah impor limbah berbahaya dari luar negeri yang belum lama terbongkar oleh pihak bea dan cukai pelabuhan.  Muncul

dugaan keras bahwa lolosnya kiriman lembah beracun tersebut akibat perilaku koruptif antara penguasa dan pengusaha. Contoh lain yang dapat dikemukakan

adalah penyiksaan atau bentuk kekerasan lain yang dilakukan oleh Polri dan aparat TNI yang difasilitasi oleh Freeport di Papua. Dari berbagai media terungkap

bahwa salah satu fasilitas tersebut adalah dana keamanan yang alirannya diduga hingga sampai pada petinggi Polri dan TNI.



Secara lebih luas lagi bentuk korupsi ini terjadi pada sektor pangan, tanah, air serta perumahan sehingga melanggara hak atas pangan, tanah, air dan perumahan

yang layak. Negeri ini penuh dengan ironi. Hal ini tampak dari gaya hidup para pejabat pemerintah yang serba mewah dan dinilai berlebihan dalam menentukan

fasilitas untuk dirinya sendiri. Bahkan hal ini tampak lebih parah lagi dilakukan oleh para wakil rakyat yang dalam kampanyenya sering mengumbar tekat

untuk mengentaskan kemiskinan. Tampak ironi karena fasilitas yang diperoleh oleh para pejabat tersebut diberikan dari uang rakyat yang dalam realitasnya

masih banyak (mayoritas) yang berada di bawah garis kemiskinan.



5.  Korupsi sebagai pelanggaran hak  untuk berafiliasi dan berekspresi



Bentuk korupsi ini terkait dengan pelanggaran hak untuk menentukan nasib sendiri (ICCPR Pasal1, ICESCR Pasal 1), hak untuk berorganisasi (ICCPR Pasal 22,

ICESCR Pasal 8), hak kebebasan praktek dan kepercayaan budaya (ICCPR Pasal 27, ICESCR Pasal 15) dan hak kebebasan beragama (ICCPR Pasal 18). Pelanggaran

atas hak ini terjadi bila korupsi (misalnya terjadi kolusi antara aparatur negara dengan korporasi) telah mempengaruhi munculnya kebijakan publik yang

secara unfair menguntungkan perusahaan besar sehingga berdampak pada terampasnya hak buruh untuk membuat organisasi yang memperjuangkan kepentingannya,

terpinggirkannya masyarakat adat atas wilayah yang dijadikan lahan kawasan industri, terancamnya hak kebebasan beragama sebagai dampak korupsi pada lembaga

pemerintah yang mengurusi sektor keagamaan.





Berbagai  solusi yang  bisa dilakukan untuk  memberantas  korupsi antara lain dengan cara melakukan penanaman nilai-nilai agama,  kejujuran pada anak-anak pada usia dini, cinta tanah air, memiliki rasa kemanusian yang tinggi dan yang paling  utama adalah meningkatkan  kredibilitas  dan kapabilitas  para aparat  penegak hukum itu sendiri.



Bisa juga dengan menegakkan aturan hukum secara tegas dan tanpa tebang pilih, membersihkan penyidik, hakim, jaksa yang menangani kasus-kasus korupsi yang telah terkontaminasi korupsi dan tidak membiarkan para aparat yang berkepentingan dengan penegakaan korupsi menerima suap.

Beberapa cara pemberantasan korupsi antaralain













Presiden sebaiknya menegaskan proklamasi antikorupsi. Proklamasi demikian menjadi pondasi awal bagi seluruh gerakan antikorupsi.

untuk menjadi baju hukum proklamasi antikorupsi, Presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Pemberantasan Korupsi.

Presiden memang sudah mengeluarkan Instruksi Presiden Percepatan Pemberantasan Korupsi. Bentuk hukum Inpres tersebut mengindikasikan bahwa korupsi masih dilihat sebagai kejahatan biasa. Seharusnya keluarbiasaan tidak memadai diwujudkan hanya dengan baju hukum Inpres. Hanya baju hukum Perpu yang pas untuk menegaskan korupsi adalah kejahatan luar biasa yang harus diberantas dengan cara-cara luar biasa pula. Alasan konstitusional pengeluaran Perpu adalah “kegentingan

yang memaksa”. Maka dengan Perpu Antikorupsi, jelas meluncur pesan negara sudah dalam keadaan genting, darurat korupsi, dan karenanya upaya extra ordinary tidak mungkin ditunda untuk segera dilaksanakan. Mengenai “kegentingan yang memaksa” menurut putusan Mahkamah Konstitusi adalah subyektifitas presiden

untuk menentukannya, yang obyektifitas politiknya dinilai oleh DPR. Maka, mengeluarkan Perpu Antikorupsi adalah sah sebagai kebijakan presiden.

di dalam perpu dapat ditegaskan fokus pemberantasan korupsi kepada dua reformasi: birokrasi dan peradilan. Reformasi birokrasi sudah dilakukan tetapi masih sangat lamban. Merombak pola pikir koruptif dari birokrasi yang sudah berpuluh tahun menjadi penggerak korupsi tentu tidak mudah. Namun, upaya pemberantasan korupsi tidak akan pernah berhasil tanpa melakukan reformasi birokrasi secara lebih akseleratif. Untuk itu, pembersihan korupsi dari birokrasi tingkat tinggi harus lebih dulu dilakukan untuk menjadi tauladan bagi birokrasi tingkat bawahnya. Demikian pula halnya dengan reformasi peradilan. Memberantas korupsi tanpa memerangi mafia peradilan adalah mimpi di siang bolong. Korupsi hanya bisa dijerakan dengan penegakan hukum yang efektif. Law enforcement yang efektif tidak akan terlaksana jika penegak hukum masih terkontaminasi judicial corruption. Maka reformasi peradilan harus dimaknai untuk menghabisi praktik nista mafia peradilan.

konsentrasi pada reformasi birokrasi dan reformasi peradilan adalah wujud pemberantasan korupsi secara preventif dan represif. Cara preventif dilakukan

melalui pembenahan birokrasi; sedangkan metode represif memerlukan aparat hukum yang tidka hanya mempunyai kapasitas keilmuan yang mumpuni, namun pula intergitas moralitas yang terjaga.

untuk langkah represif penegakan hukum, strategi yang harus dilakukan adalah memadukan cara quick wins dan big fishes. Maksudnya selain mencari bukti-bukti tak terbantahkan (hard evidence), untuk menjamin ujung putusan adalah kemenangan cepat; pemberantasan harus fokus kepada koruptor kelas kakap. Korupsi sudah menjamah seluruh ruas kehidupan. Maka prioritas harus dilakukan, dan korupsi by greed harus menjadi target prioritas, dibanding korupsi by need.

sejalan dengan pemikiran memberantas korupsi di level kakap, yang melakukan korupsi karena keserakahan, bukan semata kebutuhan. Maka senjata perang melawan korupsi harus diarahkan kepada Istana, Cendana, Senjata dan Pengusaha Naga. Istana adalah ring satu kekuasaan masa kini; Cendana adalah ring satu kekuasaan masa lalu; Senjata adalah korupsi di lingkaran aparat keamanan dan pertahanan; serta pengusaha naga adalah korupsi oleh para mega pengusaha.

pemberantasan korupsi di empat wilayah untouchable tersebut adalah memerangi korupsi di episentrum kekuasaannya. Hal tersebut penting karena sel kanker korupsi harus dipotong pada pusatnya, bukan pada jaringan cabang sel kankernya.

pemberantasan korupsi harus dikuatkan jaringannya ke semua lini, aparat penegak hukum, akademisi, mahasiswa. Perluasan jaringan tersebut urgen untuk menghadapi serangan balik (fights back) yang terus semakin gencar.

semua langkah pemberantasan korupsi di atas membutuhkan kepemimpinan yang kuat (strong leadership). Tidak mungkin Istana, Cendana, Senjata dan pengusaha Naga dapat disentuh, tidak bisa episentrum korupsi di amputasi, tanpa tongkat komando diubah menjadi pisau bedah antikorupsi oleh pemimpin bangsa ini sendiri.

akhirnya semua langkah tersebut harus diiringi dengan menumbuhkembangkan budaya zero tollerance to corruption.

rakyat Indonesia yang luar biasa untuk konsisten menerapkannya.

Selain itu juga peran media masa yang harus bersama-sama pemerintah dan masyarakat lebih giat lagi untuk memberitakan para tersangka kasus korupsi agar membuat sok terapis  atau menimbulkan efek rasa malu untuk tidak melakukan perampokan terhadap Negara .

0 komentar:

Posting Komentar